Isu-Isu Strategis di Bidang Kepegawaian Negara

1
125

(30/09)—Komisi II DPR RI melakukan Rapat Dengar Pendapat Umum dengan Prof. Dr. Sofian Effendi, Prof. Miftah Thoha, MPA dan Kepala Lembaga Administrasi Negara dengan acara “Masukan dalam rangka Penyusunan RUU tentang Perubahan Kedua Atas UU No. 8 Tahun 1974tentang Pokok-Pokok Kepegawaian”. Rapat tersebut dipimpin oleh Wakil Ketua Komisi II DPR RI DR. H. Taufiq Effendi, MPA.

Yang menarik adalah adanya beberapa isu startegis dibidang Kepegawaian Negara yang disampaikan Kepala LAN  Bapak Asmawi Rewansyah, MSc. Isu-isu strategis tersebut adalah sebagai berikut:

No ISU UTAMA PERMASALAHAN SARAN/REKOMENDASI
1. Klasifikasi Penyelenggara Negara. Pengertian Penyelenggara Negara (termasuk didalamnya PNS) belum mempunyai batasan dan kriteria yang jelas dan tegas terkait dengan kriteria, misalnya :

  1. sumber gaji (APBN),
  2. kewenangan (eksekutif, legislatif, yudikatif, auditif, moneter),
  3. hak dan kewajiban,
  1. Redefinisi dan pengkategorian tentang Penyelenggara Negara dan unsur-unsurnya.
  2. Perlunya disusun UU tentang Kepegawaian Negara yang secara spesifik mengatur mengenai Pegawai Sipil (PS).
2. Netralitas Pegawai Negeri Sipil
  1. Pengaruh kepentingan politik terhadap birokrasi masih dominan baik di pusat maupun daerah, sehingga membuat PNS tidak netral terutama pejabat struktural.
  2. Infrastruktur dan suprastuktur birokrasi dimanfaatkan untuk kepentingan politis dalam pemilukada (dana, jabatan, fasilitas, organisasi birokrasi, dsb).
  3. Perbedaan penetapan Pejabat Pembina Kepegawaian antara UU 32/2004 (pejabat karier) dan PP 9/2003 (pejabat politis) yang membawa konsekuensi terhadap netralitas PNS.
  1. PS dilindungi dari kepentingan politis praktis melalui pengelolaan yang berbasis manajemen kinerja (standard kompetensi jabatan, standard kinerja, penilaian kinerja, reward & punishment, dsb) termasuk adanya sanksi bagi praktik politisasi birokrasi (law enforcement).
  2. Pembentukan Komisi Kepegawaian Sipil (KKS).
  3. Penetapan dan penegasan Pejabat pembina kepegawaian adalah pejabat karier tertinggi (Sekjen, Setda, Wakil Menteri, Wakil Kepala Daerah).
3. Malpraktik dalam pengelolaan kepegawaian
  1. Kebijakan dalam pengelolaan kepegawaian masih berpotensi untuk terjadinya kolusi, nepotisme dan suap, yang terjadi baik di instansi pusat maupun daerah.
  2. Kebijakan dari pusat seringkali tidak diikuti dengan sosialisasi sehingga implementasi dilapangan sering berbeda.
  3. Kurangnya monitoring dan evaluasi pusat terhadap implementasi kebijakan.
  1. Adanya standarisasi dalam pengelolaan kepegawaian.
  2. Instansi yang bertanggungjawab dalam pengawasan implementasi kebijakan dalam  pengelolaan kepegawaian adalah Kementerian PAN & RB, BKN, LAN dan KKS.
4. Rekrutmen
  1. Perencanaan dan penetapan formasi PNS sering tidak sesuai dengan kebutuhan masing-masing instansi.
  2. Adanya perbedaan standar kelulusan dan kriteria penerimaan dalam proses seleksi CPNS.
  1. Adanya kepentingan untuk selalu meningkatkan jumlah PNS setiap tahun.
  1. Pengusulan formasi PS harus sesuai dengan kebutuhan masing-masing instansi yang didahului dengan analisis beban kerja (ABK).
  2. Seleksi dilakukan dengan dua tahap (tahap nasional dan tahap khusus/sesuai formasi masing-masing instansi).
  3. Perlu adanya kebijakan yang mampu mengontrol jumlah PS secara ketat yang direkrut secara nasional.
5. Pengangkatan dalam jabatan Pengangkatan dalam jabatan struktural belum didasarkan pada nilai-nilai obyektifitas, akuntabilitas dan kompetisi yang sehat. Unsur subyektifitas dan kepentingan politis seringkali lebih mengemuka sehingga mendorong terjadinya kolusi, korupsi dan nepotisme. Pengangkatan dalam jabatan struktural didahului dengan :

  1. standar kompetensi jabatan struktural.
  2. fit and proper test.
  3. assesment center.
6. Jenjang Kepangkatan
  1. Jenjang kepangkatan dan golongan saat ini dirasakan terlalu rumit untuk pengelolaan kepegawaian (17 tingkat I/a sampai dengan IV/e).
  2. Selain ada jenjang kepangkatan dan golongan juga ada eselonisasi untuk jabatan struktural.
  3. Kenaikan pangkat/golongan belum menggambarkan adanya peningkatan kompetensi.
  1. Perlu dilakukan penyederhanaan jenjang kepangkatan dan golongan (dalam 15 grade).
  1. Eselonisasi dalam Jabatan struktural dihapus, langsung menyebut jabatan yang dipangku PS.
  2. Kenaikan grade menunjukkan kenaikan kompetensi yang didukung dengan kompetensi dan hasil penilaian kinerja pegawai.
7. Mutasi antar kementerian dan antar daerah
  1. Belum ada pola mutasi antar kementerian dan antar daerah sehingga sulit untuk memindahkan pegawai.
  2. Sistem terbuka dan tertutup belum optimal dilaksanakan terutama terkait dg sistem anggaran.
  3. Distribusi pegawai tidak merata.
  4. Fungsi PNS sebagai perekat bangsa belum terwujud.
  5. PNS sebagai agen perubahan belum tercapai.
  1. Perlu kebijakan yang mengatur perpindahan PS yang bersifat nasional (open management).
  2. Pola karier pegawai disusun secara sistemik dalam lingkup nasional, lokal maupun instansional sehingga dapat mewujudkan PS sebagai agen perubahan.
8. Pengembangan pegawai
  1. Pengangkatan pegawai hononer daerah menyisakan permasalahan yang terkait dengan masih rendahnya kompetensi yang dimiliki.
  2. Pelaksanaan diklat prajabatan terlalu singkat dan umum, belum mampu memberikan pemahaman dan penghayatan sebagai ‘yanmas’ dan peningkatan kompetensi  yang berhubungan dengan pekerjaan.
  3. Anggaran pengembangan pegawai masih minim.
  1. Pasal 14 ayat 2 PP 101 mengakibatkan tingginya jumlah alumni Diklatpim yang belum terserap dalam jabatan struktural, tetapi disisi lain pengajuan calon peserta Diklatpim tetap meningkat.
  1. Rekruitmen pegawai harus selalu berdasarkan kebutuhan dan kompetensi.
  1. CPS perlu diinduksi melalui masa orientasi/magang  sekurang-kurangnya 2 tahun yang merupakan bagian integral dari Diklat Prajabatan.
  2. Diperlukan penetapan alokasi jam pelaksanaan diklat teknis/fungsional sekurang-kurangnya setiap PS 20 jam pelajaran/tahun anggaran.
  3. Diperlukan analisis kebutuhan diklat (TNA) untuk mengetahui kebutuhan aktual pengembangan pegawai.
  4. Pasal 14 ayat 2 PP 101/2000 harus direvisi (penegasan dik-duk).
9. Sistem karier Belum teraplikasikannya sistem karier dalam manajemen kepegawaian.
  1. Perlu disusun kebijakan sistem karir (termasuk pola dan mekanisme promosi, mutasi, rotasi pejabat struktural) berbasiskan manajemen kinerja dengan mengedepankan kompetensi dan kinerja.
  2. Sistem karier terintegrasi dengan aspek manajemen kepegawaian lainnya.
10. Sistem remunerasi
  1. Terjadi perbedaan sistem remunerasi (gaji dan tunjangan) antar instansi pemerintah pusat maupun daerah, dan lembaga negara.
  2. Sistem remunerasi yang sekarang belum memenuhi standar KHL (kebutuhan hidup layak).
  3. Rasio yang terlalu sempit antara gaji terendah dan tertinggi hanya 1:3.
  4. Rasio gaji pokok dengan tunjangan lainnya berbanding terbalik, padahal seharusnya gaji pokok lebih besar dibandingkan dengan tunjangan lainnya.
  5. Komponen gaji tidak menunjukkan kinerja (pegawai yang berprestasi dan tidak berprestasi digaji sama).
  1. Remunerasi diberikan berdasarkan prinsip 3P+L (pay for performance, pay for position, pay for person, pay for living cost).
  2. Sistem remunerasi disusun berdasarkan gradasi yang obyektif dan proporsional.
  3. Nominal remunerasi ditetapkan dengan mempertimbangkan kemampuan APBN dan kondisi perekonomian.
  4. Sistem remunerasi 3P+L harus segera diberlakukan.
11. Sistem pemberhentian dan pensiun
  1. Prosedur pemberhentian pegawai sangat sulit dan panjang.
  1. Adanya kecenderungan untuk memperpanjang BUP sehingga berdampak menghambat kaderisasi.
  1. Rendahnya nilai manfaat dari pensiun yang diterima.
  1. Penyederhanaan prosedur pemberhentian pegawai melalui implementasi manajemen kinerja.
  2. Ketegasan kebijakan dalam penetapan usia pensiun (khususnya untuk pejabat struktural) (kata “dapat” dalam PP 32/1979 dihilangkan).
  3. Reformasi sistem pensiun PS dengan tujuan sebagai penghargaan dan juga meningkatkan kesejahteraan para pensiunan.
12. Hukuman Disiplin
  1. Rendahnya upaya penegakan hukum.
  1. Penegakan disiplin pegawai melekat pada atasan langsung. Dengan didukung penerapan sistem manajemen kinerja.
  2. Pemberian insentif bagi PNS yang disiplin dan pembinaan hingga pemberian hukuman bagi PNS yang melanggar disiplin.
  3. Sosialisasi, dan pelembagaan nilai-nilai dalam PP No. 53 Tahun 2010 secara optimal dengan menjadikannya sebagai bagian melekat dalam diri PNS.
13. Penegakan Kode Etik Menurunnya nilai-nilai etika PNS.
  1. Perlu adanya internalisasi dan sosialisi PP 42/2004 tentang pembinaan jiwa korps dan kode etik PNS.
  2. Pembentukan lembaga kode etik.
14. Komisi Kepegawaian Negara (KKN)
  1. KKN belum terbentuk walaupun sudah 11 tahun diamanatkan oleh UU 43/1999.
  2. Reposisi lembaga-lembaga yang menangani kebijakan manajemen PNS terkait rencana pembentukan KKS.
  1. Perlu dibentuk Komisi Kepegawaian Sipil (KKS).
  1. Penataan kelembagaan pengelolaan manajemen PS.
15. Pegawai Sipil yang bekerja di Mabes TNI/Polri, Lembaga Negara dan Lembaga ad-hoc. PNS yang bekerja di lembaga negara dan ad-hoc cenderung menjadi unsur pelengkap saja, sehingga pengembangan karirnya tidak optimal. Perlu adanya kebijakan yang secara spesifik mengatur pemberdayaan PS tersebut.
16. Pemisahan antara pejabat publik (negara) dengan pejabat karier. Pejabat karir yang  mencoba berkiprah dalam jabatan politis (ikut pemilukada) dan ternyata gagal masih dimungkinkan kembali lagi ke posisi PNS. Perlu ditetapkan agar PS  yang ingin pindah ke jabatan politis harus melepaskan sepenuhnya  jabatan sebagai PS.

Semoga dengan adanya beberapa pemikiran tersebut dapat membantu dalam merumuskan RUU tentang Pokok-Pokok Kepegawaian. Di samping itu diharapkan UU yang dihasilkan nanti dapat membawa perubahan signifikan terhadap upaya reformasi birokrasi kepegawaian di negara kita, NKRI (Kamillus Elu, SH)

1 COMMENT

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here