Hutan Tanaman, Jaminan Masa Depan

1
35

(16/10)—Hutan bukan saja merupakan rahmat Tuhan Yang Maha Kuasa, yang memberikan peran penting bagi kehidupan manusia. Ia juga mengandung manfaat serbaguna, penentu sistem penyangga kehidupan, dan memiliki potensi luar biasa bagi kesejahteraan rakyat. Dengan profit multifaset itu, seyogianyalah pemanfaatan hutan dilakukan secara bijaksana, berorientasi pada kelestarian, dan tetap memperhatikan fungsi pokoknya.

Sesuai dengan amanah Undang-Undang No 41/1999 tentang Kehutanan, sejak awal pemerintah Indonesia menetapkan dan mengarahkan pengelolaan hutan berdasarkan fungsi-fungsi pokoknya. Mulai hutan konservasi, hutan lindung, hingga hutan produksi. Konsep itu berbeda dengan yang berlaku di sebagian besar negara lain, yang pada umumnya menetapkan fungsi ganda pada hamparan hutan yang sama, misalnya hutan produksi yang sekaligus berfungsi sebagai hutan lindung dan hutan konservasi.

Dengan demikian, implementasi sistem pengelolaan hutan di Indonesia seyogianya juga berbeda dengan sistem negara lain, yang akhir-akhir ini sering menyudutkan pembangunan hutan tanaman hanya karena didahului kegiatan land clearing di kawasan hutan produksi yang tidak produktif. Kalau kita kembali kepada amanat UU No 41/1999, sepanjang pemanfaatan hutan produksi sesuai dengan fungsi pokoknya, yaitu memproduksi hasil hutan, aktivitas land clearing di kawasan hutan produksi tidaklah perlu ada perdebatan kegiatan tersebut merusak lingkungan, merusak hutan, merusak ekosistem, dan sebagainya.

Kecenderungan berkompetisi antarnegara di dunia dalam peningkatan ekonomi dan kesejahteraan tentulah merupakan hal lumrah dan alami. Untuk memenangkan kompetisi itu, Indonesia harus dapat memanfaatkan kawasan hutannya secara optimal dan berkesinambungan, sesuai dengan fungsi-fungsi pokoknya. Dalam hal pemanfaatan kawasan hutan produksi untuk kesejahteraan, jawabannya hanya satu, yakni pembangunan hutan tanaman. Pertanyaannya: mengapa hutan tanaman, atau Hutan Tanaman Industri?
Mencermati data statistik kehutanan selama beberapa tahun terakhir, tampaklah bahwa produksi lestari kayu dari hutan alam, atau HPH, cendeung menurun. Dari sekitar 16 juta m3 pada 1997-1998 menjadi sekitar 5 juta m3 pada 2009. Sementara itu, produksi kayu dari hutan tanaman terus meningkat, yaitu dari sekitar 1 juta m3 pada 1997-1998 menjadi sekitar 21 juta m3 pada 2009. Produksi itu akan terus meningkat bila penambahan tanaman yang terjadi pada 2006-an sampai saat ini akan mencapai daur produksinya.

Peningkatan penanaman dan produksi kayu dari hutan tanaman dengan sendirinya akan memberikan multiplier effect yang signifikan terhadap kesempatan kerja, peningkatan kesejahteraan, pertumbuhan industri, pertumbuhan ekspor, pendapatan pajak, dan lain sebagainya. Melalui keunggulan komparatif sebagai negara yang terletak di kawasan tropis, Indonesia seharusnya dapat memenangi kompetisi global melalui pengembangan pembangunan hutan tanaman. Karena itu, tidak berlebihan jika disimpulkan, hutan tanaman merupakan jaminan masa depan Indonesia.

Namun, hendaklah disadari, memenangi persaingan global itu tak semudah membalik telapak tangan. Banyak masalah yang harus diselesaikan. Satu di antaranya adalah tren global saat ini, yang diramaikan hiruk pikuk perdagangan karbon, baik yang dikemas melalui proyek-proyek AR/CDM maupun komitmen-komitmen REDD dan REDD+.

Berdasarkan fakta, mekanisme perdagangan karbon dalam kemasan AR/CDM di Indonesia belum terbukti berhasil menyejahterakan rakyat. Demikian juga dengan REDD dan REDD+, yang sampai saat ini belum terlihat nyata komitmen dari negara-negara maju yang masuk daftar Annex-I, yang berkewajiban menurunkan emisi di negara masing-masing. Akibatnya, mekanisme pasar karbon, yang seharusnya juga memperhatikan kepentingan pembangunan negara-negara non-Annex-I belum maujud senyatanya.

Siapa yang harus ‘membeli’, dan siapa yang dapat ‘menjual’ belum jelas dalam perdagangan karbon. Komitmen nyata yang mengikat di antara negara-negara maju belum disepakati dan terformulasikan secara nyata, walaupun pertemuan COP telah berlangsung tidak kurang dari lima belas kali. Dalam hal ini, untuk Indonesia akan lebih realistis jika mekanisme perdagangan karbon lebih dikedepankan secara voluntary. Apalagi Indonesia telah memiliki peraturan pendukungnya, yakni Peraturan Menteri Kehutanan No P.36/MenhutII/2009 tentang Tata Cara Perizinan Usaha Pemanfataan Penyerapan dan/atau Penyimpanan Karbon pada Hutan Produksi dan Hutan Lindung.

Mekanisme pelaksanaan pasar karbon voluntary itu tidak harus mengganggu atau menghentikan kegiatan HTI/HPH. Sebagai contoh, bila pemegang izin melaksanakan kaidah-kaidah SFM dalam pelaksanaan operasionalnya, ia dengan sendirinya akan menurunkan tingkat emisi dan dapat diajukan pelaksanaan voluntary-nya melalui peraturan menteri kehutanan itu.

Secara logis dapat dikatakan, upaya penurunan emisi suatu negara akan memengaruhi atau berkonsekuensi menurunkan pertumbuhan ekonominya. Akan sulit ditemukan-–bahkan mungkin tidak ada–suatu negara, apalagi negara yang sudah maju secara sukarela menyatakan akan menurunkan pertumbuhan ekonomi mereka. Yang lebih mungkin terjadi adalah demi menghormati tatanan pergaulan internasional, atau untuk sekadar memperoleh green image, negara-negara maju akan mengompensasi penurunan emisi negara-negara berkembang dengan menyisihkan sebagian kecil biaya sosialnya. Akibatnya, ‘teori mekanisme penurunan emisi global’ dalam praktiknya tidak akan sesuai dengan asas kesetaraan. Lagi-lagi negara maju akan lebih diuntungkan sehingga bak pelesetan peribahasa yang datang tidak membeli dan yang membeli tidak datang.

Demi menyejahterakan rakyatnya, bagaimana Indonesia seharusnya menyikapi hiruk pikuk perdagangan karbon tanpa harus terlalu mengorbankan pembangunan ekonomi?

Pertama, Indonesia harus tetap memosisikan diri sebagai bukan negara Annex-I, yang wajib menurunkan emisi pada 2012 dan setelah itu. Kedua, kebijakan-kebijakan yang mendorong pertumbuhan ekonomi demi kesejahteraan dan kemakmuran rakyat mutlak tetap diperlukan karena jumlah penduduk kita yang demikian besar, dan sebagian besar di antaranya masih relatif miskin.

Ketiga, kebijakan-kebijakan pemerintah harus konsisten, tidak berubah-ubah, untuk menciptakan kepastian usaha dan memelihara iklim berinvestasi. Dan terakhir, melalui kebijakan-kebijakan, pemerintah harus selalu memfasilitasi penciptaan iklim kondusif bagi usaha HTI sehingga HTI dapat berkinerja baik, lebih prospektif jika dibandingkan dengan jenis usaha lain. Indonesia harus konsisten dalam membangun hutan tanaman, baik HTI maupun HTR, dan tidak mudah terpengaruh oleh isu-isu yang patut diduga memiliki agenda terselubung terkait dengan persaingan ekonomi global.

Oleh Dr Ir Bedjo Santosa
Direktur Bina Pengembangan Hutan Tanaman Kementerian Kehutanan RI

1 COMMENT

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here