Pilih BTP Bukan SARA!

5
84

Ahok.Org – Seratus tahun silam, sejurnlah tokoh-tokoh, di antaranya Sutomo, Gunawan, dan Tjipto Mangunkusumo, Suwardi Suryoningrat (Ki Hajar Dewantara) dan Douwes Dekker memprakarsai lahirnya Boedi Oetorno yang sekaligus cikal bakal bangkitnya semangat persatuan, kesatuan, dan nasionalisme serta kesadaran untuk memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Prakarsa yang dilakukan putera bangsa ini menandai Kebangkitan Nasional yang setiap tahun kita rayakan.

Latar belakang bangkitnya semangat ini, jelas tidak terlepas da•i kekejaman kolonialisme Belanda yang beratus-ratus tahun membelenggu tanah air. Penjajahan yang mengakibatkan masyarakat Indonesia (kala itu masih bernama Hindia Belanda) tidak bisa menikmati pendidikan dan kesehatan yang layak. Justru sebaliknya disiksa hingga banyak yang mati sia-sia.

Sepuluh tahun lalu, sejumlah tokoh yang didukung oleh mahasiswa berjuang melakukan reformasi. Keterbelengguan akibat kungkungan Orde Baru yang memerintah secara otoriter, korupsi yang merajalela, dan kemiskinan yang meluas adalah beberapa alasan munculnya gejolak tersebut. Perjuangan memang membutuhkan pengorbanan. Di masa itu pun tak sedikit yang menjadi korban.

Lantas apa makna dari 100 tahun Kebangkitan Nasional dan 10 tahun Reformasi tersebut. Sudahkah cita-cita para pahlawan itu terealisasi, atau malah sebaliknya, memunculkan belanda¬belanda baru dan ‘orde baru yang berkedol baru’?

KEPALA LURUS, BAWAH LURUS
Kenyataan yang ada bahwa Indeks Pembangunan Manusia Indonesia sernakin melorot ke bawah. Indonesia semakin tertinggal dari bangsa lain. Apa sesungguhnya yang salah?

Tentu saja banyak sekali bisa disebutkan sebagai alasannya. Salah satu yang bisa dijadikan kambing hitam adalah krisis multi dimensi. Namun, mencari kambing hitam tidak akan menyelesaikan persoalan.

Karenanya, ada baiknya salah satu pepatah Tiongkok kuno perlu dijadikan alat untuk menelaah persoalan tersebut. Pepatah yang sampai saat ini masih berlaku menyatakan, bahwa jika kepalanya lurus maka yang di bawahnya tidak berani tidak lurus. Artinya, rakyat sangat ditentukan oleh pemimpinnya.

Dengan dasar seperti itu, saya menarik kesimpulan bahwa kondisi bangsa ini diakibatkan oleh kesalahan pemimpin yang memimpin. Meski pemimpin terpilih dengan sistim langsung oleh rakyat.

Salah satu penyebabnya adalah proses perekrutan pemimpin bangsa ini yang bermasalah. Kita lebih banyak menghasilkan pemimpin yang se-suku, se-agama, dan se-ras. Bahkan, sebagai dampaknya, tidak sedikit yang terpilih sesungguhnya tidaklah pantas disebut pemimpin. Melainkan hanyalah penguasa dengan roh penjajah kolonialisme yang selalu melakukan    devide et impera atau politik pemecah belah bangsa.

Pengalaman saya selarna mengikuti kampanye Calon Anggota Legislatif Tingkat II pada pemilu 2004, Pilkada Langsung Bupati Kabupaten Belitung Timur pada talmn 2005 dan Pilkada Langsung Gubernur Propinsi kepulauan Bangka Belitung pada tahun 2007, bisa dijadikan sebagai contoh nyata tentang ini.

Rakyat miskin selalu rnerasa setelah pesta.demokrasi usai, maka nasib mereka kernbali akan dilupakan oleh yang sudah menjadi pejabat. Demikian juga kelompok rakyat yang berpendiclikan dar. berpenghasilan di atas rata-rata rakyat, menyatakan siapapun yang jadi nasib bangsa ini tidak akan berubah banyak. Sebab, yang jadi pejabat “itu-itu juga” atau satu sama lainnya sama/mirip sifat karakternya.

BERLINDUNG DI BALIK AYAT SUCI
Selama karir politik saya dari mendaftarkan diri menjadi anggota partai baru, menjadi ketua cabang, melakukan verifikasi, sampai mengikuti pemilu, kampanye pemilihan bupati, bahkan sampai gubernur, ada ayat yang sama yang saya begitu kenal digunakan untuk memecah belah rakyat dengan tujuan memuluskan jalan meraih puncak kekuasan oleh oknum yang kerasukan “roh kolonialisme”

Ayat itu sengaja disebarkan oleh oknum-oknum elite karena tidak bisa bersaing dengan visi misi program dan integritas pribadinya. Mereka berusaha berlindung di balik ayat-ayat suci itu agar rakyat dengan konsep “seiman” memilihnya.

Dari oknum elite yang berlindung di balik ayat suci agama Islam, mereka menggunakan surat Al-Maidah 51. Isinya, melarang rakyat menjadikan kaum Nasrani dan Yahudi menjadi pemimpin mereka, dengan tambahan jangan pernah rneniilih kafir jadi pemimpin. Intinya, mereka mengajak agar memilih pemimpin dari kaum yang seiman.

Padahal, setelah saya tanyakan ke teman-teman, ternyata ayat ini diturunkan pada saat adanya orang¬orang muslim yang ingin membunuh Nabi Besar Muhamminad SAW dengan cara membuat koalisi dengan kelompok Nasrani dan kelompok Yahudi di tempat itu. Jadi, jelas bukan dalam rangka memilih kepala pemerintahan, karena di NKRI kepala pemerintahan bukanlah kepala agamahmam kepala.

Bagaimana dengan oknum elite yang berlindung di balik ayat suci agama Kristen. Mereka menggunakan ayat di surat Galatia 6:10. Isinya, selama kita masih ada kesempatan, marilah kita berbuat baik kepada semua orang, tetapi terutama kepada kawan-kawan kita seiman.

Saya tidak tahu apa yang digunakan oleh oknum elite di Bali yang beragama Hindu, atau yang beragama Buddha. Tetapi saya berkeyakinan, intinya pasti, jangan memilih yang beragama lain atau suku lain atau golongan lain, apalagi yang rasnya lain. Intinya, pilihlah yang seiman/sesama kIta (suku, agama, ras, dan antar golongan). Mungkin, ada yang lebih kasar lagi, pilihlah yang sesama kita manusia, yang lain bukan, karena dianggap kafir, atau najis atau binatang!

Karena kondisi banyaknya oknum elite yang pengecut dan tidak bisa menang dalam pesta demokrasi dan akhirnya mengandalkan hitungan suara berdasarkan se-SARA tadi, maka betapa banyaknya sumber daya manusia dan ekonomi yang kita sia-siakan.

Seorang putra terbaik bersuku Padang dan Batak Islam tidak mungkin menjadi¬pemimpin di Sulawesi. Apalagi di Papua. Hal yang sama seorang Papua, tidak mungkin menjadi pemimpin di Aceh atau Padang.

Kondisi inilah yang memicu kita tidak mendapatkan pemimpin yang terbaik dari yang terbaik. Melainkan kita mendapatkan yang buruk dari yang terburuk karena rakyat pemilih memang diarahkan, diajari, dihasut untuk memilih yang se-SARA saja. Singkatnya, hanya memilih yang seiman (kasarnya yang sesama manusia).

MEMILIH PEMIMPIN
Pertanyaannya, apakah benar yang kita pilih seiman dengan kita. Jika kita benci korupsi, dan tahu korupsi adalah dosa, apakah kita memiliki iman yang sama dengan seseorang oknum pejabat yang kaya raya karena korupsi. Apakah jika kita beragama sama dengannya sesuai KTP, berarti sudah seiman?

Persoalan mencari alasan dengan sesamaku manusia (seiman) sebenarnya bukan perihal baru di dunia ini. Seorang nabi yang terkenal dengan kasihNya, yakni Nabi Isa Almasih (Yesus Kristus) juga dicobai oleh seorang Yahudi ahli Taurat.
Katanya: “Guru, apa yang harus kuperbuat untuk memperoleh hidup yang kekal?”

Jawab Yesus kepadanya: “Apa yang tertulis dalam hukum Taurat? Apa yang kaubaca di sana?”

Jawab orang itu: “Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwarnu dan dengan segenap kekuatanmu dan dengan segenap akal budimu, dan kasihilah sesarnu manusia seperti dirirnu sendiri’:

Kata Yesus kepadanya: 7awahmu itu benar; perbuatlah demikian, maka engkau akan hidup.

Tetapi untuk membenarkan dirinya orang itu berkata kepada Yesus: “Dan siapakah sesarnaku manusia?”

Jawab Yesus: “Adalah seorang yang turun dari Yerusalem ke Yerikho; ia jatuh ke tangan penyarnun-penyamun yang bukan saja rnerampoknya habis-habisan, tetapi yang juga memukulnya dan yang sesudah itu pergi meninggalkannya setengah mati. Kebetulan ada seorang imam turun rnelaluijalan itu; ia melihat orang itu, tetapi ia melewatinya dari seberang jalan. Demikian juga seorang Lewi datang ke tempat itu; ketika ia melihat orang itu, ia melewatinya dari seberang jalan. Lalu datang seorang Samaria (dianggap kafir/najis oleh orang Yahudi), yang sedang dalam perjalanan, ke tempat itu; dan ketika rnelihat orang itu, tergeraklah hatinya oleh belas kasihan. la pergi kepadanya lalu membalut luka-lukanya, sesudah ia menyiraminya dengan minyak dan anggun Kemudian ia menaikkan orang itu ke atas keledai tunggangannya sendiri lalu mernbawanya ke tempat penginapan dan rnerawatnya. Keesokan harinya ia menyerahkan dua dinar kepada pernilik penginapan itu, katanya: Rawatlah dia dan jika kaubelanjakan lebih dari ini, aku akan menggantinya waktu aku kembali.

Siapakah di antara ketiga orang ini, menurut pendapatmu, adalah sesama manusia dari orang yang jatuh ke tangan penyamun itu?”

Jawab orang itu: “Orangyang telah menunjukkan belas lcasihan kepadanya.”

Kata Yesus kepadanya: “Pergilah, dan perbuatlah dernikian!”

Dari cerita ini, apakah kita akan tetap memilih orang yang tidak perduli akan nasib sengsara rakyat miskin hanya kita memiliki agama yang sama di KTP. Bahkan terkenal sebagai pemimpin agarna, imam dan ahli kitab. Tetapi yang kita kira tidak seiman justru menunjukan visi misi program dan karakter yang sudah teruji mampu mensejahterakan rakyat miskin?

Seharusnya kita bisa dengan jelas memilih yang sesama manusia (seiman) adalah orang yang tidak korupsi dan jelas membantu rakyat dalam kesulitan. Bukan memilih yang “seiman” karena tertera di KTP beragama sama.

Di Indonesia, seharusnya tidak ada istilah mayoritas minoritas, karena seseorang yang lahir sebagai suku Jawa adalah mayoritas di Jawa. Tetapi ketika di Papua, dia menjadi minoritas. Demi.kian juga seorang Bugis di Padang, otomatis menjadi minoritas.

Jawa, Bugis, Batak, Tionghoa dan Padang yang merupakan suku dengan penyebaran paling merata di seluruh Indonesia, dengan kondisi pendidikan dan kemampuan ekonomi di atas rata¬rata seharusnya menjadi calon-ealon pemimpin yang bisa memberikan rakyat banyak pilihan dalam setiap pemilu, pilkada maupun pilpres.

Meminjam istilah Kamar Dagang dan Industri (KADIN) dalam menentukan kriteria dalam memilih pemimpin yakni, BTP (Bersih, Transparan, dan Profesional), maka dapatlah kita optimis, reformasi yang sudah di jalur yang benar dengan adanya pern.ilu sistim semi distrik, pilkada langsung, dan pilpres langsung, pasti akan menghasilkan pemimpin yang akan mampu mensejahterakan rakyat dengan terukur melalui Indeks Pembangunan Manusia Indonesia, jika rakyat berani memutuskan yang seiman/sesama manusia adalah yang mau menolong rakyat keluar dari kemiskinan. Bukan yang mengaku seiman karena beragarna yang sama di KTP. Melainkan, dengan berpedoman pada ukuran BTP (Bersih, Transparan, Profesional), “Sebab bukan untuk seterusnya orang miskin dilupakan, bukan untuk selamanya hilang harapan orang sengsara”

Janji kalimat ini bisa kita wujudkan jika para elite politik dan rakyat dalam melaksanakan pemilu, pilpres dan pilkada sudah dengan cerdas menjalankan prinsip PILIH BTP (Bersih,Transparan, dan Profesional) bukan SARA (suku, agama, Ras, dan Antar golongan).

*Diambil dari Bab 4 Buku “Merubah Indonesia”

5 COMMENTS

  1. Saya percaya bahwa sebagai warga negara kita diberikan hak dan kesempatan yang sama (sesuai UUD 45) untuk memilih dan dipilih, apapun agama kita. Sebab kita ikut pemilu not by religion but as citizen.

    Kalau mau memilih pimpinan umat, silahkan pilih menurut ayat-ayat suci masing-masing agama. Tapi memilih pemimpin warga, atau pemimpin bangsa harus berdasarkan ayat-ayat konstitusi, Saya setuju itu!

    Ini tulisan saya tentang hal tersebut:

    http://sosbud.kompasiana.com/2012/07/24/hak-untuk-dipilih-dan-ayat-ayat-konstitusi-politik-dan-agama/

  2. ulasan yang lugas, tegas, memang bangsa ini perlu perubahan paradigma, termasuk elit politik sebab pelaksanaan UUD ’45 masih belum sempurna termasuk soal peribadatan, menganut agama dan kepercayaan, belum lagi setiap warga negara memiliki kesempatan yang sama utk dipilih dan memilih, tanpa atribut “sara”, ujung2nya bangsa ini tidak dapat bersatu dalam bhinneka tunggal ika melainkan terpecah2, dan pelanggaran HAM akan semakin merajalela.

    maju terus Jokowi-Ahok!

  3. Pemimpin yang tegas, jujur dan berintegritas tinggi serta rejilius seperti anda menjadikan bangsa ini semakin baik, bahkan Indonesia suatu kelak pasti akan dipulihkan….. Kami titip perjuangan ini kepadamu pak Ahok..trims n TYM

  4. Saya sangat setuju pada artikel Pak Ahok diatas. meskipun saya masih duduk di bangku kelas dua SMP, saya sangat mendukung adanya solidaritas dari seluruh masyarakat, karena selama ini di Indonesia, kebanyakan orang hanya memilih pemimpin yang seiman, namun kenyataannya tidak mampu (maaf) untuk menyelesaikan masalah yang semestinya harus dibereskan. Juga dilandaskan iman saya yng berpegang teguh pada kasih, SAYA MENDUKUNG KERJA PASANGAN JOKOWI-BASUKI DALAM MENCIPTAKAN JAKARTA YANG LEBIH BAIK. MAJU TERUS!!!!

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here