Masukan Mengenai Revisi UU Pelayaran

0
56

Ahok.Org (12/01) – Saya Yuyus Uskara yang pernah menghubungi Bapak lewat twitter dengan nama @uskara, waktu itu saya ingin menyampaikan aspirasi mengenai keberatan pelaku industri pelayaran dan perkapalan mengenai usulan revisi UU Pelayaran dari Pemerintah.

Bapak mungkin pernah mendengar beberapa alasan dari Pemerintah khususnya BP Migas, mengenai ketidakmampuan pelaku industri pelayaran untuk memiliki kapal untuk melayani eksplorasi offshore (kategori C).

Beberapa alasannya antara lain:

1. belum adanya ketersediaan kapal rig untuk eksplorasi offshore

2. konsekuensi terburuk adalah terganggunya lifting migas yang berarti berkurangnya pemasukan negara

hal ini terlihat jelas ketika Bu Evita Legowo menyalahkan Azas Cabotage ketika sedikit sekali investor yang tertarik pada Wilayah Kerja migas yang ditawarkan Kementrian ESDM (berita dari BP Migas).


Hal tersebut sebetulnya sudah dibantah oleh beberapa praktisi dan akademisi di Industri itu sendiri, seperti terlihat dari diskusi di Mailing list Migas Indonesia:



Issue cabotage Law berpengaruh pada operasi (migas) tetapi sangat kecil pengaruhnya pada proses tender daerah baru. Saya melihatnya kurang menariknya hasil eksplorasi di Makassar dan “menunggu” hasil pengeboran blok-blok di Papua barat ini lebih menyebabkan menurunnya minat exploration activity.

Pak Joi Suryadharma (Staf ahli di Komisi VII)

Ini lah another bukti lemahnya koordinasi di pemerintah. Plus lebih Reaktif dibandingkan Antisipatif. Realisasi melenceng jauh dibandingkan Planningnya.

Azas cabotage khan sdh diketahui sejak 2005 tp apa kemajuan yg dicapai? Sosialisasi dll sdh sering dilakukan (google di youtube pun ada filenya). Skr Cabotage pula yg dipersalahkan. Memang mudah mencari scape goat atau kambing hitam dibanding self reflection.

Untuk sekedar informasi, Indonesia telah mampu membangun berbagai jenis kapal eksplorasi migas, khususnya di Batam, Kepualauan Riau. Dubai DryDock itu biasa buat kapal Sismic 3D di Dubai, tentu saja dia bisa juga buat di Batam, dengan Dubai DryDock World’s Nanindah yard-nya di Batam, yang sekarang sedang membangun CSS (Compact Semi Submersible) The Derwent. Otto Marine, dengan Batamec yard-nya di Batam, tentu saja bisa buat kapal seismic di Batam, dengan Reflect sebagai owner-nya (subsidiary dari Otto marine) yang mempunyai usaha rental kapal seismic dari Singapura.

dan PT PAL mampu membuat kapal perang sekalipun.

Pak Saut Gurning, sebagai akademisi dari ITS:

Saya tidak sepakat kalau UU itu direvisi hanya membela kepentingan

segelintir kelompok asing yang berhasil “memutarbalikkan” fakta yang

ada kepad sejumlah pimpinan bangsa ini tentang potensi kita

di sub sektor angkutan laut industri offshore ini.


Kalau dibilang membela kepentingan nasional? Apanya yang dibela?

Target lifting minyak? Apa persoalan tidak tercapainya lifting minyak dan

gas kita hanya akibat asas cabotage ini?


Bagaimana dengan skema dan seretnya investasi di sana, perpajakan,

serta isu2 operasional lain yang membuat daya saing industri migas kita.

Saya kira ada hal besar lainnya yang menjadi parameter kuat tidak

tercapainya target lifting migas kita di pos APBN.


Hari ini di BI ada info APEXINDO bisa mengganti 3 bendera jackup nya dari 6

yang ada. Dan ada dua lagi jackup rig dari Jepang yang diimpor pelaku nasional sedang dalam proses penggantian bendera. Lalu ada sejumlah kapal pipe lay barge yang sedang dibangun dan berbendera merah putih.


Baru beberapa hari lalu saya ke Jakarta dan melihat ada accomodation barge 270′ berkapasitas 250 orang sedang nganggur di priok menunggu kejelasan. Ini yang saya lihat, denger, dan lihat sendiri Sementara info dari “kampanye sana-sini” yang menyatakan kapal tipe C yang katanya tidak bisa dibangun dan disediakan pengusaha dalam negeri plus embel-embel hanya ada dalam hitungan jari di dunia ini da SDM kita tidak mampu katanya, ternyata saya lihat hanya lifting crane ship walau aktivitas ini tidak begitu banyak dan lebih dibutuhkan sebagai awalan proses eksploitasi ketimbang ekplorasi (koreksi saya jika saya salah atas hal ini).


Jadi ada persoalan ketidakseimbangan informasi di sini.


Harusnya hal-hal seperti ini dibuka secara transparan oleh semua stakeholder

menyangkut kapal-kapal tipe kelas C ini.


Sementara BP Migas, Hubla, Perindustrian, ESDM mungkin karena kebanyakan

tuntutan pencapaian dari atas, akhirnya cenderung terlalu takut dan sepertinya

berhasil ditakut-takuti dg “ancaman hengkangnya” oleh pelaku asing ke tempat

lain semisal Thailand dan kurang aktif menanyakan apa sebenarnya persoalan

“mahalnya” biaya bisnis migas ini di Indonesia semisal kenapa nggak mau ganti

bendera? apa karena nggak mau bayar kewajiban pajak atas kapal? PPN? struktur kepemilikan usaha asing dalam badan usaha dalam negeri? atau apa?


Disamping tidak aktif mencari solusi atas hal ini, kebijakan affirmatif juga terkesan “setengah hati”. Memang ada kebijakan komponen lokal dalam

kontrak2 BP Migas dan persoalan seumulah delaynya kontrak2 penyediaan kapal oleh operator dalam negeri.


Tapi itu terjadi karena memang tidak ada sama sekali daya dukung pemerintah sama sekali yang konsisten dan persisten tentang hal ini. Kebijakan pro-nya hanya bersifat “kosmetik” dan yang penting ada.


Jadi bagaikan mau “bertinju” petinju nasional yang masih kelas

ringan ini disuruh latihan sendiri, besar2 sendiri melawan petinju “kelas berat”

sementara pelatihnya dan promotor ongkang2 kaki saja….


Dari fakta di atas, justru saya melihat tidak ada keinginan kuat membela pelaku dalam negeri. Justru yang ada adalah melegalkan pelaku asing tetap mengoperasikan kapal2 tipe C yang nota bene udah banyak yang “uzur” itu.


Sekali lagi, teman-teman alumni di BP Migas mohon sampaikan pesan

kepada Bos BP Migas kalau jangan mengkambing hitamkan ketidakmampuannya mencapai target APBN kepada industri maritim nasional. Justru diharap Pak “Buce” di BP Migas, dan bapak-ibu di Hubla, perindustrian, dan ESDM boleh lebih pro dan tetap konsisten mendukung industri maritim kita bisa kuat, mandiri, dan nanti pada waktunya boleh disuruh bertanding secara fair di “kelas berat”

Jalan keluar yang di tawarkan untuk menghindari revisi UU Pelayaran diantaranya:

1. BP Migas membuat kontrak jangka panjang untuk kapal type C

2. Pertamina Tongkang atau PT PANN yang jadi investor untuk kapal type C

3. Revisi Peraturan Menteri Perhubungan no 26/2006 tentang Penyederhanaan Sistem dan Prosedur Pengadaan dan Penggunaan/Penggantian Bendera Kapal

Khusus untuk poin yang nomor 3, BP Migas dikabarkan telah mengusulkan hal ini ke Mentri Keuangan, tapi tidak ditanggapi. dan anehnya, Kementrian Perhubungan juga menolak merevisi peraturan tersebut.

Industri perkapalan ini memang unik Pak Ahok, karena hampir di seluruh dunia, Industri Perkapalan sangan bergantung dari kebijakan dan bantuan Pemerintah.

Jika berkenan, silahkan Bapak membaca tulisan tulisan saya di blog saya mengenai Industri perkapalan/maritim, diantaranya:

– Mengenai kebijakan dan bantuan pemerintah di negara lain untuk Industri perkapalan dan pelayaran: http://yuyusandhisthings.blogspot.com/2010/12/state-aid-in-shipbuilding-industry.html

– Komparasi antara Industri perkapalan di Indonesia dan India:  http://yuyusandhisthings.blogspot.com/2010/12/industri-kapal-indonesia-dan-india.html

Saya mengucapkan terima kasih untuk perhatiannya dan mohon maaf buat emailnya yang panjang ini Pak Ahok. saya mohon di share ke kawan-kawan Pak Ahok, khususnya Pak Yosef Naisoi yang membawahi masalah ini di Komisi V.

Selamat bekerja untuk Indonesia.

Salam hormat,

Yuyus Uskara

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here