Angin reformasi telah membawa harapan bagi setiap anak bangsa untuk menjadi kepala daerah. Hal itu semakin dipertegas melalui UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan daerah. Dimana pelaksanaan Pilkada tak lagi melakui DPRD, melainkan dipilih langsung oleh rakyat.
Celah itu pula yang dimasuki Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, pria kelahiran Anggar, Belitung Timur, Bangka Belitung, Juni 1966, untuk masuk ke gelanggang politik. Setelah terpilih menjadi anggota DPRD Belitung Timur 2004, karir politiknya semakin berkibar. Lewat Partai PIB anak pertama dari lima bersaudara pasangan Kim Nam dan Bun Nen Caw Sukses pula menjadi Bupati Belitung Timur, setahun kemudian. Ia merupakan warga keturunan Tionghoa pertama yang tampil sebagai kepala daerah di Tanah air.
Bagaimana pemikirian mantan Bupati yang biasa disebut “dobel minoritas” itu mencermati peluang warga Tionghoa menjadi kepada daerah di tahun 2009 dan bagaiamana pula pemikirannya tentang posisi minoritas dalam pemilihan kepala daerah, berikut penuturannya :
Anda merupakan Kepada Daerah pertama di Indonesia yang berasal dari suku Tionghoa. Bagaimana anda melihat peluang suku Tionghoa pada pemilihan kepala daerah di tahun 2009?
Dari sudut pandang UU, semua warga negara mempunyai hak yang sama. Dari sudut praktik, rakyat kita berpolitik atau elite kita berpolitik 60 samapai 70 persen masih mengandalkan primodialisme. Misalnya kalau saya mau maju disuatu daerah, yang saya hitung orang sesuku dengan saya ada berapa? seagama dengan saya ada berapa? segolongan dengan saya ada berapa? Itu yang dilakukan selama ini. Jadi, kalau itu tetap dilakukan peluang Tionghoa itu nol.
Lantas apa yang harus dilakukan?
Rakyat harus dididik. Itu yang harus dilakukan. Saya sudah buktikan ada dua pertiga rakyat Indonesia yang tidak perduli primordialisme. Jadi, si minoritas ini harus betul-betul nilainya sembilan. Tapi kalau sicalon ini nilainya rata-rata seperti yang lain, you jangan mimpi.Nah kalau ada yang mau bertarung, saya sarankan harus menjadi anggota DPRD dulu, sebaba menjadi anggota DPRD di Kabupaten/Kota merupakan cara paling gampang. Setelah jadi, Anda harus berani teriak bila ada penyimpangan. Di sana anda harus berlaku seperti Nabi, Artinya Anda juga harus berbeda dengan yang lain. Nah, kalau Anda berani, itu artinya ada harapan. Tapi, kalau Anda sama dengan yang normal. Anda pasti kalah dengan mayoritas.
Pendidikan politik yang seperti apa yang Anda maksud ?
Kita harus mendidik rakyat memilih berdasarkan BTP (Bersih, Transparan dan Profesional) di atas SARA (Suku, Agama dan Ras antar Golongan). Jadi, kita harus berani mendidik rakyat memilih yang berkualitas. Walaupun bisa saja terjadi Anda mendidik rakyat berkualitas, tapi Anda kurang berkualitas Anda bisa saja tersingkir.
Caranya?
Si calon harus berani ke luar. Kalau Anda mau menjadi elite politik. Anda harus ngomong sama rakyat. Nah, sekarang persoalannya Anda sebagai calon elite politik rela membodohi rakyat, tipu daya, pokoknya yang penting pilih saya dulu. Kalau sudah terpilih nyesal, bodo amat yang penting aku sudah terpilih. Itulah yang terjadi selama ini, mau curang kek, mau merayu kek, mau nipu kek, bila perlu main dukun. Banyak calin elite yang main dukun-dukun biar terpilih. jadi, ini tidak perlu dilakukan lagi.
Apakah pendidikan politik tadi sudah dilakukan para elite politik kita sekarang ini?
Masih banyak elite-elite yang tidak rela. Jadi meraka berpikir kalau rakyat ini pintar mereka tidak bisa berkuasa lagi. Nah, sekarang harus dibalik. Kita harus berani mendidik rakyat supaya lebih pintar dan punya duit. Ngga apa-apa kan, namanya juga bangun negara. Kalau mau bangun negara kita harus jadi negarawan dong. Nah sifat negarawan ini yang tidak ada di elite kita. Kalau orang lain yang terpilih karena lebih hebat dari kamu, masa kamu ngga bahagia sih. Kenapa saya masih menjabat kalau ada yang lebih hebat dari saya.
Bukankah di beberapa wilayah mengandalkan primordialisme tadi?
Kalimantan Barat masih mengandalkan primordialisme dalam kampanye. Di Singkawang di atas 50 persen etnis Tiongjoanya.
Jadi primordialisme juga bisa diandalkan dong?
Lho, ia. Pertanyaannya sekarang, bisa ngga orang Padang menjadi Bupati di Makassar yang sama-sama Islam, Atau bisa ngga orang Batak yang Kristen menjadi Bupati di Papua yang Kristen. Ngga bisa kan ? makanya negeri ini jadi rusak. akhirnya negeri ini tidak pernah mendapatkan yang baik dari yang terbaik. Artinya kalau saya mau pilih yang terbaik, pasti lebih gampang memilih yang terbaik dari 200 juta orang dari pada satu juta orang.
Anda ingin mengatakan pendidikan politik tetap menjadi cara terbaik untuk memenangkan pilkada?
Bukan cuma pilkada. Saya cuma bertujuan menjadikan NKRI ini menjadi Indonesia Raya. Semua suku, agama dan ras punya hak dan kewajiban yang sama. Ini tujuan saya, Jadi bukan memperjuangkan supaya orang Tionghoa jadi Bupati. Adik saya mau jadi Bupati saya bilang, kalau kau mau jadi Bupati kamu harus rubah kelakuan. Kalau kamu ngga berubah saya akan kampanye suruh orang jangan pilih dia. Artinya, kita harus berani mendidik rakyat, harus berani mensejahterakan rakyat. Ini yang ngga dilakukan elite kita.
Kalau pendidikan politik berjalan kemungkinan rakyat akan lebih rasional menentukan pemimpinnnya. Tapi, apakah ada jaminan bahwa sikap rasialis itu akan hilang?
Ok, di dunia ini ngga ada yang sempurna. Di Amerika saja masih ada rasialisme, masih ada orang malas. ada pencuri ada yang cinta negara, ada yang mau merusak negara. Tapi, itu minoritas. Tahu ngga kenapa negara kita tidak maju seperti Amerika, kita ini malah terbalik, mayoritasnya memble. Kita mayoritas rampok negara, minoritasnya negarawan. Oleh karena itu harus ada yang berani muncul untuk mendobrak. Saya bukan, Saya sudah coba itu. Jadi, sekali lagi ingin saya katakan, jangan Anda hanya berpikir untuk berkuasa, tapi anda harus berhasil mendidik rakyat memilih pemimpin berdasarkan BTP di atas SARA sesuai dengan cita-cita proklamator bangsa. Kalau anda berhasil menjadi penguasa, itu hanya ekses saja. (National News 08/07/08)
Setuju pak..Saya termasuk salah satu orang yang bangga terhadap bapak.Salam kenal.