Dibandingkan misalnya di Jawa, atau bahkan di Jakarta, apa yang terjadi di Belitung mungkin bukan suatu hal yang begitu menarik perhatian kebanyakan kita. Terutama bila hal itu menyangkut tokoh yang dianggap panutan, umpamanya akhir-akhir ini soal poligami kiai kesohor dari Bandung itu atau perselingkuhan anggota DPR, yang telah mengambil porsi pemberitaan media cukup besar.
Padahal A Hok, demikian nama panggilannya, juga tokoh bagi orang Belitung, khususnya bagi kabupaten Belitung Timur. Dan A Hok juga menjadi “skandal” bagi mereka yang pada pertengahan tahun 2005 lalu kaget melihat hasil Pilkada langsung di kabupaten itu. Bagi saya, dia telah menjadi paradoks terhadap apa yang dipandang lazim. A Hok telah menunjukkan bahwa hal-hal tak terduga bisa terjadi dalam politik, sejauh sistemnya memang mengakomodasi kemungkinan-kemungkinan itu.
Dari namanya saja sudah bisa ditebak, dia keturunan Cina. Memang, dia generasi ketiga yang menetap di pulau itu, ayahnya bernama Cung Kim Nam, dan apalagi kalau bukan seorang wirausahawan? Diminutif panggilan A Hok hanyalah alias dari Basuki Tjahaja Purnama, dus rupanya asimilasi sudah cukup kental dalam keluarganya. Dia lahir di Manggar, ibu kota kabupaten Belitung Timur, 29 Juni 1966. Menyelesaikan pendidikan S1 di Jurusan Teknik Geologi Universitas Trisakti dan S2 di Sekolah Tinggi Prasetya Mulya Jakarta. Sempat lebih dulu mengelola berbagai usaha di Belitung dan Jakarta, sebelum pada tahun 2003 memutuskan terjun ke dalam politik melalui Partai Perhimpunan Indonesia Baru (PIB).
Jadi, selain keturunan Cina, dia juga orang muda yang dibesarkan di dalam struktur sosial-politik-ekonomi-kebudayaan à la Orde Baru, melihat usianya yang baru 40 tahun. Dengan demikian ada jarak satu generasi dengan saya sebagai Eksponen 66, sebagaimana sering diisitilahkan orang.
Di tahun 2005 itu, pada saat pasangan Basuki Tjahaja Purnama-Khairul Effendi mencalonkan diri sebagai bupati periode 2005-2010, banyak yang percaya A Hok is the right man on the wrong place, terutama bagi para penganut “kebenaran statistik”. Bisa dimengerti, sebab masyarakat Cina di Kabupaten Belitung Timur hanya sekitar 6.000 orang atau 10% dari total penduduk yang sekitar 60.000 jiwa. Masyarakat berlatar belakang etnis Melayu sekitar 70%, sedangkan sekitar 20% terdiri dari berbagai suku, seperti Bugis, Sunda, Jawa dan Madura. Apalagi dalam statistik pemilu legislatif tahun 2004, dari total 20 kursi DPRD Belitung Timur kaum Bulan dan Bintang di bawah PBB memiliki 41,9% suara, ekuivalen dengan 9 kursi, disusul Golkar 4 kursi, PDIP 2 kursi dan PPP 2 kursi.
Dengan latar belakang semacam itu ternyata pasangan Basuki Tjahaja Purnama-Khairul Efendi— yang diajukan koalisi dua partai kecil, PIB dan PNBK— kemudian bisa memenangkan Pilkada langsung tersebut. Pasangan ini mengantongi 17.578 suara (37,13%) dari total 47.340 suara sah yang masuk. Urutan kedua ditempati pasangan Abdul Hadi Adjin-M Arsyad Hasan dari Golkar dengan 11.041 suara (23.32%). Calon usungan PBB, pasangan Abdul Fatah-M Azrul Azwar, malahan hanya memiliki perolehan 10.691 suara (22.58%).
Data Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) Kabupaten Belitung Timur menunjukkan tingkat partisipasi pemilih Pilkada di kabupaten itu cukup tinggi, yaitu 48.248 orang atau 80 persen dari total daftar pemilih tetap sebanyak 60.885 orang. Partisipasi pemilih yang setinggi itu menunjukkan bahwa pemilih A Hok bukan hanya kelompok masyarakat keturunan Cina, tetapi juga kelompok masyarakat lain seperti Melayu, Jawa, Bugis, Sunda dan Madura.
Selain dia telah menunjukkan kinerja sebagaimana diharapkan oleh masyarakat sebagai anggota DPRD Belitung Timur sejak 2004, A Hok nampaknya juga berhasil menyatukan cita-citanya dengan cita-cita masyarakat Belitung Timur. Pertama dan terutama adalah cita-citanya tentang mesin birokrasi Pemda yang profesional, yang service-oriented, yang memiliki deliverability. Dia bahkan mengatakan, bersama Pemdanya akan memimpin sebuah revolusi pengembalian hak-hak rakyat di bidang pendidikan dan kesehatan, selain tentu saja perekonomian.
Sebuah sikap radikal terhadap isu-sisu yang ternyata memang menjadi kebutuhan masyarakat Belitung Timur, yang selama ini memang menginginkan sebuah Pemda yang lain, yang mampu memenuhi hak-hak dasar mereka.
A Hok juga cukup konkrit tentang apa yang dibayangkannya. Misalnya, tentang anak-anak usia sekolah di Belitung Timur minimal harus menyelesaikan pendidikan tingkat SMU atau setara dengan itu, baik melalui mekanisme subsidi silang ataupun atas biaya Pemda. Begitu juga di bidang kesehatan melalui program Askesnya yang harus berjalan bersamaan dengan program peningkatan daya beli masyarakat melalui terciptanya iklim investasi yang kondusif agar memiliki daya serap tenaga kerja.
Dengan kecenderungan-kecenderungan otonomi daerah yang terus mencari bentuk terbaiknya, di samping perekrutan kepemimpinan politik melalui sistem pemilihan umum langsung juga terus diperbaiki, bila kita bisa memperoleh 200 bupati saja yang semacam A Hok di seluruh Indonesia dari sekitar 400-an yang ada, maka pada saat itu saya bisa membayangkan sebuah Indonesia yang lain sama sekali. Sebuah Indonesia yang jauh lebih berkualitas.
Begitu juga dengan gubernur. Bila kita memiliki setengah saja dari 30-an gubernur yang ada, namun benar-benar memiliki integritas dan kemampuan memimpin, saya kira menteri-menteri di Kabinet harus mulai melakukan peninjauan-ulang tentang peran dan fungsi apa yang masih tersisa bagi mereka.
Sebuah optimisme yang tidak berlebihan, saya kira. Melalui A Hok sebuah inspirasi dihadirkan bagi daerah lain yang juga memiliki masyarakat plural. Tetapi bukan hanya itu, sama pentingnya adalah adanya kesadaran baru bahwa kepemimpinan lokal, baik bupati maupun gubernur, dapat memberikan pelajaran-pelajaran berharga bagi pusat di Jakarta. Sekaligus, “memaksa” pusat untuk melakukan reorientasi kepemimpinannya.
http://sarwonokusumaatmadja.multiply.com
Insyaallah pak Basuki termasuk org pilihan unt membangun kembali tanah air ini yg sdh porak poranda di berbagai sendi…Hanya dari pemilik tangan bersih lah Indonesia bisa jadi bersih, terus terang saya adlh pribumi yg jauh dari rasialisme….semoga Allah memberkati pak Basuki.
“Rasialisme muncul dan terbangun dari sebuah sistem terorganisir yg rapi yang bukan muncul dengan begitu saja”
pak ahok emang inspiratif…
salute..
Teman-teman,
Ini adalah beberapa ide yang anda bisa lakukan untuk mendukung pak Basuki menjadi Gubernur DKI, atau apapun yang diusung oleh pak Basuki:
1. Jawab pertanyaan di Yahoo Answer, cari saja pertanyaan yang bertema: “Pemimpin” atau “Calon Presiden”, “Pemimpin Yang Baik” kemudian anda jawab dan berikan link ke webnya pak Ahok, ahok.org
2. Letakkan banner-banner di blog anda, atau buat postingan khusus, kemudian berikan link ke website ini. Nggak usah panjang-panjang yang penting buat orang penasaran lalu beri link ke postingan yang anda suka dari blog ini.
3. Sms ke teman-saudara-pacar atau siapa saja, ke ahok.org, isikan misalnya: “Jadikan Indonesia Bersih, Transaparan & Professional, Kunjungi: Ahok.org!”
4. Beritahu sebanyak mungkin kolega anda dengan menggunakan: skype, yahoo mesengger, BBM, atau gmailtalk, atau apa saja yang anda ketahui.
5. Buat Thread atau Diskusi di berbagai forum yang ada di Indonesia, dan arahkan ke postingan yang anda suka di blog ini.
Lihat, ada banyak sekali cara anda melakukan dukungan. Dan jangan lupa, dukungan dana yang 20.000 per orang/bulan juga! 🙂
Masa depan keluarga kita, masa depan anak cucu, terletak (salah satunya) di pemimpin masa depan Indonesia, jadi, biarkan pak Ahok yang berjuang menjadi pemimpin Indonesia masa depan, apakah Gubernur ataupun RI1, kita bisa semaksimal mungkin mendukungnya!
Let’s DO IT!
setuju dgn pak kusuma,,,
setuju dan dukung terus semoga dari gelap terbit terang