Dunia benar-benar telah menjadi tanpa batas, semua kejadian dibelahan dunia manapun ,baik atau tidak baik di bidang sosial , budaya , politik, ekonomi maupun keamanan akan mempengaruhi seluruh dunia dibelahan manapun.
Contoh yang paling konkrit adalah kemajuan internet yang sebelumnya adalah kemajuan teknologi televisi satelit. Adanya teknologi ini telah membuat dunia benar-benar tanpa batas.
Amerika Serikat yang dengan konsep memerangi terorisme sampai harus menyerang negara Afganistan dan Irak telah menghabiskan milyaran dolar Amerika setiap tahunnya, sebagai akibatnya mereka membutuhkan banyak uang tunai yang pada akhirnya menyebabkan nilai riil ekonomi AS tidak seimbang dengan nilai uang berharganya yang diperdagangkan , sebagai akibat dari itu semua seluruh dunia ikut terseret didalamnya.
Ada yang memprediksikan dampak di Indonesia akan mulai mengalami masa yang berat dimulai dari bulan april 09, jika ini terjadi apa yang harus kita lakukan ? Tepatnya apa yang harus dilakukan oleh pemerintah agar rakyat mampu menghadapi situasi ekonomi yang sulit dan tentu saja jika ekonomi menjadi sulit maka politik dan keamanan juga akan menjadi hal yang berbahaya bagi keselamatan rakyat.
Untuk mengantisipasi dunia yang tanpa batas, secara gamblang bisa kita katakana kita harus kembali ke pola zaman para nabi, dimana pada masa itu teknologi masih belum menyebabkan dunia menjadi tanpa batas, tentu saja dalam hal ini bukan secara telak kembali ke zaman nabi dengan segala kekejaman dan hidup tanpa teknologinya. Yang saya maksud disini adalah bagaimana manusia pada zaman itu hanya mementingkan adanya tersedia sandang, pangan dan perumahan saja, artinya mereka hanya tahu pada musim menanam harus menanam sehingga mereka akan memiliki makanan sepanjang tahun. Tentu saja mereka juga berternak dan memanfaatkan hasil hutan.
Dalam artikel ini saya hanya akan memfokuskan kepada masalah perut, karena bagi saya yang biasa hidup di kampong, saya selalu mendengar marahnya para ibu rumah tangga jika suaminya masih suka ke warung kopi padahal beras di rumah sudah tinggal 1 calong (1 kaleng susu kental manis). Tentu saja Sistim Jaminan Sosial Nasional (SJSN yang memberi jaminan kesehatan dan pension kepada seluruh rakyat harus dikeluarkan Peraturan PemerintahNya sesuai dengan amanat UU no.40 tahun 2004 tetntang SJSN, dalam artikel ini saya tidak akan membahas masalah SJSN dan sistim jaminan pendidikan bagi seluruh rakyat, mengingat untuk mempersingkat artikel ini hanya maksimal 2 halaman saja).
Dengan berdasarkan prinsip yang penting ada beras di rumah, maka yang perlu disediakan dan disubsidi adalah beras, bukanlah bahan baker minyak .
Apa yang akan terjadi jika menginginkan harga beras murah, tentu saja dengan menetapkan harga GKP (gabah kering panen ) petani, yang tentu saja menjadi tidak sesuai dengan harga beras pasaran di dunia.
Sementara jika harga GKP terlalu tinggi mengikuti harga beras dunia, maka banyak rakyat terutama buruh menjadi tidak mempu membeli beras, harga GKP yang rendah juga menyebabkan lesunya semangat petani untuk menanam padi. Bagaimana cara mengatasi masalah yang harus seimbang ini.
Menurut saya , harga GKP harus mengikuti harga pasaran dunia, yang perlu disubsidi adalah harga beras untuk rakyat yang tidak mampu atau yang hampir tidak mampu akibat krisis global ini.
Cara yang paling efisien adalah mematok harga beras murah misalnya dengan harga Rp.2.000/kg, sementara harga GKP mengikuti pasaran dunia, sehingga petani tetap bersemangat menanam padi dan bisa untung, dilain pihak rakyat bisa membeli beras murah, bagaiman bisa ? Saya yakin bisa, dengan syarat seluruh desa memanfaatkan kantor desa menjadi tempat penjualan beras subsidi tadi, dengan syarat adanya kuota per kepala dewasa hanya mendapat 120 kg / tahun. Tentu saja berasnya bukanlah beras dengan butiran utuh, kita sediakan beras sisa penggilingan yang sudah patahan 30%, karena orang miskin tidak perduli nasinya tetap keliatan buliran bagus utuh, yang penting tidak bau apalagi berkutu, dengan pola demikian, beras yang bagus tetap akan dijual dengan harga mahal, Bulog harus bisa menjadi pedagang beras sekaligus pengusaha penggiringan padi maupun pengimpor beras hanya boleh diimpor yang patahan 30%.
Bagaiman dengan pola petani, seluruh kantor desa disediakan pupuk, obat , dan benih secara konsinyasi, ketika mau meminta lagi mereka harus membayar , departemen pertanian berkewajiban mengelolah ini dan menjamin tersedianya benih, pupuk, dan obat di tiap desa lengkap dengan penyuluhnya.
Lahan sawah harus dimiliki oleh pemerintah , bukan oleh tuan tanah, setiap jengkal sawah dengan irigasi yang lengkap yang dibuka di luar jawa akan tetap menjadi milik pemerintah, siapapun yang mau menggarap akan diberi hak memiliki sampai berapa turunan pun asal tetap mau menggarapnya, dengan memakai pola pembagian 80 utnuk penggarap dan 20 untuk pemerintah daerah , maka seluruh penggarap / buruh tani yang ada di jawa akan memilih pindah secara sukarela menjadi petani yang mendapatkan langsung pinjaman benih, pupuk , dan obat , disertai jaminan pembelian GKP sesuai harga pasar dunia dan mendapatkan pembagian keuntungan 80% setelah dikurangi biaya tanam sampai menjadi GKP siap dijual. Bagaimana dengan sawah di jawa, pemerintah bisa menyediakan dana untuk membelinnya kembali, khususnya daerah yang irigasinya baik, jika tidak memungkinkan beli kembali karena harga yang dinaikan semena-mena, pemerintah cukup konsentrasi buka sawah baru di luar jawa, cepat atau lambat tuan tanah di jawa akan kehilangan pekerja sawahnya, disamping itu industri yang berkembang juga akan menghilangkan lahan sawah di jawa.
Jka semua ini terjadi, maka bangsa Indonesia tetap akan memiliki beras di rumah, dan lauk pauk tidak masalah bagi rakyat Indonesia yang memiliki makanan melimpah hasil laut yang juga akan dimanfaaatkan dengan baik (dalam artikel ini tidak dibahas, sesungguhnya kalau kelautan ini dimanfaatkan dengan baik dan benar, akan menjadikan kita negara kaya raya, pada kesempatan lain akan saya tulis).
Demikian solusi sederhana yang bisa saya berikan dalam menghadapi krisis global ini.
Jakarta, 30 desember 2008