Gonjang-ganjing kasus Bank Century sejak akhir tahun 2009 sampai dengan awal tahun 2010 ini, menarik perhatian masyarakat banyak. Episode cerita kasus ini belum berakhir setelah keputusan DPR RI melalui rapat Paripurna tanggal 3 Maret 2010 yang menyatakan ada kesalahan kebijakan dalam pemberian dana talangan (bail out) senilai Rp 6,7 triliun kepada Bank Century.
Sekedar mengingat kembali drama pilihan opsi A dan opsi C pada sidang Paripurna DPR RI tanggal 3 Maret 2010 yang berakhir dengan voting dan dimenangkan opsi C yang didukung Partai Golkar, PDI-P, Hanura, Gerindra dan PPP. Ke-5 partai ini berkesimpulan bahwa:
1. Pengucuran Dana Bank Century melalui FPJP oleh Bank Indonesia dan penyertaan modal sementara oleh lembaga penjamin simpanan adalah keuangamn Negara.
2. Patut diduga telah terjadi penyimpangan dalam proses pengambilan kebijakan oleh otoritas moneter dan fiskal yang diikuti berbagai penyimpangan dalam pelaksanaan kebijakan tersebut mulai dari (a) operasional Bank CIC, (b) proses akuisisi Bank Danpac, dan Bank Pikko oleh Chinkara Capital, Merger Bank CIC, Bank Danpac, dan Bank Pikko menjadi Bank Century, operasional Bank Century, (c) pemberian FPJP, dan (d) Penyertaan Modal Sementara sampai kepada, (e) mengucurnya aliran dana.
3. Diduga telah terjadi penyalahgunaan wewenang yang dilakukan oleh pihak otoritas moneter dan fiskal dengan mengikutsertakan pemegang saham pengendali, pengurus dan manajemen Bank CIC, dan Bank Century, debitur dan nasabah terkait, sehingga terindikasi merugikan keuangan negara dan perekonomian negara.
Kini masyarakat menunggu proses selanjutnya, yaitu proses hukum. Institusi peradilan di republik ini seperti KPK, Polri dan Kejaksaan Agung sedang diuji nyalinya. Apakah ketiga institusi ini dapat mengungkap tuntas kasus ini sampai ke akar-akarnya? Atau paling tidak memberikan rasa keadilan kepada masyarakat Indonesia terkait kasus Century ini? Kita lihat saja nanti. Yang terpenting adalah jangan sampai lengah. Proses hukum harus terus dikawal, jangan sampai kasus ini menguap dan menghilang begitu saja.
Kasus ini banyak menyedot perhatian masyarakat karena diduga melibatkan para petinggi negeri ini, yaitu Wakil Presiden Boediono yang saat itu menjabat sebagai Gubernur Bank Indonesia. Proses penggantian seorang menteri, tentu tidak sesulit mengganti seorang Wakil Presiden.
Apabila proses hukum ini gagal atau tidak sejalan dengan temuan, kesimpulan, dan rekomendasi Pansus Century, maka cerita kasus ini akan memasuki episode baru, yaitu “Hak Menyatakan Pendapat oleh DPR RI”, dan tidak menutup kemungkinan bahwa kasus ini akan berakhir dengan tindakan PEMAKZULAN terhadap Wakil Presiden Boediono.
Ada beberapa landasan hukum terkait proses pemkazulan terhadap Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut UUD 1945, Keputusan MPR RI Nomor: 6/MPR/2010 tentang Tata Tertib MPR RI dan Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor: 21 Tahun 2009 tentang Pedoman Beracara Dalam Memutus Pendapat Dewan Perwakilan Rakyat Mengenai Dugaan Pelanggaran Oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden.
I. UNDANG-UNDANG DASAR 1945
1. Pasal 7-A:
“Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat atas usul Dewan Perwakilan Rakyat, baik apabila terbukti telah melakukan pelanggaran hukum berupa penghianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden”.
2. Pasal 7-B ayat (1):
“Usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diajukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat hanya dengan terlebih dahulu mengajukan permintaan kepada Mahkamah Konstitusi untuk memeriksa, mengadili, dan memutus pendapat Dewan Perwakilan Rakyat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum berupa berupa penghianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela dan/atau pendapat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden”.
3. Pasal 7-B ayat (2):
“Pendapat Dewan Perwakilan Rakyat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelnaggaran hukum tersebut ataupun telah telah tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum tersebut ataupun telah tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden adalah dalam rangka pelaksanaan fungsi pengawasan Dewan Perwakilan Rakyat”.
4. Pasal 7-B ayat (3):
“Pengajuan permintaan Dewan Perwakilan Rakyat kepada Mahkamah Konstitusi hanya dapat dilakukan dengan dukungan sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang hadir dalam sidang paripurna yang dihadiri sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat”.
5. Pasal 7-B ayat (4):
“Mahkamah Konstitusi wajib memeriksa, mengadili, dan memutus dengan seadil-adilnya terhadap pendapat Dewan Perwakilan Rakyat tersebut paling lama sembilan puluh hari setelah permintaan Dewan Perwakilan Rakyat itu diterima oleh Mahkamah Konstitusi”.
6. Pasal 7-B ayat (5):
“Apabila Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden terbukti melakukan pelanggaran hukum berupa penghianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela, dan/atau terbukti bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat menyelenggarakan sidang paripurna untuk meneruskan usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat”
7. Pasal 7-B ayat (6):
“Majelis Permusyawaratan Rakyat wajib menyelenggarakan sidang untuk memutuskan usul Dewan Perwakilan Rakyat tersebut paling lambat tiga puluh hari sejak Majelis Permusyawaratan Rakyat menerima usul tersebut”.
8. Pasal 7-B ayat (7):
“Keputusan Majelis Permusyawaratan Rakyat atas usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden harus diambil dalam rapat paripurna Majelis Permusyawaratan Rakyat yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota yang hadir, setelah Presiden dan/atau Wakil Presiden diberi kesempatan menyampaikan penjelasan dalam rapat paripurna Majelis Permusyawaratan Rakyat”.
II. KEPUTUSAN MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR: 6/MPR/2010 TENTANG PERATURAN TATA TERTIB MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA.
1. Pasal 5 huruf c:
“memutuskan usul DPR untuk memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya, setelah MK memutuskan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden terbukti melakukan pelanggaran hukum berupa penghianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela, dan/atau terbukti bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden”.
2. Pasal 5 huruf d:
“memilih Wakil Presiden dari 2 (dua) calon yang diusulkan oleh Presiden apabila terjadi kekosongan jabatan Wakil Presiden dalam masa jabatannya”.
3. Pasal 112
(1) Dalam hal terjadi kekosongan Wakil Presiden, MPR menyelenggarakan Sidang Paripurna MPR dalam waktu paling lambat 60 (enam puluh) hari untuk memilih Wakil Presiden;
(2) Waktu penyelenggaraan Sidang Paripurna MPR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diputuskan di dalam Rapat Gabungan Pimpinan MPR, Pimpinan fraksi-fraksi dan Pimpinan Kelompok Anggota;
(3) Rapat Gabungan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan paling lambat 3 x 24 (tiga kali dua puluh empat) jam setelah terjadi kekosongan jabatan jabatan Wakil Presiden;
(4) Pimpinan MPR menyampaikan surat pemberitahuan kepada Presiden tentang hasil putusan Rapat Gabungan sebagaimanadimaksud pada ayat (2) paling lambat 3 x 24 (tiga kali dua puluh empat) jam setelah Rapat gabungan dilaksanakan;
(5) Surat pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilampirkan dengan dengan syarat-syarat yang harus dilengkapi oleh calon Wakil Presiden sesuai dengan peraturan perundang-undangan;
(6) Presiden mengusulkan 2 (dua) calon wakil Presiden beserta kelengkapan syarat-syarat kepada Pimpinan MPR, paling lambat 14 (empat belas) hari sebelum penyelenggaraan Sidang Paripurna MPR;
(7) Paling lambat 2 x 24 (dua kali dua puluh empat) jam sebelum batas waktu 14 (empat belas hari) bagi Presiden menyerahkan usul 2 (dua) calon Wakil Presiden sebagaimana dimaksud pada ayat (6), MPR menyelenggarakan Rapat Gabungan Pimpinan MPR, Pimpinan fraksi-fraksi dan Kelompok Anggota untuk membentuk Tim Verifikasi;
(8) Tim Verifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (7) bertugas melakukan verifikasi terhadap kelengkapan dan kebenaran dokumen persyaratan 2 (dua) calon Wakil Presiden sebagaimana dimaksud pada ayat (6);
(9) Tim Verifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (7):
a. terdiri atas sebanyak-banyaknya 5% (lima persen) dari Anggota yang susunannya mencerminkan fraksi dan Kelompok Anggota secara proporsional;
b. keanggotaannya ditetapkan dengan Keputusan Pimpinan MPR;
c. masa kerjanya paling lama 7 (tujuh) hari sejak Presiden menyerahkan kelengkapan syarat-syarat bakal calon Wakil Presiden sebagaimana dimaksud pada ayat (6);
d. dapat membentuk tim ahli; dan
e. melaporkan hasil kerjanya kepada Pimpinan MPR;
(10) Dalam hal laporan hasil kerja Tim Verifikasi menyatakan bahwa syarat-syarat dari salah satu atau 2 (dua) calon Wakil Presiden yang diusulkan Presiden belum lengkap, Pimpinan MPR menyampaikan surat pemberitahuan kepada Presiden untuk memperbaiki dan/atau melengkapi dalam waktu paling lambat 4 (empat) hari sebelum Sidang Paipurna MPR sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diselenggarakan;
(11) Dalam hal syarat-syarat dinyatakan belum lengkap sebagaimana dimaksud pada ayat (10) maka Pimpinan MPR dapat memperpanjang masa kerja Tim Verifikasi sampai dengan 1 x 24 (satu kali dua puluh empat) jam sebelum Sidang Paripurna sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diselenggarakan;
(12) Dalam hal syarat-syarat masih dinyatakan belum lengkap setelah masa kerja Tim Verifikasi diperpanjang sebagaimana dimaksud pada ayat (11) maka Pimpinan MPR dapat mengundang Rapat Gabungan untuk menunda penyelenggaraan Sidang Paripurna sebagaimana dimaksud pada ayat (2);
(13) Penundaan penyelenggaraan Sidang Paripurna sebagaimana dimaksud pada ayat (12) tidak melebihi batas waktu 60 (enam puluh) hari sebagaimana dimaksud pada ayat (1);
(14) Pimpinan MPR menetapkan 2 (dua) calon Wakil Presiden yang diusulkan oleh Presiden sebagaimana dimaksud pada ayat (6) menjadi calon Wakil Presiden yang telah memenuhi persyaratan untuk dipilih berdasarkan laporan hasil kerja Tim Verifikasi;
(15) 2 (dua) Calon Wakil Presiden sebagaimana dimaksud pada ayat (14) wajib menyampaikan pernyataan kesiapan pencalonan dalam Sidang Paripurna MPR sebelum dilakukan pemilihan;
(16) Calon Wakil Presiden yang memperoleh suara terbanyak dalam pemilihan di Sidang Paripurna MPR ditetapkan sebagai Wakil Presiden;
(17) Dalam hal suara yang diperoleh tiap-tiap calon sama banyak, pemilihan diulang untuk 1 (satu) kali lagi;
(18) Dalam hal pemilihan sebagaimana dimaksud pada ayat (17) hasilnya tetap sama, Presiden memilih salah satu di antara calon wakil Presiden;
4. Pasal 113:
“Wakil Presiden terpilih sebagaimana dimaksud dalam Pasal 112 ayat (16) atau ayat (18) ditetapkan dengan Ketetapan MPR”.
III. PERATURAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR: 21 TAHUN 2009 TENTANG PEDOMAN BERACARA DALAM MEMUTUS PENDAPAT DEWAN PERWAKILAN RAKYAT MENGENAI DUGAAN PELANGGARAN OLEH PRESIDEN DAN/ATAU WAKIL PRESIDEN.
Peraturan ini terdiri dari 10 Bab dan 23 Pasal. Bab I berisi Ketentuan Umum, Bab II Pihak-pihak, Bab III Tata Cara Mengajukan Permohonan, Bab IV Registrasi Perkara dan Penjadwalan Sidang, Bab V Persidangan, Bab VI Penghentian Proses Pemeriksaan, Bab VII Rapat Permusyawaratan Hakim, Bab VIII Putusan, Bab IX Ketentuan Lain-lain, dan Bab X Penutup.
1. Pasal 2:
(1) Pihak yang memohon putusan Mahkamah atas Pendapat DPR adalah DPR yang diwakili oleh Pimpinan DPR yang dapat menunjuk kuasa hukumnya;
(2) Pihak yang diduga melakukan pelanggaran adalah Presiden dan/atau Wakil Presiden yang dapat didampingi dan/atau diwakili oleh kuasa hukumnya.
2. Pasal 3 ayat (3) huruf a:
“(3) DPR wajib menguraikan dengan jelas dalam permohonannya mengenai:
a. Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum berupa penghianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela”.
3. Pasal 4 ayat (1):
“Dalam hal Pendapat DPR erkaitan dengan dugaan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) huruf a, permohonan harus memuat secara rinci mengenai jenis, waktu, dan tempat pelanggaran hukum yang dilakukan oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden”.
4. Pasal 9 ayat (1):
“Persidangan dilakukan oleh Pleno Hakim yang sekurang-kurangnya dihadiri oleh 7 (tujuh) orang hakim konstitusi”.
5. Pasal 19
(1) Putusan Mahkamah terhadap Pendapat DPR wajib diputus dalam jangka waktu paling lambat 90 (sembilan puluh) hari sejak permohonan dicatat dalam BRPK”.
(5) Putusan Mahkamah bersifat final secara yuridis dan mengikat bagi DPR selaku pihak yang mengajukan permohonan”.
6. Pasal 20
“Putusan Mahkamah yang mengabulkan permohonan DPR tidak menutup kemungkinan diajukannya Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam persidangan pidana, perdata, dan/atau tata usaha negara sesuai dengan asas dan hukum acara masing-masing”.
7. Pasal 21
“Dalam hal hukum acara pemeriksaan atas Pendapat DPR belum diatur dalam Peraturan ini, mutatis mutandis berlaku asas-asas hukum acara pidana, hukum acara perdata, maupun hukum acara tata usaha negara”.
Demikian beberapa catatan tentang landasan hukum proses pemakzulan Presiden dan/atau Wakil Presiden. Semoga bermanfaat.
Terima kasih.
Dalam Hukum Tata Negara, Politik adalah panglima, hukum dapat dibuat untuk mengabdi kepada politik. Namun dari semua itu yang tertinggi adalah tujuan negara, yaitu berbuat untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Kalau DPR berkehendak apapun bisa tercapai, apalagi cuma pemakzulan seorang wapres. Cuma perlu dikaji aspek sosial dan politisnya, juga manfaatnya bagi perkembangan politik dan ketatanegaraan Indonesia !
Jangan ancaman pemakzulan hanya dijadikan sebagai alat untuk transaksi politik sesaat untu kekuasaan semata !!! apabila itu terjadi, maka kesadaran politik masyarakat yang telah tumbuh dapat menjadi hancur !!! Apatisme politik dapat mengancam proses demokratisasi Indonesia !!!
Terus berjuang !!!!!