Ini adalah kunjungan kerja yang ketiga kalinya selaku anggota DPR RI. Kunjungan ke Kupang NTT merupakan kunjungan pertama kali sebagai anggota Baleg, kunjungan kerja yg pertama ke Palu Sultra dan Babel adalah kunjungan kerja reses dari komisi dua.
Apa yg menjadi persoalan dalam kunjungan kerja seperti ini ? Kami mendapatkan biaya sistem lump sum yg diatur oleh staf sekretariat, uang tiket, uang saku, uang hotel dan uang transportasi, semua dihitung dgn standar tertinggi dan termahal di kota yg akan dikunjungi.
Pada kunjungan yg pertama ke Palu, staf menawarkan apa mau tiket eksekutif atau ekonomi, karena berpikir semua untuk penghematan dan kesetia kawanan, saya ikut di ekonomi, ternyata dengan demikian saya mendapatkan sisa uang dari tiket untuk eksekutif yang dibelikan tiket ekonomi, lumayan banyak selisihnya apalagi kalau penerbangan yg di atas 3 jam.
Pertanyaannya adalah, apakah akan kita kembalikan kepada negara ? Jawaban para staf tidak perlu karena ini memang sistem lump sum, jadi tidak ada peraturan yg dilanggar. Saya semenolak uang menginap ketika berkunjung ke Palu akan dibayar oleh Bupati setempat tentu hal ini sempat membuat suasana menjadi tidak nyaman. Dan akhirnya staf pendamping menyetujui dibayar sesuai dana yg ada, dan sisanya akan diperhitungkan, ternyata sisanya tdk pernah diberikan , ini menjadi “semacam jatah” staf pendamping sebagai “tip” dari anggota DPR ?
Yang menjadi persoalan bagi saya adalah apakah benar tiket yg dianggarkan untuk kelas eksekutif dibelikan yang ekonomi agar mendapat sisa yg cukup lumayan? Dari sisi penghematan uang negara saya setuju sebaiknya anggota kalau melakukan perjalanan dinas sebaiknya tiket yang akan digunakan berada di kelas ekonomi, tetapi faktanya adalah anggaran yang tersedia justru untuk kelas eksekutif/bisnis, berarti tidak ada penghematan uang rakyat. Justru anggota dewan yang bersangkutan untung karena mendapatkan selisih dan hal itu merupakan penghasilan tambahan, apakah hal ini dilaporkan dalam pengisian SPT Pajak ? Jika tidak, bukankah ini merupakan contoh buruk kepada masyarakat ?
Jadi pertanyaannya lanjutannya adalah, apakah benar anggota dewan menganggarkan kelas eksekutif tetapi faktanya menggunakan tiket kelas ekonomi guna memperoleh keuntungan dari selisih harga tiket ?
Begitu juga dengan kunjungan kerja yang hanya dua hari tapi dianggarkan menjadi tiga hari ?, Sejak kejadian kunjungan kerja ke Palu saya memutuskan memakai anggaran sesuai dengan APBN yaitu menggunakan tiket kelas binis dan tidak mencari keuntungan dari selisih harga tiket, walaupun saya pribadi tentunya lebih memilih naik kelas ekonomi.
Jika memang mau menghemat uang rakyat hendaknya ditentukan bahwa seluruh anggota dewan termasuk juga pejabat esalon 1 dan 2 hendaknya menggunakan tiket kelas ekonomi dalam melakukan perjalanan dinasnya. Kalau memang dinilai utk kenyamanan dan wibawa pejabat sehingga disetujuinya tiket bisnis, maka sebaiknya sesuai dgn anggaran menggunakan tiket bisnis.
Harga diri bukan diukur bedasarkan tiket dimana yang bersangkutan duduk apalagi sampai menukar tiket yang dialokasikan untuk tiket kelas binis dengan tiket kelas ekonomi ? sungguh hal yang melunturkan wibawa anggota dewan tersebut paling tidak dimata staf pendamping.
Kupang , 12 april 2010
Hotel kristal
BTP