Jawaban terhadap tanggapan mengenai RUU PDRTK

0
166

(27/07)—Kepada Pak Gabriel Mahal, Advokat/Pengamat Prakarsa Bebas Tembakau

Salam kebenaran dan keadilan yang harus dijunjung tinggi di Indonesia,

Masuknya artikel Catatan Tentang Draft RUU PDRTK sesaat setelah RDPU Badan Legislasi DPR RI bersama ITCN (link untuk melihat website ITCN: http://indotc.blogspot.com/), tentu saja merupakan bahan pembanding (atau terminologi yang digunakan Pak Mahal ialah “alternatif pilihan”) dari se’gepok’ data kesehatan yang diberikan oleh pihak ITCN bahwa merokok itu suatu hal yang buruk dan merusak kesehatan. Tentu saja, dalam mencari kebenaran seseorang harus mendengar dari kedua sisi pro dan kontra akan suatu isu atau permasalahan. Dalam hal ini pembentukan RUU PDRTK yang baru saja masuk dalam tahap mendengar tanggapan stakeholder, dimulai dari pihak ITCN yang berusaha membangun pendapat dan persepsi bahwa pengaturan mengenai pengendalian tembakau sudah tepat berada di tingkat undang-undang. Masukan/”alternatif pilihan” yang dinyatakan pak Mahal tentu baik adanya. Tapi dapat dikonklusikan “alternatif pilihan’ yang dimaksud tentu berbeda dengan persepsi yang ingin dibangun oleh pihak ITCN dalam RDPU kali itu (RDPU Baleg Terkait dengan UU Pengaturan Dampak PRODUK Tembakau Pada Kesehatan).

Pengetahuan dan pemahaman pak Mahal tentang sejarah dan latar belakang proyek TFI dan FCTC dan fakta-fakta kepentingan nasional atas tembakau dengan segala industrinya sangatlah berharga untuk membangun diskursus isu RUU PDRTK secara sehat dan matang. Tetapi sekali lagi nyatalah berdasarkan pengetahuan dan pemahaman yang pak Mahal miliki tentu posisi “alternatif pilihan’ itu bersebrangan dari pengetahuan dan pemahaman pihak ITCN. Dengan kalimat pembuka “salam dari sesama anak bangsa” dan mencoba menyebutkan “ratio legis est anima legis” (The reason of the law is the soul of the law) bahwa “volkgeists” ala Herder yang disitir oleh Bung Karno yang diartikan “national character,” esprit de la nation, apakah Pak Mahal sedang membangun pandangan bahwa bangsa Indonesia sebagai bangsa yang ‘hanya’ dapat berkembang dari produk tembakau dan cengkeh? Bangsa yang lebih memperhatikan penerimaan negara yang hanya sepersekian dari gurita industri rokok dibandingkan dampak kesehatan dibalik rokok itu?

Penerimaan negara dari cukai rokok yang mencapai kurang lebih 50 triliun di tahun lalu tentu saja bukan prediksi tetapi fakta. Akan tetapi, apakah pendapatan itu sebanding dengan kenyataan pula bahwa penikmat dari keuntungan itu bukanlah rakyat Indonesia secara keseluruhan melainkan hanya segelintir golongan penguasa industri rokok (yang kini mulai dikuasai asing). Fakta lain yang berupa kenyataan bahwa rakyat miskin Indonesia mengeluarkan uang untuk mengkonsumsi rokok kurang lebih Rp.136.534 pada tahun 2007 kedua setelah kebutuhan akan beras, 65 juta rakyat Indonesia adalah perokok (426 ribu perokok anak; 4,8 juta perokok perempuan; 12,6 juta perokok miskin), 65% buruh tani tembakau ingin berpindah usaha menjadi pedagang (hasil survei lembaga demografi UI) merupakan fakta-fakta yang harus menjadi bahan pertimbangan. (data dapat dilihat diunduh di (RDPU Baleg Terkait dengan UU Pengaturan Dampak PRODUK Tembakau Pada Kesehatan)

Sekali lagi, kedua kubu tentu saja akan menjadikan alasan kepentingan bangsa sebagai tameng kepentingannya masing-masing. ITCN bersama jejaringnya sebagai lembaga yang mendapatkan dana bloomberg (cek di http://www.tobaccocontrolgrants.org/Pages/40/What-we-fund) serta data-data lain yang masuk dalam ranah perang nikotin tentu saja harus digali kebenarannya. Berbagai penelitian yang menggugurkan logika rokok membawa dampak bagi kesehatan juga harus digali kebenarannya (lihat Lauren A. Colby – In Defense of Smokers, Roll Royce of Studies – British Journal of Cancer 2002, Journal of Critical Epidemology 42, No 8, 1989, Aisling Irwin dalam artikelnya berjudul Study casts doubt on heart ‘risk factors’ (International News, 25/8/1998), Monica Study – European Congress of Cardiology in Vienna pada Agustus 1998). Perang antara industi farmasi internasional dan industri rokok internasional haruslah dilihat secara seksama. Indonesia kini menjadi medan pertempuran dua kekuatan besar dan sekali lagi pandangan pak Mahal memperkaya khasanah masalah ini akan tetapi tidak secara serta merta menafikan nilai-nilai positif yang dibawa oleh RUU PDRTK ini dan konsep ITCN.

Pandangan saya, RDPU di Badan Legislasi haruslah diperbanyak sehingga penyerapan akan data yang valid semakin optimal, kepentingan stakeholder dapat dimengerti oleh para pembuat kebijakan, dan pada akhirnya peraturan yang tercipta benar-benar untuk kepentingan bangsa dan bukan memenangkan kepentingan pihak industri farmasi internasional atau pihak industri rokok internasional. Besar harapan saya paragraf terakhir dalam tulisan ini menjadi poin kesepakatan Pak Mahal sebagai Pengamat Prakarsa Bebas Tembakau untuk menciptakan Indonesia yang lebih baik, sebagai tanggungjawab anak bangsa.

Demikian jawaban saya atas klarifikasi pak Mahal.

Salam,

Dwi Putra Nugraha, S.H.

Peneliti Center for Democracy and Transparency

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here