(27/07)—Berikut tanggapan dan catatan saya atas persoalan kehadiran anggota DPR yang minim dalam rapat paripurna dan rapat alat kelengkapan:
Fakta makin banyaknya anggota DPR yang tidak hadir secara penuh atau absen sama sekali dalam rapat paripurna ataupun rapat alat kelengkapan merupakan gejala menurunnya sikap disiplin wakil rakyat.
Setelah menjalani 3 (tiga) masa sidang sejak dilantik awal Oktober tahun lalu, kecenderungan anggota DPR hasil Pemilu 2009 yang tidak disiplin semakin menjadi-jadi. Publik mengecam hingga akhirnya mengundang keprihatinan pimpinan DPR.
Untuk mengatasi persoalan ini, pimpinan DPR mengusulkan penggunaan absensi model finger print atau sidik jari. Dengan demikian, anggota DPR tidak bisa “merekayasa” lagi kehadiran mereka atau bahkan bisa dengan mudah dan praktis absensi mereka dalam rapat-rapat di DPR terdokumentasikan dengan baik, sehingga bisa diketahui mana anggota yang rajin hadir dan mana yang tidak.
Cara lain yang juga sempat diusulkan (oleh Fraksi PPP) adalah penerapan sistem renumerasi berdasarkan kehadiran. Anggota DPR hanya mendapatkan renumerasi jika menghadiri rapat-rapat di DPR. Apabila absen, maka ada pemotongan.
Sepenuhnya mengandalkan penggunaan teknologi absensi finger print atau sidik jari atau menerapkan sistem renumerasi bersyarat hanya akan memenuhi standar kinerja yang sangat minimalis. Dengan kata lain, absensi finger print atau sidik jari dan sistem renumerasi bersyarat sekedar memobilisasi kehadiran tanpa mendorong sebuah capaian kinerja yang lebih signifikan.
Harus ada seperangkat kriteria dan mekanisme kerja yang pada suatu titilk memaksa anggota DPR untuk lebih berdaya dan akuntabel dalam menjalankan perannya, terkait dengan fungsi legislasi, pengawasan, dan anggaran. Pertanyaannya adalah (1) apa wujud kriteria dan mekanisme kerja tersebut? dan (2) siapa yang merumuskan, menjalankan, dan mengawasinya?
Bagaimana cara kita memulai dan memformulasikan kriteria dan mekanisme kerja dimaksud? Pengaturan tentang bagaimana DPR atau dalam hal ini alat kelengkapan bekerja dapat ditemui di UU No 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3) dan Peraturan DPR No 1 Tahun 2009 tentang Tata Tertib. Sayangnya, beberapa pengaturan khususnya yang terkait dengan akuntabilitas anggota DPR belum terlihat konkret. Sebagai contoh, Pasal 80 ayat (2) UU MD3 jo Pasal 18 ayat (6) Peraturan Tata Tertib DPR memerintahkan fraksi melakukan evaluasi terhadap kinerja anggotanya dan melaporkan kepada publik, paling sedikit 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun sidang. Dengan demikian, desakan terhadap akuntabilitas kinerja anggota DPR (yang salah satunya) dalam bentuk publikasi kehadiran dalam rapat-rapat paripurna atau rapat alat kelengkapan bukanlah tanpa alasan. Di sini ada tuntutan terhadap seluruh fraksi yang ada di DPR untuk segera menentukan sejumlah kriteria dalam mengevaluasi kinerja anggotanya dan memfasilitasi agar proses evaluasi tersebut berjalan melalui serangkaian prosedur atau tahapan.
Selain tuntutan terhadap fraksi, sebagian kalangan dari internal maupun luar DPR mendesak agar Badan Kehormatan (BK) turut mengambil peran mengatasi kedisiplinan anggota DPR yang minim. Pasal 127 ayat (1) huruf c UU MD3 menyatakan bahwa BK bertugas melakukan penyelidikan dan verifikasi atas pengaduan terhadap anggota karena (salah satunya) tidak menghadiri rapat paripurna dan/atau rapat alat kelengkapan DPR yang menjadi tugas dan kewajibannya sebanyak 6 (enam) kali berturut-turut tanpa alasan yang sah. Secara tidak langsung ketentuan ini sama halnya dengan bentuk pelanggaran terhadap Pasal 6 Keputusan DPR No 16/DPR RI/I/2004-2005 tentang Kode Etik DPR.
Sayangnya langkah BK ini masih mensyaratkan adanya pengaduan, padahal Peraturan DPR tentang Tata Beracara BK Pasal 6 menyatakan pelanggaran yang tidak memerlukan pengaduan adalah pelanggaran atas ketidakhadiran anggota DPR dalam rapat-rapat DPR yang menjadi kewajibannya. Selain itu, ketentuan tersebut tidak dilengkapi dengan kewenangan BK untuk memastikan mereka dapat mengetahui ketidakhadiran anggota secara fisik sebanyak 3 (tiga) kali berturut-turut dalam rapat.
Batasan (waktu) ketidakhadiran anggota DPR dalam rapat ternyata ada perbedaan. Jika dalam Pasal 127 ayat (1) huruf c UU MD3 adalah enam kali berturut-turut tanpa alasan yang sah, sedangkan Pasal 127 ayat (1) huruf a jo Pasal 79 huruf g UU MD3 jo Pasal 6 Kode Etik DPR yaitu tiga kali berturut-turut dalam rapat sejenis.
Dalam satu tahun ke depan, perbaikan UU MD3 menjadi sebuah kebutuhan dalam menempatkan kriteria dan mekanisme yang responsif terhadap akuntabilitas kinerja anggota DPR. Sedangkan dalam jangka pendek, sesuai Pasal 127 ayat (2) UU MD3, BK dapat melakukan evaluasi dan penyempurnaan tata tertib dan kode etik.
Terima kasih
Salam
Ronald Rofiandri
Direktur Monitoring, Advokasi, dan Jaringan
Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia (PSHK)