(06/08)—Beberapa waktu lalu, dalam rilis risetnya LSM Indonesian Corruption Watch (ICW) memaparkan fakta bahwa trend Korupsi di Indonesia sedang mengalami peningkatan. Hal ini tergambar dari investigasi mereka bahwa dalam kurun waktu semester pertama tahun 2010 ini bila dibandingkan dengan semester pertama tahun 2009 lalu, terjadi peningkatan. Dari 86 kasus pada 2009, menjadi 176 kasus di semester pertama 2010 ini (hingga Juni 2010). Dalam temuannya ICW juga menemukan bahwa terjadi trend pergeseran modus korupsi, apabila di tahun 2009 lebih banyak modus Penyalahgunaan Anggaran, maka di tahun 2010 ini modus yang terbanyak dilakukan adalah Penggelapan Anggaran.
Hal ini tentu menjadi perhatian publik, persoalan mengenai korupsi seolah tidak ada habisnya di Indonesia. Bagaimana keadaan sebenarnya dari kasus-kasus korupsi yang terjadi? Dan apa saja modus-modus korupsi, terutama di daerah yang seringkali dilakukan oleh oknum-oknum di segala lini pemerintahan? Pertanyaan-pertanyaan itulah yang menjadi tema utama dalam program acara “Suara Anda” di Metro TV pada 5 Agustus lalu yang manghadirkan narasumber Agus Sunaryanto dari Divisi Investigasi ICW, dan Basuki T. Purnama (Ahok) sebagai seorang mantan Bupati dan juga anggota Komisi II DPR RI.
Otonomi daerah yang berlaku di Indonesia pasca reformasi di satu sisi adalah sebuah peluang bagi daerah-daerah untuk mendapatkan diskresi penuh untuk mengatur keuangannya sendiri dan mensejahterakan masyarakatnya. Namun di sisi lain yang terjadi adalah suburnya praktik-praktik korupsi. Dalam laporannya, ICW juga mengidentifikasikan 5 besar Provinsi yang tertinggi jumlah kasus korupsinya. Menurut data ICW, kasus-kasus tersebut sesungguhnya merupakan kasus-kasus yang terjadi satu atau dua tahun sebelumnya, hal ini tentu mengindikasikan para aparat penegak hukum belum optimal dalam memproses laporan dugaan korupsi.
Menurut Basuki T. Purnama, ada banyak modus yang sering dipakai oleh oknum pemerintahan, baik Eksekutif maupun Legislatif untuk mencuri uang rakyat di APBD, seperti proyek fiktif, mengkorupsi spesifikasi barang dalam pelaksanaan proyek pemerintah, SPPD fiktif, hingga penggunaan dana Bantuan sosial untuk kepentingan politik praktis. Menurutnya, untuk dapat menanggulangi hal tersebut pemerintah pusat dituntut berani tegas serta memiliki niat politik dalam membentuk suatu aturan yang lebihmengikat agar tidak ada celah bagi oknum koruptor untuk mencuri APBD lagi. Asas pembuktian terbalik adalah salah satu diantaranya.
Selain itu Basuki juga mengajak kita untuk lebih cermat dalam melihat data-data mengenai kasus korupsi. Seperti contohnya temuan ICW yang menyebutkan bahwa kasus di semester 1 tahun 2010 lebih banyak (meningkat) dibanding tahun 2009. Menurutnya bisa jadi sesungguhnya di tahun 2009 kasus korupsi jauh lebih banyak daripada di 2010, hanya saja belum ketahuan ataupun sengaja disimpan karena mengingat pada saat itu merupakan masa genting dalam pelaksanaan Pemilihan Umum. Begitu juga mengenai data korupsi di daerah, apabila ada pejabat daerah yang mengjlaim daerahnya transparan dalam hal keuangan dengan parameternya adalah opini terhadap laporan keuangan daerah oleh BPK (Badan Pemeriksa Keuangan), beliau mengingatkan kepada kita akan kasus yang belum lama terjadi di suatu Kota dimana oknum pemerintah daerah terbukti menyuap petugas BPK untuk mengupgrade opini laporan keuangan daerah tersebut. Hal ini jelas bisa mengakibatkan berkurangnya kepercayaan masyarakat terhadap institusi pemerintah.
Maka untuk ke depannya diharapkan peran serta masyarakat yang secara proaktif melakukan pengawasan terhadap pejabatnya atau kepala daerahnya apabila terindikasi melakukan tindak pidana korupsi agar melapor sesuai mekanisme yang berlaku. Apalagi ditengah kondisi dimana penegak hukum ternyata belum terlalu bisa diandalkan. Sebab bagaimanapun sebagai pihak yang paling dirugikan oleh ulah para koruptor, masyarakat memiliki hak dan kewajiban paling depan sebagai motor penggerak utama dari gerakan anti korupsi di Nusantara tercinta ini.