(11/08) — Menyikapi hasil rapat pimpinan DPR, Selasa, 10 Agustus 2010, yang akan lebih memprioritaskan fungsi legislasi pada Masa Sidang I Tahun Sidang 2010-2011 dan juga menyepakati beberapa hal terkait dengan strategi penyelesaian target legislasi, ada sejumlah poin krusial yang perlu dicermati, antara lain:
1. Terobosan seperti penetapan Rabu dan Kamis sebagai “hari legislasi” dan penggunaan waktu libur untuk kerja legislasi patut diapresiasi. Bahkan untuk lebih memaksimalkan waktu yang tersedia, DPR dapat saja mengalokasikan sebagian masa reses untuk kepentingan pembahasan RUU. Penafsiran lebih jauh terhadap Pasal 139 jo Pasal 141 jo Pasal 254 Peraturan DPR No 1 Tahun 2009 tentang Tata Tertib memungkinkan kebijakan tersebut dijalankan. Selain itu, dalam satu hari (katakanlah Rabu atau Kamis) dapat lebih dioptimalkan hingga malam hari, yang mana Pasal 219 ayat (1) huruf b Peraturan Tata Tertib menyatakan bahwa waktu rapat DPR (termasuk salah satunya) adalah pada malam hari dari pukul 19.30 sampai dengan pukul 22.30 pada setiap hari kerja.
2. Pimpinan DPR juga menyepakati adanya pembatasan waktu kunjungan kerja ke daerah atau lebih tepatnya kegiatan kunjungan kerja direncanakan lebih selektif. Pembatasan tidak hanya berlaku untuk kunjungan kerja, namun juga program studi banding (baik yang dilakukan oleh Komisi, gabungan Komisi, atau Baleg), karena dapat menyita waktu anggota DPR, selain juga relevansinya terkadang dipertanyakan.
3. Perlu diketahui bahwa Masa Sidang I Tahun Sidang 2010-2011 merupakan periode proses pembuatan RUU tentang APBN (dalam hal ini Tahun Anggaran 2011) beserta nota keuangannya. Periode ini lebih tepat dikatakan sebagai bagian dari siklus pembahasan APBN, yang merupakan sebuah rangkaian, yang diawali penyampaian RUU APBN beserta nota keuangan dan dokumen pendukung (oleh Presiden) pada rapat paripurna DPR (yang rencananya akan diselenggarakan Senin, 16 Agustus 2010). Kemudian akan dilanjutkan dengan tahapan selanjutnya hingga Oktober yaitu (1) penyampaian laporan hasil pembahasan tingkat I di Badan Anggaran DPR; (2) Pernyataan persetujuan/penolakan dari setiap fraksi secara lisan yang diminta oleh pimpinan rapat paripurna; dan (3) penyampaian pendapat akhir pemerintah. Dengan demikian, ini menjadi tantangan tersendiri bagi DPR, khususnya Badan Legislasi (Baleg), Komisi, dan forum Badan Musyawarah (Bamus) untuk mensinergikan agenda pembahasan RUU APBN (berdasarkan siklus yang selama ini berjalan) dengan kesepakatan memprioritaskan target legislasi, tidak hanya dalam Masa Sidang I namun juga hingga akhir 2010. Pasal 215 ayat (1) Peraturan Tata Tertib bahkan menegaskan bahwa masa persidangan, jadwal, dan acara persidangan ditetapkan oleh Bamus dengan memperhatikan ketepatan waktu pembahasan RUU tentang APBN beserta Nota Keuangannya dan RUU tentang Perubahan APBN.
4. Baleg sebenarnya telah menentukan setiap Komisi paling tidak bisa menyelesaikan dua RUU dan enam RUU di Panitia Khusus (Pansus). Tercatat, Komisi II sudah menindaklanjutinya dengan menetapkan RUU tentang Perubahan UU No 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu dan RUU tentang Kepegawaian atau Komisi X untuk RUU Cagar Budaya dan RUU Kepramukaan sebagai dua RUU prioritas (Komisi II dan Komisi X) yang ditargetkan bisa selesai akhir 2010. Harapannya, kebijakan yang diambil Komisi II dan Komisi X dapat dilakukan oleh Komisi-komisi lainnya, namun tetap mempertimbangkan sejumlah kriteria seperti cakupan pemangku kepentingan yang lebih luas, problem sosial yang ingin dipecahkan, hingga peningkatan taraf kesejahteraan masyarakat. Penetapan maksimal dua RUU ini harus diikuti pula dengan keseriusan fraksi-fraksi di DPR menjalani tahapan-tahapan pra pembahasan atau saat pembahasan, seperti ketepatan waktu menyelesaikan DIM fraksi (untuk RUU yang inisiatifnya dari Pemerintah) dan mengevaluasi kinerja anggota fraksi yang terlibat dalam pembahasan RUU, agar tidak melebihi beban normal atau justru sering absen.
5. Perlu dipertimbangkan agar alat kelengkapan yang terlibat dalam pembahasan RUU, tidak sepenuhnya tergantung dan mengandalkan instrumen Daftar Inventarisasi Masalah (DIM), namun melengkapinya melalui model pengelompokkan (klusterisasi) isu-isu krusial yang dapat dibahas lebih awal. Harapannya, cara ini akan lebih mendorong anggota DPR fokus terhadap masalah dan tidak terjebak pada hal-hal teknis, hingga akhirnya waktu yang dibutuhkan relatif lebih singkat.
6. Meskipun DPR dan Presiden telah melakukan pertemuan konsultasi pada 15 Juli 2010, yang salah satu agendanya yaitu menyepakati 3 (tiga) RUU prioritas yang harus bisa dituntaskan hingga akhir 2010, yaitu (1) UU tentang Otoritas Jasa Keuangan; (2) RUU tentang Jaring Pengaman Sistem Keuangan; dan (3) RUU tentang Perubahan atas UU No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana telah diubah terakhir dengan UU No 6 Tahun 2009, namun tidak menjamin kesepakatan tersebut konsisten dijalankan. Perlu diingat, model pertemuan (konsultasi) sejenis pernah dilakukan pada DPR periode 2004-2009 pada akhir Mei 2009. Saat itu, DPR dan Presiden bersepakat menyelesaikan 6 (enam) RUU prioritas antara lain: RUU tentang Narkotika, RUU tentang Peradilan Militer, RUU tentang Mata Uang, RUU tentang Kependudukan dan Keluarga Sejahtera, RUU tentang Keuangan Negara, dan RUU tentang Ratifikasi dari Transboundary Haze Pollution yang dihasilkan oleh ASEAN. Meskipun diprioritaskan, masih ada yang akhirnya tidak tuntas, seperti RUU Peradilan Militer, RUU Mata Uang, dan RUU tentang Keuangan Negara.
Salam
Ronald Rofiandri
E-mail: ronald.rofiandri@pshk.or.id,
Mobile: 0818-747776
PIN: 2175C4A7
Twitter: @ronaldrofiandri
www.pshk.or.id | www.parlemen.net | www.danlevlibrary.net