Diobral-diobral …….. (Grasi Beneran atau Grasi2an ?)

0
156
Image: matanews.com

(30/08)—Konon bangsa kita ini termasuk bangsa yang pelupa, atau pemaaf. Banyak kesalahan-kesalahan besar yang dilakukan oleh para pejabat (tingg) dan pengusaha (konglomerat) hitam yang dicaci-maki dan dikecam habis-habisan, tetapi seiring dengan lewatnya waktu ke waktu, perlahan namun pasti semua itu seolah dilupakan orang. Setelah sekian lama kemudian orang-orang yang sama bisa muncul kembali dengan segala kejayaannya.

Pejabat dan pengusaha yang bermasalah setelah lewat sekian tahun bisa bangkit kembali di bidangnya masing-masing. Yang pejabat bisa meraih kembali kedudukan politik tingkat tinggi, yang konglomerat bisa membangun kerajaan bisnisnya kembali bahkan bisa menjadi jauh lebih besar daripada sebelumnya. Padahal kesalahan-kesalahan masa lalu mereka yang termasuk pelanggaran hukum berat belum pernah diganjar dengan hukuman yang setimpal.

Salah satu kehebohan yang memunculkan berbagai kritik dan kecaman terjadi sewaktu Presiden SBY mengobralkan remisi dan grasinya kepada 330 koruptor se-Indonesia.

Namun seiring dengan lewatnya waktu fenomena gejala “Bangsa pelupa” ini muncul lagi. Dengan semakin berkurangnya ulasan-ulasan terhadap peristiwa tersebut.

Sebelum benar-benar dilupakan publik, ada baiknya saya menulis artikel ini.

Yang menjadi sorotan yang paling menonjol adalah remisi berikut pembebasan bersyarat kepada sang besan Aulia Tantowi Pohan, terpidana korupsi Bank Indonesia, dan mantan bupati Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur, Syaukani Hasan Rais, terpidana korupsi APBD 2004-2005.

Keduanya masing-masing diberi remisi dan diteruskan dengan pembebasan bersyarat bagi Aulia, dan grasi bagi Syakani yang langsung bebas setelah sisa masa penjaranya selama 3 tahun dihapus SBY. Kedua keputusan Presiden tersebut dikritik dan dikecam karena memperlihatkan sikap pemerintah yang lembek terhadap koruptor dan bertentangan dengan semangat anti dan pemberantasan korupsi yang dicadangkan oleh Pemerintahan SBY sendiri.

Alasan utama Presiden SBY menggunakan hak prerogatifnya itu adalah karena sesuai dengan undang-undang dan alasan kemanusiaan.

Alasan kemanusiaan sangat ditonjolkan dalam pemberian grasi kepada Syakani. Namun publik dan sebagian pengamat cenderung menaruh curiga ada unsur-unsur nepotisme dan diskrimansi di dalam keputusan tersebut.

Bahkan bisa jadi kedua peristiwa itu; pemberian grasi kepada Syaukani dan remisi plus pembebasan bersyarat Aulia Pohan ada keterkaitannya, seperti yang saya tulis dalam tulisan: http://hukum.kompasiana.com/2010/08/26/grasi-syaukani-bagian-dari-proyek-pembebasan-aulia-pohan/

Dalam tulisan tersebut saya menyebutkan juga bahwa ada ketidakwajaran dalam sikap Presiden SBY dan Menteri Hukum dan HAM Patrialis Akbar dalam hal alasan kemanusiaan dalam pemberian grasi tersebut. Ketidakwajaran tersebut adalah perilaku yang berlebihan dari keduanya ketika mempertunjukkan bahwa mereka begitu manusiawi sangat.

Dari sisi legalitas pemerintah juga membenarkan pemberian grasi tersebut, bahwa itu sudah sesuai dengan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002 tentang Grasi. Katanya, sebelum grasi diberikan selain sisi kemanusiaannya, pemerintah (Presiden SBY dengan pertimbangan Menteri Hukum dan HAM) juga memperhatikan dasar hukumnya.

Pernyataan tersebut dinyatakan oleh Menteri Hukum dan HAM Patrialis Akbar, juga oleh Menteri Sekretaris Negara Sudi Silalahi.

Untuk semakin meyakinkan, Sudi Silalahi mengatakan bahwa sebelum pemberian grasi sekarang ini, Syaukani telah memohon dua kali grasi, yang dua-duanya ditolak Presiden SBY. Mungkin mereka beranggapan bahwa dengan banyak membuat pernyataan-pernyataan seperti ini akan semakin bisa meyakinkan publik dan membenarkan keputusan Presiden tersebut.

Namun justru dari semakin banyak pernyataan kedua pejabat tinggi negara ini secara tak sengaja terungkap ketidakwajaran lainnya. Bahwa memang ada apa-apa di balik pemberian grasi Syaukani ini.

Benarlah nasihat yang tertulis di Amsal 10:19: Di dalam banyak bicara pasti ada pelanggaran, tetapi siapa yang menahan bibirnya, berakal budi.

Mengenai pemberian remisi kepada para koruptor Patrilis Akbar menyatakan bahwa pemerintah sebelumnya telah mengkomunikasikan hal tersebut dengan KPK, dan tak ada keberatan olehKPK. Tetapi pernyataan tersebut segera dibantah oleh KPK.

KPK menyatakan tidak pernah dilibatkan oleh pemerintah tentang pemberian remisi dan pembebasan bersyarat tersebut. Bahkan KPK tidak pernah setuju dengan hal tersebut. Pemerintah hanya mengajukan pertanyaan kepada KPK, apakah koruptor-koruptor itu ada yang telah mengembalikan uang hasil korupsinya, ataukah belum. (Kompas, Rabu, 25/08/2010).

Kebijakan yang menghubungkan pengembalian uang hasil korupsi dengan peringanan beban hukuman yang seharusnya sangat terasa rancu, absurd sekali. Ini juga suatu indikasi kuat bahwa semangat antikorupsi pemerintah hanyalah retorika.

Enak benar para perampok uangnegara tersebut, kalau tidakketahuan merampok, silakan menikmati harta haramnya itu sampai ke anak-cucunya. Kalau ketahuan, gampang saja, dikembalikan, urusan beres. Tidak jadi masuk penjara, dikasih remisi, dibebassyaratkan …

Khusus tentang grasi kepada Syaukani, ketidakwajarannya diungkap oleh Tri Agung Kristanto dari Kompas, lewat ulasannya yang berjudul Narapidana Korupsi: Hukum Itu Memang Kejam dan Memaksa …(Kompas, Rabu, 25 Agustus 2010).

– Setelah vonis Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta yang mengvonisnya 2,5 tahun penjara, Syaukani mengajukan kasasi. Putusan kasasi malah menambah hukuman penjaranya menjadi 6 tahun, dibacakan pada 28 Juli 2008. Sejak itu putusan pengadilan terhadap Syaukani telah berkekuatan hukum tetap.

– Sudi Silalahi bilang, sebelum permohonan grasi yang dikabulkan Presiden ini, pihak Syaukani sudah dua kali mengajukan grasi dan ditolak. Berarti permohonan grasi yang dikabulkan Presiden ini adalah yang ketiga kalinya;

– Kepala Biro Humas dan Hubungan Luar Negeri Kementerian Hukum dan HAM Martua Batubara mengatakan, permohonan grasi oleh Syaukani yang dikabulkan Presiden itu, diajukan pengacaranya melalui Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada 20 November 2009. Martua juga menjelaskan bahwa proses diterimanya berkas permohonan grasi sampai diputuskan Presiden itu membutuhkan waktu 6 bulan 10 hari.

– UU No. 22 Tahun 2002 tentang Grasi mengatur, permohonan grasi dapat diajukan setelah ada putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap. Permohonan grasi tersebut hanya dapat diajukan satu kali, kecuali dalam hal terpidana yang pernah ditolak grasinya dan telah lewat dua tahun sejak tanggal penolakan grasi tersebut.

– Sudi tidak menjelaskan kapan permohonan grasi pertama dan kedua diajukan pihak Syaukani. Tetapi mengacu pada ketentuan Undang-Undang Grasi di atas, maka berarti permohonan grasi yang pertama paling cepat baru bisa diajukan pihak Syaukani pada Juli 2008. Yakni setelah keputusan pengadilan berkekuatan hukum tetap.

– Permohonan grasi pertama ini ditolak Presiden, berarti paling cepat dua tahun lagi baru Syaukani bisa mengajukan permohonan grasi yang kedua, atau paling cepat pada Juli 2010.

– Apabila benar ada grasi kedua ini, dan sesuai keterangan Sudi, juga ditolak Presiden, berarti paling cepat permohonan grasi yang ketiga baru bisa diajukan lagi pada Juli 2012.

– Kenyataanya, permohonan grasi Syaukani yang dikabulkan Presiden ini, dan kata Sudi adalah yang ketiga kalinya, menurut Martua Batubara diajukan pada 20 November 2009.

– Jadi, jangankan memenuhi persyaratan permohonan grasi yang ketiga, persyaratan permohonan grasi yang kedua saja sudah dilanggar: Seharusnya paling cepat Juli 2010, kenapa bisa ada permohonan grasi November 2009? Dan permohonan ini yang dijadikan dasar putusan dikabulkannya permohonan grasi tersebut oleh Presiden.

– Bagaimana permohonan grasi 20 November 2009 ini bisa merupakan permohonan grasi yang ketiga? Tentu saja sangat ganjil dan ada yang salah di sini.

Secara tak sengaja lewat pernyataan para pejabat tinggi ini yang bermaksud membenarkan dan meyakini publik terhadap pengabulan permohonan grasi Syaukani oleh Presiden ini justru menjadi bumerang, mengungkapkan memang ada yang ganjil dalam kasus ini.

Pengebirian wewenang KPK gagal dilakukan lewat rekayasa kasus dan revisi undang-undangnya, maka satu-satunya cara yang efektif dengan adalah dengan obral remisi, pembebasan bersayarat, bilamana perlu grasi dengan berbagai trik dan kamuflase.***

sumber:  http://hukum.kompasiana.com/2010/08/28/keganjilan-di-balik-grasi-syaukani/

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here