(23/09)—Harian Umum Bangka Pos edisi 4 September 2010 telah memuat berita berjudul: “Ongkos Politik Mahal” dimana dalam berita tersebut seolah-olah saya mendukung atau pernah melakukan praktek money politics dalam pemilihan gubernur Provinsi Bangka Belitung tahun 2007.
Isi berita tanggal 4 September 2007 tersebut bahkan menjadi referensi opini Sdr.Dharma Sutomo tertanggal 20 September 2010 di Bangka Pos berjudul:”Pemilukada Adakah Sesuatu Yang Salah?”
Pendapat saya pun dimasukkan dalam polemik pemilihan kepala daerah apakah tetap mempertahankan pemilihan langsung oleh rakyat atau dikembalikan seperti di masa lalu: pemilihan oleh anggota DPRD.
Dalam polemik ini, saya diposisikan membela pemilukada langsung, bukan karena alasan yang substansial tapi karena pertimbangan biaya pemilukada itu sendiri.
Dalam berita dan opini di Bangka Pos tersebut saya dikesankan mendukung pilkada langsung oleh rakyat agar uang money politics tidak hanya mengalir ke segelintir orang saja yaitu pejabat dan DPRD tetapi seluruh rakyat.
Dengan menulis opini ini, saya ingin membantah semua isi berita (4/9) dan opini Sdr. Dharma Sutomo (20/9) bahwa saya tidak pernah melakukan praktek money politics dalam pemilihan gubernur Bangka Belitung.
Agar para pembaca dapat memahami pandangan politik saya secara utuh maka dalam opini ini saya menyampaikan pokok-pokok pikiran saya soal pilkada langsung dan seperti apa kualifikasi pejabat publik yang kontekstual dalam era pilkada langsung tersebut.
Alasan Substansial
Terhadap berita dan opini di atas maka dengan ini saya sampaikan pandangan saya mengapa saya mempertahankan pemilihan kepala daerah secara langsung:
Pertama, alasan substansial, bahwa inti demokrasi antara lain ditandai dengan adanya kedaulatan rakyat dalam arti sesungguhnya termasuk kedaulatan untuk memilih pemimpinnya (presiden, gubernur, bupati dan walikota).
Rakyat dapat melaksanakan hak demokratisnya dalam memilih pemimpinnya manakala rakyat diberi kebebasan yang penuh, kebebasan mana dijamin oleh undang-undang dalam adagium: luber dan jurdil (langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil).
Kedua, alasan konstitusional. Konstitusi kita (UUD 1945 telah menjamin adanya pemilihan Presiden secara langsung, maka sudah sewajarnya pula kalau gubernur, bupati dan walikota dipilih secara langsung oleh rakyat. Ini sekaligus menyempurnakan kerangka otonomi daerah yang mulai diintroduksi sejak tahun 1991 dan diimplementasikan secara penuh sejak tahun 2001.
Dengan demikian, pemilihan kepala daerah secara langsung adalah pilihan rasional yang dijamin pula secara konstitusi. Kalau ada wacana mengembalikan pemilihan kepala daerah melalui DPRD maka hal itu adalah inkonstitusional dan bakal memasung hak-hak demokrasi rakyat.
Pemimpin Yang BTP
Di era sebelum Otonomi Daerah diimplementasikan, sering terjadi pemerintah pusat mendroping calon gubernur dan/atau bupati dan walikota ke daerah-daerah untuk dipilih oleh DPRD. Maka lahirlah gubernur, bupati dan walikota yang tidak aspiratif terhadap kehendak umum rakyat setempat.
Tapi di era otonomi daerah, hal itu tentu tidak lagi terjadi sebab sempurnanya paket Otonomi Daerah justru ketika masyarakat setempat tidak diberi peran dan kepercayaan penuh untuk memilih sendiri gubernur, bupati dan walikota mereka secara langsung.
Dengan begitu rakyat akan turut bertanggung jawab ke arah mana perahu otonomi daerah hendak dibawa dengan cara memilih pemimpin yang mempunyai kualifikasi untuk itu. Sebaliknya sang pemimpin (gubernur, bupati atau walikota) harus mampu meyakinkan rakyatnya bahwa dia mempunyai kualitas untuk mensejahterakan rakyatnya.
Kualitas pemimpin seperti apa yang kontekstual di era otonomi daerah sekarang ini? Dalam pandangan saya, seorang gubernur, bupati atau walikota paling tidak harus memenuhi tiga kualifikasi, yaitu: Bersih, Transparan dan Profesional.
Mengapa harus bersih? Karena di era otonomi daerah, begitu banyak dana pusat yang mengalir ke daerah baik melalui DAU, DAK maupun Dana Perimbangan dimana daerah punya otonomi penuh untuk mengelola dana yang besar itu.
Kalau gubernur, bupati atau walikota tidak bersih,atau punya naluri menyunat dana publik maka perahu otonomi daerah bisa karam di tengah jalan, tidak sampai ke pelabuhan tujuan yaitu kesejahteraan rakyat banyak. Maka pemimpin yang bersih adalah prasyarat suksesnya otonomi daerah itu.
Syarat kedua, transparan. Dengan sifat transparan, seorang pemimpin tidak boleh hanya menyuguhkan sebuah hasil akhir kepada masyarakat, akan tetapi dalam semua proses kebijakan, masyarakat dilibatkan sejak awal dalam sebuah proses yang sangat transparan.
Falsafah kuno mengatakan: “the goal is in the process”. Maka hasil akhir yang baik tanpa transparansi kepada masyarakat, belum tentu merupakan berkat bagi masyarakat, dan bisa saja akan terjadi sebaliknya ada penolakan massive dari masyarakat. Maka transparansi adalah suatu keharusan dalam pengelolaan pembangunan di daerah.
Syarat ketiga, profesional.
Seorang yg profesional adalah pribadi yg dibayar atau digaji dan harus bertanggung jawab melaksanakan semua tugas dan fungsi sesuai sumpah jabatannya atau sesuai harapan dari yang membayar/memberi gaji kepadanya.
Dengan demikian kalau pejabat publik yg menerima gaji dari uang rakyat (apbn dan apbd) hrslah pribadi yg profesional dlm arti kata menjadi pemerhati keperluan rakyat dan mewujudkan harapan rakyat kesejahteraan dan keadilan sosial. Apa wujud nyatanya? Seperti mudah utk disampaikan aspirasi berupa tersedianya no sms utk dihubungi, seorang profesional sbg pejabat publik , hrs siap seperti seorang pelayamn masyarakat.,disamping itu seorang pemimpin yg profesional harus mempunyai kualitas untuk menyelesaikan masalah-masalah pembangunan di daerah secara efektif dan efisien. Seorang pemimpin yang profesional akan mampu mengelola keuangan daerah tepat sasaran, tidak terjadi pemborosan, dan benar-benar menyentuh kepentingan riil masyarakat. Itu hanya mungkin terjadi kalau seorang pemimpin memiliki kualifikasi profesional.
Atas dasar itulah maka dalam setiap kesempatan saya selalu mengkampanyekan kepada masyarakat agar dengan akal sehatnya masyarakat hendaknya memilih pemimpin yang memenuhi kualifikasi BTP (Bersih, Transparan dan Profesional), yang sekaligus menjadi motto hidup saya sebagai pejabat publik sejak menjadi bupati dan kini menjadi anggota DPR RI.
Ir.Basuki Tjahaja Purnama, MM
Anggota F-Golkar DPR RI.
Subhanallah! Saya sangat setuju dengan pendapat Bapak BTP bahwa seorang pemimpin adalah seorang yang harus memiliki kriteria Bersih, Transparan, dan Profesional. Nama Bapak yang jika disingkat adalah BTP juga, karena nama adalah doa, semoga Bapak BTP tetap selalu konsisten pada jalur yang benar meskipun taruhannya NYAWA. Bagi Saya seorang muslim, pemimpin dalam pandangan Islam adalah pelayan rakyat yang, bertanggungjawab langsung pada ALLAH. Karena memimpin umat adalah amanat-Nya, maka bagi seorang muslim yang betul-betul takut pada Allah akan bersungguh2 menjalankan amanatnya. konsekuensinya adalah dia tidak akan berani menyalahgunakan uang rakyat karena ada Hakim yang Maha Adil yang selalu menjadi PENGAWAS. Sayangnya, Saya sedih pemimpin negeri ini adalah muslim, tapi tidak paham akan intisari ajarannya. Salut buat Pak BTP, tetaplah berada di garda kebenaran, karena Allah selalu bersama orang-orang yang benar…
sebelumnya kami juga pernah pak, membaca opini saudra Muhamad Riduwan Al-bangkawi yang cukup menyudutkan Bapak, terkait msalah pemilukada langsung ini.
Kami sendiri sangat sependapat dengan pandangan dan alasan-alasan substansial yang bapak kemukakan diatas.
Maju terus Pak, kami berharap suara masyarakat BaBel disenayan bisa diperjuangkan semaksimal mungkin.
salam, dari kami; Komunitas Blogger Bangka Belitung
fenomena ahok ini adalah yg tidak biasa, soal money politik apa dia lakukan atau tidak saya pikir relatiflah ya, mungkin dilakukan mungkin juga tidak, meneketehe, cuma ahok memang oragn yg bervisi bagus, cuma saking bagusnya suka bosenan pada jabatan yg diembanya. semoga kalau terpilih jdi wagub nanti dia gak gt lagi demi jakarta demi indonesia.
saya warga belitung sory bro ahok
good jobs Salam kenal, infonya sangat bermanfaat salam dari Blogger Bangka