Masukan Terkait Pengelolaan Tanah Aset Negara GBK

2
171

(13/10)—PT. Terminal Builders dan PT. Amana Jaya melakukan gugatan perdata kepada PPKGBK untuk mencoret kata-kata “di atas HPL No. 1/Gelora” pada HGB atas nama PT. Terminal Builders dan PT. Amana Jaya. Bahkan perusahaan tersebut menuntut pemerintah untuk melepas HGB-nya. Apa dasarnya?

Secara singkat dapat digambarkan sebagai berikut:

1.      Badan Pengelola Gelanggang Olah Raga Senayan (BPGS) sebagai pemegang HPL atas tanah seluas 2.664.210 m2 yang terdaftar pada Kantor Badan Pertanahan Nasional Jakarta Pusat sebagai Hak Pengelolaan Nomor 1/Gelora (”HPL No. 1”). Hal ini diperkuat dengan Keputusan Presiden Nomor 4 Tahun 1984  tanggal 13 Januari 1984 (sebagaimana telah beberapa kali diubah), dimana BPGS diberi wewenang untuk mengelola dan mengusahakan pemanfaatan lahan-lahan yang ada dilingkungan Gelanggang Olah Raga Senayan (Gelora Senayan).

2.      Di atas tanah seluas 10.569 m2 yang pada saat ini merupakan bagian dari HPL Nomor 1/Gelora tersebut, PT. Terminal Builders membangun dan mengoperasikan sebuah apartemen pusat perkantoran beserta sarana pendukungnya dengan status HGB.

3.      Tanggal 12 Juli 1971 Yayasan Gelanggang Olah Raga Senayan menerbitkan Akta Pelepasan Hak Atas Tanah  (seluas 10.569 m2) Nomor 27 Tanggal 12 Juli 1971 kepada PT. Terminal Builders, selanjutnya PT. Terminal Builders memperoleh 2 (dua) Sertifikat HGB atas tanah tersebut, yaitu HGB Nomor 16 dan HGB Nomor 17. Masa berlaku kedua Akta HGB tersebut sampai tanggal 14 Januari 2002.

4.      Tanggal 17 November 2000, BPGS juga melakukan perjanjian kerja sama dengan PT. Amana Jaya untuk pemanfaatan lahan seluas 6.207 m2. Tanah tersebut masih merupakan bagian dari HPL Nomor 1/Gelora.

5.      Berdasarkan Akta Penglepasan Hak Atas Tanah Nomor 33 tanggal 16 Maret 1973 oleh Yayasan Gelanggang  Olah Raga Senaayan kepada PT. Terminal Builders. Kemudian PT. Terminal Builders melepaskan Haknya kepada PT. Amana Jaya berdasarkan Akta Pelepasan Hak Atas Tanah tanggal 11 Januari 1974.

6.      Tanah PT. Amana Jaya tersebut di atas merupakan pecahan dari HGB Nomor 16 dan HGB Nomor 17 milik PT. Terminal Builders. Kedua HGB tersebut dipecah menjadi HGB Nomor 37 dan  42 atas nama pemegang hak PT. Amana Jaya.

7.      Dengan demikian PT. Amana Jaya menjadi pemilik baru atas bangunan apartemen pusat perkantoran yang sebelumnya merupakan milik PT. Terminal Builders (didirikan tahun 1972)

8.      Dalam perjanjian tanggal 17 November 2000 huruf (G) disebutkan bahwa:

”Sebagai pemegang HPL Nomor 1, BPGS telah menyetujui penggunaan tanah oleh PT. Amana Jaya untuk terus mengoperasikan apartemen pusat perkantoran dan prasarananya dan karenanya mengizinkan serta menyetujui PT. Amana Jaya untuk mengajukan perpanjangan HGB Nomor 37 dan 42 kepada instansi yang berwenang”.

9.      Pilihan Hukum: Bahwa BPGBS, PT. Terminal Builders dan PT. Amana Jaya sepakat untuk menyelesaikan setiap perselisihan, pertentangan dan perbedaan pendapat yang berhubungan dengan perjanjian kerja sama tersebut secara damai dan bilamana diperlukan baru menggunakan Arbiter sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Permasalahan:

1.      Sesmensesneg, pihak PT. Terminal Builders, dan PT. Amana Jaya perlu menjelaskan secara jelas dan transparan mengenai latar belakang, motivasi dan dasar hukum pencoretan kata-kata ”di atas HPL No. 1/Gelora” pada HGB atas nama PT. Terminal Builders dan PT. Amana Jaya. Sebab dalam perjanjian tanggal 17 November 2000 tersebut sudah diatur secara jelas mengenai kedudukan dan wewenang masing-masing pihak dimana BPGS sebagai pemegang HPL (No. 1/Gelora) dan PT. Terminal Builders serta PT. Amana Jaya sebagai pemegang HGB atas HPL dimaksud. Artinya kedua perusahaan tersebut berkedudukan sebagai pengguna tanah negara. Bahwa yang diperjanjikan adalah HGB, bukan HPL. HGB melekat pada HPL. Kepemilikan HGB dapat diperalihkan, namun HPL tetap dipegang oleh BPGS/PPKGBK. Kenapa kata-kata ”diatas HPL” harus dicoret? Apabila kata-kata di atas HPL dicoret, kemudian para pengusaha itu mau menggunakan Hak apa untuk tanah tersebut? HGB tidak melayang di udara, tetapi melekat pada HPL yang merupakan milik  negara. Itu semua hanya akal-akalan para pengusaha untuk merampas dan merampok hak milik rakyat yang saat ini dikelola oleh negara melalui Sekretariat Negara RI.

2.      Sesmensesneg juga perlu menjelaskan, kenapa penyelesaian masalah tersebut harus melalui pengadilan? Padahal seharusnya dilakukan dengan upaya damai atau melalui  Arbitrase sesuai perjanjian? Bisa saja justru para pengusaha yang mengarahkan Sekretariat Negara untuk menempuh jalur hukum karena mereka tahu bahwa keadilan di negeri ini masih dapat diperjual-belikan.  Sehingga mereka yakin menang (di atas penderitaan rakyat).

3.       Panja Pertanahan dan Panja Aset-Aset Negara Komisi II DPR RI perlu mendalami masalah  ini melalui pendekatan sejarah, hukum dan politik untuk mengungkap semua modus penyalahgunaan Tanah Aset Negara. Apabila Panja Komisi II DPR RI menemukan bukti bahwa tanah tersebut merupakan tanah aset negara, harus dilakukan upaya penyelamatan dengan terobosan-terobosan baru seperti PERINTAH PENYITAAN oleh DPR RI, atau mengumumkan kepada rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi di negeri ini untuk membantu pemerintah dan DPR RI menghadapi para pengusaha ”nakal” tersebut untuk merebut dan mengambil kembali Aset-aset Negara, apapun bentuknya yang saat ini berada ditangan pihak-pihak yang tidak berhak.  Sebab bisa saja para pengusaha tersebut sengaja berlindung dibalik hukum dengan berbagai alasan dan dokumen yang diragukan kebenaran dan keabsahannya (ASPAL). Sampai kapan harus berkompromi dengan para perampok aset negara yang merupakan milik rakyat Indonesia.?

4.      Masalah lainnya adalah: Panja Aset-Aset Negara perlu menghitung ulang nilai-nilai Aset Negara yang saat ini berada di tangan para mitra usaha. Sebab nilai aset-aset negara tersebut dari tahun ke tahun selalu meningkat. Sedangkan kontribusi para mitra usaha kepada negara bersifat tetap (atau  keuntungan para pengusaha dihitung berdasarkan deret ukur, sedangkan untuk rakyat hanya dihtung berdasarkan deret hitung) . Ini merupakan salah satu bentuk ketidakadilan bagi rakyat sebagai pemilik dari aset-aset tersebut.

5.      Perusahaan-perusahaan yang terindikasi merugikan negara harus dituntut dan ditindak secara hukum maupun secara politik, seperti yang dilakukan oleh PT. Sinar Kemala Intermetro Golf, PT. Mulia Intan Lestari (PT. Milt), dan PT. Ariobimo Laguna Perkasa. Perusahaan-perusahaan ini terindikasi ingkar janji dan tidak memiliki itikad baik untuk melaksanakan kewajibannya sesuai perjanjian sehingga merugikan negara dan termasuk perbuatan melawan hukum.

6.      Bahwa secara hukum, semua persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya (Pasal 1338 KUH Perdata), dan setiap perbuatan melanggar hukum yang membawa kerugian kepada seorang  lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu mengganti kerugian tersebut (Pasal 1365 KUH Perdata). Untuk itu Komisi II DPR RI perlu membentuk tim Advokasi hukum untuk meneliti dan mengkaji secara mendalam dan komprehensif kerugian-kerugian negara yang ditimbulkan oleh para pengusaha yang terbukti melanggar perjanjian yang telah dibuatnya tersebut. Hal ini dimaksudkan agar DPR juga memiliki data dan analisis hukum sendiri untuk mengimbangi data dan analisis hukum yang telah dan/atau yang akan dilakukan oleh Pemerintah Cq. Sekretariat Negara terkait dengan kerugian negara yang ditimbulkan oleh para pengusaha ”nakal” tersebut.

Terima kasih.

Jakarta, 13 Oktober 2010

Kamillus Elu, SH

2 COMMENTS

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here