Ahok.Org (05/01) – Salah satu berita yang dimuat harian umum Kompas, Rabu 5 Januari 2011, tepatnya pada halaman 3 (tiga), mengingatkan kita kembali tentang rencana pembangunan gedung baru DPR (selengkapnya di http://bit.ly/ibiMGJ). Ada kemungkinan akan dilanjutkan.
Awalnya, gedung baru dibuat karena keadaannya yang secara fisik tidak kondusif lagi, mulai terlihat miring, retak, dan kemampuan bertahan terhadap bencana gempa bumi (selengkapnya di http://bit.ly/bqalRR). Namun berdasarkan evaluasi Kementerian Pekerjaan Umum, alasan tersebut dibantah dan tidak seperti yang direkomendasikan (selengkapnya di http://bit.ly/96Vfof). Akhirnya desakan membangun gedung baru beralih kepada kebutuhan menambah 3 (tiga) orang tenaga ahli untuk setiap anggota DPR (selengkapnya di http://bit.ly/fJAxUy).
Tulisan ini dibuat bukan untuk menguak sisi kontroversinya secara membabi buta, namun mempertanyakan latar belakang pembangunan gedung baru dengan keinginan menambah tenaga ahli bagi anggota DPR.
Grand Design Kelembagaan DPR
Dokumen Rencana Strategis (Renstra) DPR RI 2010-2014 memuat deskripsi tentang Grand Design Kelembagaan DPR. Salah satunya menyangkut “Pengembangan Prasarana Utama” (selengkapnya di http://bit.ly/czTJoC). Disebutkan bahwa perencanaan pembangunan kawasan parlemen dan gedung DPR menjadi kepentingan yang mendesak untuk dilaksanakan, karena kapasitas dan dukungan yang tidak maksimal. Renstra DPR RI 2010-2014 memprioritaskan untuk melakukan evaluasi terhadap rencana dan rancangan yang telah disiapkan dan sekaligus melakukan persiapan untuk mengawali konstruksinya.
Pernyataan di atas sesungguhnya belum secara terang dan jelas memperkuat dalil DPR membangun gedung baru karena jumlah tenaga ahli yang ingin diperbanyak. Makna frasa karena kapasitas dan dukungan yang tidak maksimal sangat membutuhkan penjelasan yang rinci dan argumentatif.
Salah satu temuan pada bagian Pokok-pokok Penjelasan tentang Renstra DPR RI 2010-2014 tertulis “permasalahan gedung tidak dapat dibatasi secara fisik semata, namun perlu dikaitkan dengan rancangan sistem politik dan perwakilan rakyat serta sistem pendukung maupun unsur-unsur di dalamnya”.
Mengingat tidak ada keterangan lebih lanjut dari pernyataan tersebut, muncul pertanyaan, yang dimaksud rancangan sistem politik dan perwakilan rakyat seperti apa? Dan apa relevansinya dengan keberadaan gedung (baru)?
Selain itu, ternyata Renstra DPR 2010-2014 memberikan prioritas bagi persiapan dan implementasi pengembangan kawasan gedung DPR. Prioritas seperti apa yang dimaksud? Bagaimana kaitannya dengan rancangan sistem politik dan perwakilan rakyat (seperti pernyataan di sebelumnya?).
Dasar Hukum Tenaga Ahli
Pasal 395 ayat (1) UU No. 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPR, dan DPRD (populer dengan sebutan UU MD3) dan Pasal 293 ayat (1) Peraturan DPR RI No. 1 Tahun 2009 tentang Tata Tertib menyatakan bahwa dalam rangka melaksanakan tugas dan wewenang DPR dan DPR, dibentuk kelompok pakar atau tim ahli yang diperbantukan terutama kepada anggota.
Pertanyaannya adalah apakah tepat dan strategis menempatkan tenaga ahli pada setiap anggota DPR, bahkan mencapai tiga orang dan ini yang menjadi alasan teranyar DPR membangun gedung baru? Jawaban atas pertanyaan ini akan membenarkan Pasal 395 ayat (1) dan Pasal 293 ayat (1) atau justru sebaliknya mengkoreksi dua ketentuan tersebut.
Pertimbangan dan Masukan
Secara umum, wilayah pengadaan tenaga ahli mencakup kebutuhan anggota DPR dan alat kelengkapan. Dengan kata lain, penerima manfaat dari apa yang dihasilkan tenaga ahli, adalah individu (anggota DPR) dan non individu, yaitu wadah berhimpunnya anggota DPR (yang terdiri atas pimpinan dan anggota) dalam pembidangan fungsi dan sektor yang diikat dengan sejumlah tugas.
Selain faktor kompetensi, anggota DPR tentunya mengharapkan dukungan tenaga ahli yang dapat dipercaya dan menitikberatkan pula pada kenyamanan dalam berinteraksi. Hal ini wajar, karena relasi yang terbangun antara anggota DPR dengan tenaga ahli tidak berlangsung secara singkat, intensif, dan terkondisikan saling tergantung. Ada preferensi yang muncul dari anggota DPR terkait profil tenaga ahli yang diinginkan.
Persoalan kemudian muncul apabila preferensi anggota DPR tidak bertemu atau tidak berada pada jenjang penyesuaian yang selevel dengan kualifikasi yang disyaratkan. Padahal kualifikasi akan berpengaruh terhadap beban kerja dan (formulasi) renumerasi, yang semuanya akan ditentukan oleh Setjen DPR.
Preferensi anggota DPR bisa jadi sangat jauh dari standar minimal kualifikasi tenaga ahli, termasuk menjadikan individu-individu yang memiliki relasi khusus (misalnya ada hubungan keluarga, pertemanan, dan lainnya) sebagai tenaga ahli.
Permasalahan lain yang muncul sebagai konsekuensi tenaga ahli ditempatkan pada anggota DPR adalah model layanan yang diberikan antara satu tenaga ahli dengan tenaga ahli lainnya berbeda. Kemungkinan penyebab adalah mulai dari (i) ketiadaan instrumen bagi anggota DPR dan tenaga ahli dalam menjalankan peran masing-masing (ii) ketidakmampuan anggota DPR menjalankan petunjuk operasional bagaimana memberdayakan tenaga ahli hingga (iii) disorientasi relasi (yang seharusnya terbangun) antara anggota DPR dengan tenaga ahli.
Penempatan tenaga ahli di alat kelengkapan DPR lebih direkomendasikan, ketimbang kepada anggota DPR. Ada sejumlah tenaga ahli yang bekerja dan melayani kebutuhan beberapa orang anggota DPR dalam satu kelompok (alat kelengkapan). Di sini, faktor preferensi tidak terlalu dipersoalkan, karena pertimbangan kualifikasi dan kompetensi menjadi penentu dominan layak atau tidak seorang bekerja (sebagai tenaga ahli) yang ditempatkan di alat kelengkapan. Yang terpenting adalah output yang dihasilkan tersaji sesegera mungkin dan bisa dipahami dengan baik oleh anggota DPR.
Kelebihan dari penempatan tenaga ahli di alat kelengkapan adalah relasi yang terbangun antara tenaga ahli dengan anggota DPR bisa lebih terjaga dan terpantau, khususnya dalam konteks memberikan dukungan substansial keparlemenan. Tenaga ahli yang ternyata tidak mampu bekerja maksimal atau mengalami disorientasi relasi bisa diketahui dengan segera, sehingga penanganan yang diperlukan bisa dilakukan saat itu juga. Selain itu, pemahaman antara tenaga ahli yang satu dengan yang lainnya terhadap standar layanan, mekanisme kerja, dan output yang dihasilkan, berada pada obyek yang sama, karena peluang untuk saling mengontrol kinerja masing-masing tenaga ahli, lebih besar. Keluhan anggota DPR terhadap layanan tenaga ahli bisa direspon dan ditangani secara kolektif. Anggota DPR tidak terbeban untuk mendalami rangkaian instrumen mendayagunakan tenaga ahli, karena sekretariat alat kelengkapan telah menyiapkan skema kerja tenaga ahli.
Model penempatan tenaga ahli pada anggota DPR atau alat kelengkapan, akan berpengaruh terhadap pengaturan lebih lanjut hal-hal sebagai berikut:
Identifikasi terhadap konsekuensi logis penempatan tenaga ahli pada anggota DPR atau alat kelengkapan akan mengkonfirmasi dan berguna dalam penentuan dan harmonisasi renumerasi (agar proporsional dan kompetitif), peluang karir, dan evaluasi.
Ronald Rofiandri Direktur Monitoring, Advokasi, dan Jaringan Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia (PSHK)
Saluuuuuut dengan perjuangan bapak. andalah yang layak menjadi panutan. jika semua pejabat seperti anda maka indonesia makmur. jika pembangunan gedung dpr masih berlanjut. berarti buta dan tuli.