Ahok.Org (26/02) – Rancangan Undang-Undang Keistimewaan (RUUK) Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta diajukan pemerintah untuk dibahas kembali oleh DPR RI melalui Komisi II DPR RI.
RUU ini pernah dibahas oleh DPR RI Periode 2004-2009, tetapi belum berhasil dirampungkan karena belum ada kesepakatan tentang Pengisian Jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi DIY. Sehingga berdasarkan Raker Pemerintah dengan DPR RI tanggal 28 September 2009, direkomendasikan pembahasan lanjutan RUU ini menjadi agenda prioritas DPR RI Periode 2009-2014.
Permasalahan yang cukup krusial dan sensitif dari RUU ini adalah terkait dengan mekanisme pengisian jabatan gubernur dan wakil gubernur Provinsi DIY yang diusulkan oleh Pemerintah Pusat. Pemerintah dalam RUU ini menghendaki adanya pemilihan bukan penetapan. Sedangkan sebagian besar masyarakat Yogyakarta menghendaki penetapan. Apabila mekanismenya melalui pemilihan, maka Sultan dan Paku Alam akan ditempatkan sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur Utama, fungsi mereka hanya sebagai simbol, pelindung dan penjaga budaya, serta pengayom dan pemersatu masyarakat DIY (Pasal 1 ayat 8). Sedangkan penyelenggara pemerintah Daerah Provinsi DIY dilakukan oleh gubernur DIY yang berkedudukan sebagai kepala daerah dan wakil pemerintah (Pasal 1 ayat 10). Dalam RUUK Yogyakarta ini sama sekali tidak mengatur mengenai wakil gubernur DIY.
Dalam RUUK Yogyakarta ini pengertian, fungsi dan tugas Gubernur dan Wakil Gubernur Utama diatur dalam ketentuan Pasal 1 ayat (7), ayat (8), ayat (12), ayat (13), dan ayat (14), Pasal 5 ayat (5) huruf c, Pasal 7 ayat (2), Pasal 8 ayat (2), Pasal 9 ayat (1), Pasal 10, Pasal 11, Pasal 14, Pasal 16, Pasal 27, Pasal 28 ayat (4), ayat (5), ayat (6), Pasal 29 ayat (2), Pasal 33 ayat (4), dan Pasal 35 ayat (2) huruf f.
Sebelum RUU ini dibahas secara substansial (pasal demi pasal), Komisi II DPR RI melakukan Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan Anggota DPRD Provinsi DIY, para Pakar Politik dan Pakar Hukum Tata Negara yang bertujuan menggali informasi, data dan masukan-masukan dari para pakar tersebut, juga akan melakukan kunjungan lapangan ke DIY untuk melihat secara langsung dan berdialog dengan semua pemangku kepentingan di daerah tersebut dalam rangka menyerap aspirasi yang berkembang di DIY, yang nantinya akan dijadikan sebagai materi pembahasan RUU ini.
Sampai dengan tanggal 24 Februari 2011 sudah ada 5 (lima) Pakar Politik dan Pakar Hukum Tata Negara yang diundang Komisi II DPR RI, yaitu Prof. Dr. Maswadi Rauf dan Dr. Isbdroini Suyanto, (17 Februari 2011), Muhammad Fajrul Falaakh (23 Februari 2011), Prof. Dr. Yusril Ihza Mahendra dan Prof. Dr. Adnan Buyung Nasution (24 Februari 2011).
Tanggal 9 Februari 2011 Komisi II DPR RI melakukan RDPU dengan Anggota DPRD Provinsi dan Anggota DPRD Kabupaten/Kota se-Provinsi DIY. Mereka menyampaikan hasil Rapat Paripurna DPRD DIY yang pada intinya mendukung Penetapan Sri Sultan Hamengku Buwono dan Paku Alam sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi DIY.
Prof. Dr. Maswadi Rauf berpandangan bahwa belajar dari pengalaman Barat, menggabungkan monarki absolut seperti di DIY dengan demokrasi adalah sesuatu yang tidak mungkin. Oleh karena itu, mau tidak mau harus ada pengurangan kewenangan Sultan Hamengku Buwono X dan Sri Paku Alam sebagai pemimpin simbolis dengan memperkuat peranan politisi yang bertanggung jawab secara politik. Oleh karena itu sudah tepat untuk tidak menjadikan Sri Sultan HB X dan Sri Paku Alam sebagai politisi yang memikul tanggung jawab politik dan menyerahkan kedudukan itu kepada politisi yang menjabat sebagai gubernur. Lebih lanjut Maswadi berpendapat bahwa membuka kesempatan bagi Sultan HB X dan Sri Paku Alam mengikuti pemilihan gubernur/wakil gubernur di DPRD berarti menjadikan kedua tokoh tersebut sebagai politisi yang tidak sesuai dengan kedudukan mereka sebagai pemimpin tradisional.
Senada dengan itu, Pakar Hukum Tata Negara Prof. Dr. Adnan Buyung Nasution yang diundang sebagai narasumber di Komisi II DPR RI tanggal 24 Februari 2011 mengatakan bahwa demokrasi yang kita anut tidak hanya berdasarkan suara terbanyak atau kehendak mayoritas tetapi di atas itu ada azas-azas atau nilai-nilai konstitusional yang harus dijunjung tinggi dan dipegang teguh. “Celakalah bangsa ini jika melupakan atau meninggalkan nilai-nilai tersebut”, tegasnya.
Buyung juga mengatakan bahwa Gubernur/Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta dipilih langsung oleh rakyat secara demokratis konstitusional sesuai dengan isi dan semangat ketentuan Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 tentang Pemerintahan Daerah. “Pemerintah perlu menetapkan untuk sementara, paling 5 (lima) tahun, Sri Sultan dan Sri Paku Alam masing-masing sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur DIY. Dalam waktu sementara tersebut, dibentuk suatu komisi independen yang terdiri dari para ahli maupun stakeholder untuk mempersiapkan segala sesuatu yang perlu untuk melaksanakan pemilihan langsung oleh rakyat secara demokratis konstitusional sesuai dengan isi dan semangat ketentuan Pasal 18 ayat (4) UUD 1945”, demikian Buyung..
Sedangkan Isbodroini Suyanto (Pakar Politik Universitas Indonesia) berpendapat bahwa demokrasi adalah mendengar suara rakyat dan menghargai nilai-nilai lokal yang mencakup latar belakang sejarah politik, sosial dan budaya suatu daerah. Menurutnya, Depdagri tampaknya mengabaikan hal tersebut dengan mengemukakan lembaga Paradhya Keistimewaan Yogyakarta yang memposisikan Sultan dan Paku Alam hanya sebagai simbol, pelindung nilai-nilai budaya dan pengayom rakyat.
Isbodroini mengatakan bahwa apabila memperhatikan pasal demi pasal dalam RUU ini, jelas bertujuan untuk menghilangkan political power dari Sultan dan Paku Alam. Sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur Utama, mereka hanya diberikan posisi sebagai pengayom dan pelindung nilai-nilai adat. Mereka hanya dapat mengemukakan usul dan pendapat dan kedudukan mereka dalam struktur pemerintahan berada di bawah Gubernur hasil pemilihan DPRD. Gubernur dan Wakil Gubernur Utama akan mempunyai political power apabila mereka mempunyai hak veto untuk setiap keputusan yang berkaitan dengan pemerintahan yang mencakup politik, sosial dan budaya. Tetapi hal tersebut akan menghadirkan dualisme kepemimpinan, ada Gubernur dan Wakil Gubernur Utama dan Gubernur hasil pilihan DPRD.Hal ini akan merupakan potensi konflik karena Gubernur merupakan perpanjangan tangan Pusat. Lebih lanjut Isbodroini berpendapat bahwa meskipun Sultan dan Paku Alam dapat menjadi Gubernur dan Wakil Gubernur (tidak berlaku masa jabatan dua kali), hal ini bertentangan dengan mayoritas rakyat DIY yang menghendaki jabatan tersebut ditetapkan bukan melalui pemilihan DPRD. Bagaimana jika dalam perjalanan waktu Sultan dan Sri Paku Alam yang telah ditetapkan sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur melakukan tindakan yang merugikan rakyat? Menghianti rakyat Yogyakarta? Biarlah rakyat yang dipresentasikan dalam DPRD dan civil society yang akan merupakan alat control bagi keduanya. Di samping itu bukankah Lembaga Pengadilan pun akan tetap menjalankan fungsinya. Checks and balances tetap berfungsi. Isbodroini juga berpesan agar (Pemerintah dan DPR RI) mendengar suara rakyat Yogyakarta, mengabaikan suara mereka akan merupakan blunder bagi pemerintahan SBY.
Pakar Hukum Tata Negara UGM Yogyakarta Mohammad Fajrul Falaakh mengatakan bahwa Pasal 18B ayat (1) UUD 1945 tidak untuk dipertentangkan dengan Pasal 18 ayat (4) UUD 1945, atau sebaliknya. Menurutnya, substansi Pasal 18B ayat (1) bahkan merupakan lex speciallis (tentang status “daerah istimewa”) dan menjadi dasar bagi pengaturan khusus menurut Pasal 225-226 UU No. 32 Tahun 2004 sehingga gubernur sebagai kepala daerah berdasarkan hak asal-usul dari daerah istimewa (bukan “daerah khusus” atau “daerah biasa”) dapat langsung diangkat oleh Presiden terpilih.
Senada dengan Isbodroini di atas, Fajrul Falaakh juga menyarankan agar keputusan politik atas RUU Keistimewaan Yogyakarta sebaiknya mempertimbangkan kenyataan sosial dan pendapat masyarakat di Yogyakarta saat ini.
Fajrul Falaakh menunjukkan beberapa hasil survai terkait polemik penetapan atau pemilihan gubernur dan wakil gubernur DIY, yaitu: hasil survai Jurusan Ilmu Pemerintahan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta 2011 menunjukkan bahwa mayoritas warga Yogyakarta (90-an persen) menginginkan penetapan HB X dan Paku Alam IX sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur DIY. Survai Program Magister Administrasi Publik UGM Yogayakarta tahun 2011 juga menunjukkan bahwa mayoritas warga Yogyakarta (di atas 70 persen) menginginkan penetapan dimaksud. Hasil kedua survai ini konsisten dengan hasil survai surat kabar Kompas 2008-2010 bahwa 53,5 – 79,9 persen responden warga Yogyakarta masih menginginkan penetapan. Begitupula mekanisme demokrasi perwakilan di 6 (enam) DPRD di Yogyakarta (2010-2011) juga menginginkan penetapan. Sikap kelembagaan tentang keistimewaan Yogyakarta juga ditunjukkan oleh wakil semua provinsi di Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI pada tahun 2010.
Sebagai penutup, Fajrul Falaakh mengatakan bahwa RI adalah Negara kesatuan, tidak memiliki Negara bagian, di dalamnya ada daerah istimewa bekas kerajaan dengan hak-hak asal-usul yang diakui dan dihormati. Status Yogyakarta sebagai suatu daerah dalam NKRI melekat pada norma konstitusi tentang “daerah yang bersifat istimewa” (Pasal 18 pasca amandemen) atau “satuan pemerintahan daerah yang bersifat istimewa” (Pasal 18B ayat (1) hasil amandemen). Selain itu, Yogyakarta sebagai daerah istimewa juga menunjukkan kemampuan pemerintahannya (governability) sebagai bagian Indonesia yang sangat bergejolak pada masa revolusi kemerdekaan (1945-1949), dideklarasikan dengan UU No. 3 Tahun 1950 jo. UU No. 9 tahun 1955, struktur pemerintahannya mengadopsi lembaga demokrasi, didukung rakyat Yogyakarta.
“Status daerah istimewa mencakup unsur-unsur pemerintahan daerah. Dalam hal eksekutif (pemerintah) maka pengisian kepala daerah dan wakilnya diakui dan dihormati berdasarkan hak asal-usul. Terkait klausul “mengingati dasar permusyawaratan” maka keberadaan DPRD tidak boleh dihapus dan perannya tidak boleh dipangkas”, pesannya.
Fajrul menegaskan kembali bahwa “hak asal-usul DIY tidak terbatas pada pengisian kepala daerah tetapi juga mencakup tanah. Status kepemilikan atau penguasaan tanah ini memerlukan pembahasan tersendiri. Namun jelas, tindakan “monarki Yogyakarta” atas tanah dalam konteks hak-hak asal-usul adalah sah, misalnya, dalam pewarisan, penggunaan tanah untuk Istana Kepresidenan RI (Gedung Agung, eks residen Belanda), gedung dan tanah untuk perkantoran pemerintah provinsi, lembaga pendidikan (termasuk kampus UGM)”, pungkasnya.
Pakar Hukum Tata Negara lainnya yang juga mantan Menteri Sekretaris Negara dan Menkumham Prof. Dr. Yusril Izha Mahendra, SH menyarankan kepada DPR RI, khususnya Komisi II DPR RI agar mencermati benar latar belakang lahirnya Pasal 18 dan Pasal 18B UUD 1945 dalam membahas RUUK Yogyakarta ini.
Yusril menegaskan bahwa menjelang kemerdekaan itu kita sudah sepakat bahwa kita membentuk Negara kesatuan dan tidak ada Negara di dalam Negara, itu prinsip. Menurut Yusril, ada daerah-daerah bersifat istimewa tetapi apakah istimewanya itu memang betul-betul ada satu kesultanan menjalankan roda pemerintahan secara langsung di kawasan itu atau tidak. Kalau kita melihat sejarah Yogyakarta dari awal kemerdekaan sampai saat-saat terakhir ini, sebenarnya pemerintahan oleh Kesultanan Yogyakarta itu sudah tidak ada. Pemerintahan oleh Kesultanan itu tidak ada. Jadi Sri Sultan sebagai Gubernur, ya Gubernur, hanya sumber orang jadi gubernur itu Sri Sultan. Tapi dalam menjalankan kekuasaan pemerintahannya itu bukan menjalankan kekuasaan kesultanan. Sultan menjalankan kekuasaan pemerintahan Republik Indonesia. Hanya sumbernya orang ini asalnya adalah Sri Sultan. Apabila konsep dalam RUU ini Gubernur Utama, Wakil Gubernur Utama, Gubernur dan Wakil Gubernur, itu seakan-akan menempatkan Yogyakarta seperti negara bagian. Ada kewenangan Dia sebagai Sultan, ada kewenangan Dia sebagai Gubernur Utama yang nota bene adalah Sultan. Sedangkan kalau konsep yang selama ini berjalan dari tahun 1945 sampai sekarang ini, Sultan itu menjalankan tugas-tugasnya sebagai pemerintah, sebagai bagian dari pemerintahan Republik Indonesia. Atau dulu dikenal dengan Gubernur Kepala Daerah saja, atau kepala daerah saja yang menjalankan tugas-tugas pemerintahan RI, tetapi tidak menjalankan tugasnya sebagai kesultanan.
Menjawab pertanyaan anggota dewan, apakah Sultan dapat diinvestigasi apabila diduga melanggar hukum? Yusril mengatakan bisa, normal-normal saja. Cuma nanti persoalannya adalah kalau memang Sultan tunduk kepada aturan-aturan umum seperti sekarang ini misalnya Gubernur diperiksa KPK kalau dinyatakan sebagai tersangka, masih tetap gubernur, tetapi begitu dinyatakan terdakwa diberhentikan sebagai gubernur. Kalau diberhentikan sebagai kepala daerah Yogyakarta atau sebagai Gubernur Yogyakarta, lalu bagaimana kaitannya dengan posisinya sebagai Sultan. Itu yang memang harus dicarikan formulanya di dalam RUU ini. Walaupun sebenarnya RUU ini tidak mungkin mengatur internal kesultanan. Namun hal ini bisa diatur dalam suatu UU tapi harus dibicarakan secara bersama-sama terlebih dahulu.
Menjawab pertanyaan anggota dewan tentang dimana letak keistimewaan Yogyakarta? Apakah melekat pada daerahnya atau pada orangnya? Yusril mengatakan bahwa salah satu keistimewaan DIY adalah karena secara politik dan budaya yang melekat dengan kesultanan itu sendiri. ”Dia Istimewa karena gubernurnya berasal dari kesultanan itu. Jadi dimana istimewanya ya pada daerahnya, pada orangnya, ya melekatlah satu dengan yang lainnya”, demikian Yusril.
Yusril juga menjelaskan bahwa sebenarnya RUU ini sudah dibahas oleh DPR RI Periode lalu (2004-2009). Pembahasannya sudah mau selesai hanya karena masih berbeda pendapat mengenai mekanisme pengisian jabatan gubernur ini yang belum disepakati. Namun RUU yang diajukan pemerintah ini bukan RUU yang lama atau yang pernah dibahas. Tetapi RUU ini sama sekali baru. Yusril juga berpesan agar DPR RI lebih bijaksana dalam membahas RUUK Yogyakarta ini.
Kita berharap pemerintah dan DPR RI mencarikan formulasi yang cocok dengan keinginan masyarakat Yogyakarta. Meminjam istilah Bapak Aleks Litay, ”jangan memberikan sepatu yang ukurannya tidak cocok dengan kaki si pemakai (beliau mencontohkan kaki kakeknya yang lecet akibat tidak cocok dengan sepatu yang dibelikannya), nanti kakinya lecet”. Pemerintah Pusat dan DPR RI seyogyanya lebih arif dan bijaksana dalam merespon dan mengakomodir aspirasi masyarakat DIY yang menghendaki gubernur dan wakil gubernurnya (dalam hal ini Sultan dan Paku Alam) ditetapkan.
Dari dulu masyarakat Yogyakarta dikenal ramah, santun dan terbuka bagi siapa saja dan dari mana saja asalnya, terutama yang mau menuntut ilmu di daerah ini. Makanya Yogyakarta dikenal sebagai Kota Pelajar sekaligus sebagai Kota Budaya. Predikat ini tentu tidak muncul secara kebetulan atau turun dari langit. Semua ini berkat peran, perhatian dan keteladanan Sultan dan Paku Alam sebagai pemimpin di daerah ini (Gubernur dan Wakil Gubernur). Masyarakat Yogyakarta sangat menghormati Sultan-nya, bukan karena Beliau Raja/Sultan. Tapi lebih dari itu Sultan dipandang sebagai pemimpin, sebagai tokoh budaya dan tokoh masyarakat yang mengayomi, santun dan bijaksana dalam memperhatikan kesejahteraan rakyatnyaa tanpa memandang suku, agama, dan ras
Pemerintah Pusat dan DPR RI diharapkan jangan memaksakan formalasinya. Bisa saja apa yang dikehendaki Pemerintah dan DPR RI (yang pro pemilihan) tidak cocok dengan apa yang sesungguhnya dikehendaki masyarakat Yogyakarta. Pemerintah Pusat (terutama SBY dan Partai Demokratnya) jangan memaksakan kehendaknya. Suatu UU bisa setiap saat diubah apabila menuntut untuk diubah. Tetapi jangan mengubah tatanan masyarakat yang sudah baik dan mapan seperti di DIY dengan suatu UU. Sejak jaman penjajahan Belanda sampai saat ini Daerah Yogyakarta cenderung aman, damai, sejuk dan kondusif bagi siapa saja yang tinggal atau menuntut ilmu di daerah ini.
Jangan dengan alasan demokrasi untuk menghancurkan semua itu dalam waktu sesaat. Pemerintah dan DPR RI perlu membuka mata, telinga dan hatinya untuk melihat, mendengarkan dan merasakan apa yang sesungguhnya mereka dambakan. Jangan mengabaikan, apalagi berusaha dengan berbagai alasan untuk memasung aspirasi mereka. Kehendak yang tulus dari mereka hanya satu, yaitu: menetapkan Sri Sultan dan Paku Alam sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur mereka. Apabila dalam perkembangannya masyarakat Yogyakarta sudah tidak percaya atau tidak menghendaki lagi Sultan dan Paku Alam sebagai pemimpinnya, mereka akan dengan sendirinya minta Pemerintah Pusat dan DPR RI untuk mengubah atau mengganti undang-undang itu. Untuk saat ini berikanlah apa menjadi hak mereka, karena merekalah yang berdaulat. Bukankah demokrasi itu berarti kekuasaan pemerintahan yang berasal dari, oleh dan untuk rakyat? Bukankah Suara Rakyat Adalah Suara Tuhan (Vox Populi Vox Dei)? Mau berdosa? Atau mau tambah dosanya? (Kamillus Elu, SH).