BTP: Akses Publik Adalah Kunci Efektifitas Pejabat

2
196

Ahok.Org – Tamu kita adalah anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) di komisi II, dan pernah menjadi bupati di Belitung Timur. Dia berasal dari etnis Tionghoa dan tercatat sebagai bupati pertama yang berasal dari etnis ini. Dia adalah Basuki Tjahaja Purnama atau biasa dikenal dengan nama Ahok.

Kita akan berbicara dengan Ahok mengenai mengelola pluralisme di daerah dan bagaimana mewujudkan pemerintahan atau birokrasi yang efektif dan efisien demi terciptanya kesejahteraan masyarakat.

Basuki Tjahaja Purnama mengatakan pejabat harus bersih dan berani transparan terhadap kondisi pribadinya, termasuk keuangan atau anggarannya. Kalau profesional maka dia harus sebagai pelayan. Jadi dia harus customer care dan memiliki pengaduan pelanggan. Kalau pejabat mau menjadi pelayan masyarakat maka dia harus memberikan nomor pengaduan. Saya bisa menjadi Bupati Belitung Timur karena masyarakat tahu saya selalu memberikan nomor handphone. Tidak ada gunanya kasih beras kepada masyarakat, kalau di rumah masyarakat masih ada beras. Yang dibutuhkan masyarakat adalah ketika di rumah tidak ada beras, dia tahu cara minta tolong kepada gubernur.

Menurut Basuki, kunci membangun suatu daerah adalah kepemimpinan. Ini seperti kata bijak Konghucu yaitu kalau kepala lurus maka yang di bawah tidak berani tidak lurus. Sekarang persoalannya sudah tidak ada lagi orang percaya pada pejabat. Jadi kita harus membangkitkan dan menciptakan aktor-aktor baru melalui DPRD II atau DPRD I, sehingga orang bisa melihatnya. Lalu, ketika dia menjadi pejabat maka dia harus menunjukkan karakternya. Dia mengharapkan di Pemilu 2014 banyak aktifis mau mencalonkan diri untuk masuk dan duduk menjadi anggota DPRD.

Berikut wawancara Didiet Budi Adiputro dengan Basuki Tjahaja Purnama:

anyak masyarakat menilai Anda adalah seorang yang nekat karena dari etnis Tionghoa mau dan berani mencalonkan diri menjadi bupati di daerah yang berpenduduk mayoritas Islam. Bagaimana ceritanya?

Pengaruh keluarga sangat penting bagi saya. Bapak saya mengatakan kalau kamu memiliki uang Rp 1 milyar lalu kamu sedekahkan untuk orang miskin, maka uang tersebut hanya bisa untuk 2.000 keluarga dengan masing-masing memperoleh Rp 500.000. Kalau kamu memakai uang tersebut untuk menjadi bupati, maka nanti kamu akan memegang uang Rp 100 milyar untuk membuat semua orang memiliki penghasilan Rp 500.000.

Bapak saya juga sering mengatakan pepatah Tiongkok kuno yaitu orang miskin tidak bisa melawan orang kaya, orang kaya juga tidak bisa melawan pejabat. Bangkrutlah akhirnya. Nah, bagaimana cara kita mengatasinya ketika di satu pihak masyarakat begitu susah, dan di pihak lainnya pada umumnya pejabat tidak mau mengetahui kondisi masyarakat? Dalam hal ini ada perbedaan jelas antara bantuan sosial dan keadilan sosial. Ingat, sila kelima Pancasila adalah keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, bukan bantuan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Itu yang menjadi dasar kita berfikir bagaimana kita bisa membantu masyarakat yang termarjinalkan, sedangkan uang pribadi kita tidak cukup. Kalau kita menjadi bupati maka uang kita akan cukup membantu masyarakat.

Pertanyaan tadi yaitu saya kok berani maju menjadi calon bupati, apakah saya sudah melakukan perhitungan secara politik karena dulu di sana Masyumi menang, bagaimana mungkin rakyat bisa memilih saya? Saya berpolitik karena mempunyai keyakinan masyarakat itu cerdas dan tahu dalam memilih orang. Cuma, saking cerdasnya masyarakat juga mengatakan seperti ini, “Sudahlah, siapapun yang menjadi pejabat maka yang nasibnya berubah cuma pejabat, kita sama saja nasibnya.” Mereka juga suka berkata, “Kalau sudah menjadi pejabat, jangan lupa sama kita.” Buktinya, siapapun yang ingin menjadi calon kepala daerah atau calon legislatif tidak pernah mencantumkan nomor handphone di media kampanyenya. Kedua, masyarakat juga percaya dan sudah menjadi persepsi masyarakat bahwa siapapun yang menjadi pejabat pada akhirnya akan sama. Kalau kita dari aktifis yang berbicara hebat segala macam, atau doktor, atau profesor, atau tokoh agama dan lain-lain, maka masyarakat juga akan bicara seperti ini, “Sudahlah, kalau loe sudah jadi pejabat akan sama juga. Sekarang saja loe bicara seperti ini.” Saya mengetahui ada persepsi seperti itu. Jadi, saya memulai dari menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) tingkat II. Sebetulnya, ada teori dari Presiden ke-16 Amerika Serikat Abraham Lincoln yang mengatakan, “Kalau Anda mau menguji karakter orang, maka beri dia kekuasaan.” Dengan kekuasaan paling murah yaitu di DPRD tingkat II maka orang bisa melihat karakter kita sesungguhnya seperti apa. Jadi saya mulai dari situ, lalu rakyat percaya sama saya.

Mengapa Anda mencalonkan diri menjadi bupati di Belitung?

Kakek dan nenek saya asli sana. Ketika saya di DPRD tingkat II selama tujuh bulan. Masyarakat mulai melihat saya berbeda. Lalu mereka mengusulkan agar saya menjadi bupati. Saya tanya, apakah saya bisa terpilih karena keturunan Tionghoa dan Kristen pula. Namun ada beberapa tokoh agama mengatakan, “Pejabat yang Islam itu harus seperti kamu. Sayang, kamu belum mendapat hidayah menjadi muslim.”

Itu ada standarnya. Nabi Muhammad mengajarkan pemimpin itu harus jujur. Dia harus bisa membuktikan darimana hartanya. Hari ini susah mau mencari pejabat yang berani membuktikan darimana hartanya. Kedua, dia harus cerdas sehingga mengetahui apa dan bagaimana solusi terhadap persoalan yang dihadapi rakyat. Ketiga, dia harus amanah. Keempat, dia harus adil. Itu yang paling penting.

Bagaimana masyarakat Belitung Timur yang waktu itu masih konservatif bisa menerima Anda dengan konsepsi dan pemikiran yang jauh lebih modern?

Tadi saya telah ungkapkan bahwa saya butuh duduk dulu di DPRD, sehingga mereka bisa melihat yang saya lakukan di DPRD. Kedua, saya dalam kampanye Pemilu 2004 lebih bersifat mendidik. Saya tidak pernah meminta masyarakat memilih saya atau partai saya. Saya hanya mengajak masyarakat belajar menentukan kriteria partai dan orang yang harus dipilih. Salah satunya adalah jujur. Kebetulan singkatan nama saya BTP yang bila dipanjangkan bisa berarti Bersih, Transparan, Profesional. Pejabat harus bersih dan berani transparan terhadap kondisi pribadinya, termasuk keuangan atau anggarannya. Ketiga, kalau profesional maka dia harus sebagai pelayan. Jadi dia harus Customer Care dan memiliki pengaduan pelanggan. Kalau pejabat mau menjadi pelayan masyarakat maka dia harus memberikan nomor pengaduan.

Ketika saya menjadi bupati, saya mengatakan bahwa saya adalah kepala pelayan. Yang paling pertama mau saya bereskan adalah ketika dari masa kecil saya melihat kesulitan masyarakat dari kesehatan, pendidikan, perumahan. Saya langsung mencanangkan bahwa pendidikan sampai tingkat SMA tidak perlu membayar uang Sumbangan Pengembangan Pendidikan (SPP). Sempat ada beberapa oknum guru yang tersinggung karena tidak bisa menarik iuran, padahal ada Bantuan Operasional Sekolah (BOS). Katanya, saya melanggar Undang-Undang (UU) tentang Pendidikan. Saya jawab, “Saya tidak melanggar, UU Pendidikan mengatakan biaya pendidikan ditanggung oleh pemerintah dan masyarakat. Dalam hal ini saya hanya membebaskan SPP, orang tua masih harus membayar uang saku dan uang buku.” Saya percaya kalau ada penghematan uang SPP dari masyarakat maka itu menjadi suatu stimulus ekonomi juga. Jadi orangtua memiliki kelebihan uang untuk modal berdagang kue, atau disimpan untuk anaknya kuliah.

Lalu di bidang kesehatan juga sama. Bayangkan, kalau orang sakit maka dia takut ke dokter dan takut dirawat. Kalau di berobat ke Puskesmas maka kena biaya Rp 5.000. Orang miskin masih tidak mampu untuk membayar biaya tersebut. Jadi, kita membuat kerja sama dengan PT. Askes. Ini ada dasarnya, yaitu UU No. 40 tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional. Di situ salah satunya PT. Askes. Saya percaya pola yang dilakukan pemerintah daerah sekarang salah. Mereka menaruh uang di Dinas Kesehatan. Lalu rumah sakit setelah mengobati pasien menagih ke Dinas Kesehatan. Yang terjadi adalah rumah sakit sering memaksa pasien untuk beli obat. Justru rakyat yang sengsara sewaktu membeli obat. Itu memberatkan rakyat. Terkadang ada calo lagi untuk bisa dibebaskan 50% atau 25%. Ini memang kurang ajar. Yang kita ingin lakukan adalah mengapa orang biasa tidak bisa punya polis asuransi seperti pegawai atau orang kaya. Jadi ketika dia sakit bisa berobat atau masuk ke ruang perawatan kelas 3, sehingga obat dan lain-lain ditanggung oleh asuransi.

Kalau saya melakukan kerja sama untuk hal itu dengan PT. Askes. Dalam hal ini ada orang salah tangkap tentang gratis karena tidak mungkin menagih orang Rp 5.000 dengan datang ke rumah-rumah. Saya sedang menyiapkan KTP elektronik kerja sama dengan bank. Jadi setiap orang yang punya KTP bisa punya ATM bank. Lalu di setiap kelurahan atau desa dipasang mesin ATM. Dengan cara itu orang yang punya uang akan kita potong Rp 10.000 per bulan untuk asuransi. Yang tidak punya uang, maka Pemda yang mengisinya dulu sambil program ini berjalan. Dalam kerja sama dengan PT. Askes, saya membayar 50% dari total premi dan total penduduk sehingga saya hanya bayar Rp 5.000 dari seharusnya Rp 10.000. Selain itu dari total 100% penduduk, saya hanya bayar 50% untuk ujicoba tapi biaya klaimnya menutupi seluruh rakyat.

Hasilnya menarik, ternyata PT. Askes masih untung Rp 1 milyar. Namun hal itu yang memicu Dinas Kesehatan dan banyak Pemda berpikir mengapa memberi PT. Askes untung, dan mengapa saya tidak menaruh uangnya sendiri. Saya mengatakan itu yang salah karena korupsi terjadi akibat tidak ada kontrol. Jadi harus ada pihak ketiga.

Bayangkan, kalau orang Belitung kuliah di Yogyakarta dan orang tuanya mengirim uang Rp 1.500.000 per bulan. Kalau dia terkena sakit demam berdarah lalu harus masuk rawat inap kelas tiga di rumah sakit maka dia bisa terkena biaya Rp 3.000.000. Darimana bapaknya bisa dapat uang untuk kirim membayar biaya perawatan tersebut? Kalau berdasarkan UU No.40 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional tadi, PT Askes memilki cabang juga di Jogja dan Semarang. Berarti orang Belitung dimanapun dia sakit asal punya KTP Indonesia maka dia ditanggung oleh PT. Askes. Itu yang saya lakukan.

Berapa tahun Anda menjadi bupati?

Saya hanya 16 bulan menjadi bupati karena waktu itu ada pemilihan gubernur dan saya ikut. Saya harap gubernur yang lama mengikuti program saya dulu. Dia sudah setuju. Saya punya angan-angan alangkah baiknya kalau orang tua yang sudah berusia 65 yang sudah tidak mau ditanggung oleh asuransi swasta, maka pemerintah masih mau menanggungnya. Demikian juga untuk anak Balita. Ini agar uang rakyat tidak kita “rampok” sewaktu keluarganya sakit. Orang tua berusia 65 tahun bisa masih punya harga diri, sehinga dia tidak minta pada anak cucunya lagi sewaktu sakit. Dia masih punya uang jajan untuk sosialisasi dengan teman-temannya. Saya bayangkan kalau orang tua punya Rp 5.000 per hari maka dia punya kebanggaan hidup. Itu yang saya ingin kerjasamakan dengan gubernur.

Apakah Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Belitung cukup atau tidak untuk mewujudkan itu?

APBD hanya Rp 200 milyar. Program itu bisa berjalan karena kita menekan biaya operasional harus murah. Terus terang, biaya-biaya pemerintah banyak sekali mark up dan terlalu mahal. Coba saja lihat, pembangunan-pembangunan yang dilakukan pemerintah dibandingkan swasta. Kita potong anggarannya 40% pun masih lebih mahal pemerintah. Kalau kepala dinas tidak minta komisi, maka kita bisa potong uang itu. Jadi kita bisa hemat, perjalanan dinas bisa kita potong. Bayangkan, perjalanan dinas saya saja bisa Rp 1 – 2 milyar.

Apakah intinya adalah kepemimpinan, sistem, atau pengawasan oleh masyarakat?

Kuncinya kepemimpinan. Ini seperti kata bijak Konghucu yaitu kalau kepala lurus maka yang di bawah tidak berani tidak lurus. Sekarang persoalannya sudah tidak ada lagi orang percaya pada pejabat. Jadi kita harus membangkitkan dan menciptakan aktor-aktor baru melalui DPRD II atau DPRD I, sehingga orang bisa melihatnya. Lalu, ketika dia menjadi pejabat maka dia harus menunjukkan karakternya. Saya yakin masih ada ribuan, atau jutaan anak-anak Indonesia yang bercita-cita menjadi pejabat.

Sekarang era otonomi daerah sudah berlangsung lebih dari 10 tahun. Banyak orang skeptis terhadap berlangsungnya otonomi daerah, karena bukan hanya desentralisasi politik dan kekuasaan tapi juga desentralisasi korupsi. Menurut Anda, apakah ada yang salah dari otonomi daerah?

Kuncinya ada di aktornya. Kelemahan demokrasi kita adalah kita menghilangkan UU pembuktian terbalik harta para pejabat. Seharusnya siapapun yang mau menjadi calon bupati, walikota, atau gubernur harus diperiksa hartanya. Jadi bukan hanya distempel saja oleh KPK. KPK harus diberi wewenang menerima laporan masyarakat kalau menemukan istrinya, anaknya dan keluarganya si calon tersebut terlalu mewah. Jadi dia harus diperiksa. Kalau ditemukan tindak pidana korupsi maka hartanya disita dan dia tidak bisa mencalonkan diri.

Masalahnya, sekarang bupati, anggota DPRD, bahkan birokrat di daerah bergaji kecil, tapi kebutuhan hidup semakin tinggi. Bagaimana cara mengatasinya?

Sebetulnya, untuk pegawai negeri ada honor-honor tambahan dan itu lumayan nilainya. Persoalannya, itu adalah keserakahan dan ada kesempatan untuk melakukan korupsi. Memang sebagai bupati bisa memiliki anggaran tunjangan bisa sampai 2 milyar setahun. Kenapa itu tidak dibuat langsam (keseluruhan) saja tapi rumah, mobil dan sebagainya tidak ditanggung. Kalau kita beri gaji Rp 150 juta per bulan maka total anggarannya hanya Rp 1,8 milyar. Jadi lebih hemat. Ini memang harus ada kemauan politik.

Siapa yang bisa mengubah sistem ini?

Ini mesti secara holistic, minimal ada orang-orang yang berani masuk memberikan contoh. Lalu, DPR RI harus juga merevisi UU mungkin nanti dana kampanye ditanggung oleh KPUD. Jadi orang yang tidak punya duit pun dengan hanya modal kartu nama saja bisa maju. Yang paling penting yaitu ada pembuktian terbalik harta perjabat. Barulah dia tidak berani korupsi. Yang lebih penting lagi adalah di Pemilu 2014, saya berharap banyak aktifis mau masuk dan duduk menjadi anggota DPRD tingkat II untuk menunjukkan dia punya karakter.

Mengapa harus DPRD tingkat II?

Itu yang paling murah dan mudah untuk masuk. Mungkin hanya 1.000 orang yang memilih kita maka kita sudah menjadi anggota DPRD. Begitu dia menunjukkan karakternya, saya yakin dia bisa menjadi wakil bupati. Yang paling sulit bukan masuknya tapi setelah mendapatkan kekuasaan ini. Dia bisa mempertahankan idealismenya atau tidak. Untuk mempertahankan idealismenya, dia harus mempunyai kemarahan yang betul bahwa kalau Anda tidak marah melihat kondisi rakyat di jalimi, rakyat yang marjinal tidak mendapatkan haknya atas republik ini, hanya mendapatkan hak bantuan sosial, bukan keadilan sosial. Kalau Anda tidak marah, Anda bukan manusia Indonesia. Anda mungkin keturunan roh kolonialisme penjajah. Seharusnya Anda marah melihat situasi negara seperti ini.

Saya khawatir mereka bukan marah karena melihat rakyat dijalimi, tapi marah karena tidak kebagian. Itu beda marahnya. @Kalau Anda marah karena melihat rakyat dijalimi, Anda akan lebih gila untuk bekerja. Anda akan lebih melawan. Tapi kalau Anda marah karena iri dan merasa tidak kebagian, maka Anda tidak mau melakukan lagi saat masuk zona nyaman,.

Kita membicarakan otonomi daerah lagi. Apakah benar semakin mekar sebuah daerah maka kesejahteraan masyarakat akan semakin tinggi?

Itu totally salah.

Saya membaca ada 33 provinsi baru yang akan diperkenalkan, dan kemudian ada 170 kabupaten/kota baru. Menurut Anda, apakah itu efektif atau tidak?

Kalau APBD dipakai 70% untuk operasional, maka untuk apa kita membuat suatu daerah baru. Itu hanya untuk elit-elit saja. Toh, rakyat hanya butuh agar pelayanan lebih dekat. Sekarang sistem teknologi bisa menjadikan semua KTP dibuat di kantor kecamatan, semua ijin usaha di kantor kecamatan. Yang penting tidak diperas. Jadi untuk apa ada bupati baru, ada DPRD baru. Jadi ini hanya akal-akalan elit saja dan supaya kebagian posisi juga.

Kita akan berbincang sedikit mengenai Jakarta. Bapak banyak disorot oleh media, sebagai salah satu bupati yang sukses dalam memberantas korupsi dan merampingkan birokrasi sehingga efektif. Sebentar lagi Pilkada Jakarta, apakah ada konsep atau sistem yang bisa bapak tawarkan supaya didengar oleh masyarakat dan mungkin bisa dipakai oleh calon gubernur ke depan?

Kalau Jakarta ingin beres maka harus bisa merapikan APBD. Dari APBD sekitar Rp 26 trilyun, anggaran untuk operasional sekitar Rp 18 trilyun. Itu persoalan. Anggaran untuk operasional sekitar Rp 7 trilyun masih cukup. Sisanya untuk hibah sosial dan lain-lain.

Apa saja anggaran untuk operasional itu?

Saya tidak tahu apakah untuk gaji, transport, atau perjalanan dinas. Mereka seharusnya lebih terbuka. Kita pun tidak pernah tahu, berapa nilai untuk uang baju gubernur. Padahal Jakarta paling luar biasa. Seorang gubernur bisa menentukan walikota, dan bupati sampai lurah. Tidak ada pemilihan. Dengan potensi memiliki orang yang kaya begitu banyak dan SDM yang baik, Jakarta seharusnya bisa dibangun dengan baik. Caranya, kepala daerahnya harus bisa menghemat uang dengan baik. Uang tersebut bisa untuk membangun rumah untuk masyarakat miskin. Misalnya, harga rumah susun (Rusun) satu unit seluas 38 meter adalah Rp 76 juta. Kalau kita membangun 10.000 unit saja Rusun baru menghabiskan total Rp 760 milyar. Jika kita bisa menyiapkan 20.000 rusun, maka kita bisa membereskan 60-80 hektar daerah kumuh di Jakarta. Pada akhirnya itu akan membuat harga tanah di Jakarta naik.

Satu lagi, mengapa kita harus memberikan proyek mass rapid transportation (MRT) ke swasta. Kita bisa melakukannya. Kita suruh saja Properti yang membangun stasiunnya. Kita punya bank sehingga kita bisa membangunnya. Belum lagi potensi kehilangan dari pajak restaurant, hotel, reklame, iklan, dan parkir. Kalau potensi pendapatan itu hilang, tidak usah hilang Rp 80 trilyun tapi hanya Rp 20 trilyun saja, sudah mengerikan. Belum lagi bicara mark up. Gubernur yang akan datang harus yang berani membuktikan hartanya darimana, sehingga bisa ketahuan menerima atau tidak upeti dan gratifikasi. Dia harus berani melakukan transparansi anggarannnya sampai terperinci di website dia. Gubernur harus berani memberikan nomor handphone pribadi supaya kalau bawahannya ada main maka orang bisa melapor ke dia.

Saya bisa menjadi bupati waktu itu karena masyarakat tahu saya selalu memberikan nomor handphone. Tidak ada gunanya kasih beras kepada masyarakat, kalau di rumah masyarakat masih ada beras. Yang dibutuhkan masyarakat adalah ketika di rumah tidak ada beras, dia tahu cara minta tolong kepada gubernur.[perspektifbaru.com]

2 COMMENTS

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here