Ahok.Org – Ombudsman Republik Indonesia (ORI) meninjau langsung warga di Kebun Bayam atau lebih dikenal dengan Kebun Sayur Kelurahan Ciracas, Jakarta Timur hari Senin, 15 Agustus 2011. Tim ORI terdiri dari Herru Kriswahyu, Achmad Fauzie Sujatno, Awadya Mahadewi, Winarso dan Matoni.
Peninjauan ini dilakukan karena ada pengaduan warga setempat kepada ORI tanggal 27 April 2011 lalu terkait tindakan diskriminatif Kelurahan Ciracas dan Walikota Jakarta Timur yang menolak memberikan pelayanan administrasi kepada warga setempat, seperti KTP, Kartu Keluarga, dan lain-lain karena dianggap ”warga liar”. Sebelumnya warga dilayani Rt 05 Rw 06 Kelurahan itu, bahkan pernah ada warga Kebun Sayur yang menjadi anggota pengurus Rt tersebut, terkahir tahun 2006. Ironisnya, pada pemilu 2009 maupun pemilu-pemilu sebelumnya warga tetap menggunakan hak pilihnya, termasuk Pemilukada DKI Jakarta tahun 2007.Warga Kebun Sayur terdiri dari 300 KK dan 1.200 jiwa.
ORI telah memanggil dan meminta keterangan dari Lurah, Camat, Walikota Jakarta Timur, Perum PPD dan Kepala Kantor Pertanahan Jakarta Timur terkait masalah tersebut.
Pada kesempatan itu, Bapak Hisar Yulius Hutagaol menyampaikan keluhannya kepada Tim ORI karena kesulitan memperpanjangan KTP-nya yang berakhir 30 Juli 2011 lalu. KTP itu diterbitkan oleh Kelurahan Ciracas, Rt 011 Rw 007. Saat KTP itu diterbitkan, Hisar belum tinggal di lahan Kebun Sayur. Namun saat memperpanjang KTP, Hisar sudah menjadi warga kebun Sayur sejak 3 tahun lalu. Ketua Rt 011 Rw 007 Oman Sumantri memberikan Surat Pengantar Nomor 637/Rt 011/07/VIII/2011 tanggal 6 Agustus 2011 dimana dalam surat itu disebutkan bahwa:
”Nama tersebut di atas beserta anggota keluarga seperti tertera pada KK akan pindah ke Rt.005 Rw.06 Kel. Ciracas, Kec. Ciracas, Kota Adminisitrasi Jakarta Timur”.
Hisar menjelaskan bahwa kepindahannya bukan atas permintaannya sendiri, namun atas kehendak Pak RT 11. Kebijakan ini masuk akal juga karena Hisar dan keluarga sejak 3 tahun lalu tinggal di wilayah Rt. 005 Rw 006. Hanya celakanya, Ketua Rt. 005 Rw 06 tersebut menolak untuk memberikan Surat Keterangan dengan alasan dilarang oleh kelurahan dan Walikota Jakarta Timur. Kejadian serupa dialami oleh Bapak Robert Sirait, Bapak Daniel, dan Bapak Milten yang membawa surat keterangan pindah KTP, namun tetap ditolak oleh Kelurahan. Berkas-berkas permohonan KTP itu dibawa pula oleh Tim ORI sebagai alat bukti.
Pak Naming, salah satu warga yang pertama kali menempati lahan itu menjelaskan bahwa lahan itu sudah ditempati sejak tahun 1980-an dan sebelumnya adalah hutan. Pak Naming dan 2 orang temannya waktu itu hanya bermaksud menggarap dan menanam sayur-sayuran sekedar menyambung hidup dan tidak bermaksud untuk memilikinya. Buktinya sampai saat ini tanah tersebut tidak berkurang sejengkalpun.
Sejak tahun 2009 Perum PPD mengklaim sebagai pemilik lahan sekitar 5,3 hektar itu. Namun tidak bisa membuktikannya sehingga warga menolak keluar dari lahan itu. Warga sudah mengadu kemana-mana seperti Komnas HAM, Komisi II DPR RI, DPRD DKI Jakarta, Pihak Perum PPD, LBH Jakarta, dan lain-lainnya. BPN sebenarnya ingin melakukan gelar perkara pada bulan Mei 2011 lalu. Namun sampai saat ini belum terealisasi tanpa alasan yang jelas.
Komnas HAM pernah menyampaikan masalah ini kepada Walikota Jakarta Timur mengenai perlakuan diskriminatif terhadap masyarakat Rt.05 Kebun Sayur (Vide: Surat Komnas HAM Nomor 005/K/Mediasi/I/2011 tanggal 12 Januari 2011). Namun Walikota Jakarta Timur membalas surat Komnas HAM tersebut (Vide: Surat Nomor 381/-1.86 tanggal 31 Januari 2011, point 3) dengan mengatakan bahwa:
”(a) Masyarakat pemilik bangunan liar tersebut bermaksud untuk memiliki administrasi Kependudukan dan Pencatatan Sipil (KTP), namun pihak Pemerintah Kelurahan Ciracas dan Kecamatan Ciracas tidak mengijinkan maksud tersebut, karena lokasi tempat tinggalnya tidak memiliki alas hak atas tanah yang ditempati. (b) Ketentuan lain yang tidak mengijinkan masyarakat tersebut mendapatkan pelayanan administrasi Kependudukan dan Pencatatan Sipil adalah berdasarkan Peraturan Daerah No. 4 Tahun 2004 tentang Pendaftaran Penduduk dan Catatan Sipil tidak boleh memiliki KTP lebih dari satu dan Peraturan Gubernur No. 16 Tahun 2005 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pendaftaran Penduduk dan Catatan Sipil. (c) Untuk proses pembuatan KTP harus melalui tahapan berupa Surat pengantar dari RT, sementara masyarakat pemilik bangunan liar tersebut tidak memiliki RT”.
Kebijakan Walikota Jakarta Timur tersebut bertolak belakang dengan Keputusan Gubernur DKI Jakarta Nomor 36 Tahun 2001 tentang Pedoman Rukun Tetangga dan Rukun Warga di Provinsi DKI Jakarta dimana pada Pasal 4 ayat (2) dan ayat (4) disebutkan bahwa:
”Setiap RT terdiri dari 30 sampai dengan 60 kepala keluarga. Ayat (4): Bagi penduduk yang bertempat tinggal di asrama, rumah susun, kondomonium, apartemen atau yang sejenis dapat dibentuk RT tersendiri atau digabungkan dengan RT yang berdekatan”.
Kebijakan Walikota Jakarta Utara terhadap warga di Kampung Beting, Tanah Merah Jakarta Utara mengacu kepada Pergub ini. Sehingga walaupun warga Kampung Beting yang terdiri dari 800 KK yang juga tinggal dilahan sengketa tidak dibentuk Rt/Rw tersendiri, namun dapat dilayani oleh Rt/Rw terdekat.
Rakyat kecil selalu menjadi korban kesewenang-wenangan penguasa. Padahal mereka sendiri yang memilih seperti Presiden, DPR, DPRD, termasuk Gubernur DKI Jakarta. Namun rupanya tangan pak Gubernur kurang panjang untuk menjangkau mereka. Mereka ditolak hanya gara-gara menempati lahan garapan yang nota bene tanah negara itu.
Warga hanya dipandang sebagai ”anak emas” ketika pemilu/pemilukada. Setelah itu dicampakan begitu saja. Rakyat tidak lagi dilayani sebagai warga negara yang berdaulat tetapi hanya dipandang sebagai objek politik belaka. Sungguh sangat keterlaluan! (Kamillus Elu, SH).
ternyata masih banyak ketidakadilan