Ahok.Org – Perjalanan demokratisasi yang dimulai tahun 1998 harus diakui tersendat-sendat.
Meski secara struktur dan perangkat kelembagaan ada banyak kemajuan yang mendorong demokratisasi, masih banyak sekali praktik dan fakta di lapangan seperti korupsi, politik uang, dan lainnya yang justru bertentangan dengan kemajuan-kemajuan yang ada dan bahkan mendorong pelemahan sistem demokrasi saat ini. Politik yang sering kali lebih didominasi oleh keinginan berkuasa semata dan kekuatan uang membuat kita bertanya, apakah demokrasi kita sudah berada di jalan yang benar.
Berbagai kemunduran dan tersendatnya proses demokratisasi yang ada setelah lebih dari sepuluh tahun bereformasi mulai memunculkan kesadaran tentang pentingnya peran aktor-aktor dalam sistem yang ada. Tanpa munculnya aktor-aktor yang teruji bersih dari kepentingan pribadi dan kelompok dan punya ketegasan di tampuk kepemimpinan politik sulit rasanya berharap banyak pada proses politik dan demokratisasi yang ada.
Harapan dari Ibu Kota
Pilkada DKI baru-baru ini memberikan sedikit titik terang dan optimisme. Kemunculan figur Joko Widodo (Jokowi) dan Basuki Tjahaja Purnama yang sejak awal diprediksi tidak akan mampu melawan kekuatan petahana, tetapi berdasarkan hasil hitung cepat di putaran kedua secara mengejutkan mampu mengalahkan petahana, memberikan secercah harapan. Mengapa mengejutkan dan mengapa memberikan harapan?
Pertama, dengan dana kampanye yang paling sedikit tiga kali lebih kecil dari petahana, Jokowi dan Basuki mampu menunjukkan bahwa uang bukanlah segala-galanya. Dengan segala keterbatasan pendanaan, pasangan ini menggunakan metode kampanye yang kreatif, tetapi efisien dan efektif. Mulai dari menonton bareng video yang memperkenalkan sang kandidat hingga melakukan advokasi langsung ke bawah guna membantu orang yang kesulitan mendapatkan pelayanan kesehatan dan pendidikan, turun langsung ke lapangan secara spontan tanpa membagikan apa pun selain kartu nama, membagikan tabloid-tabloid yang isinya menceritakan para kandidat, dan masih banyak lagi.
Dengan model kampanye yang sederhana, tetapi mengena, pasangan ini menunjukkan bahwa memenangkan hati rakyat secara kreatif jauh lebih penting daripada menghamburkan uang untuk ”membeli” dukungan.
Kedua, pasangan nomor 3 ini hanya didukung dua partai yang hanya memiliki sekitar 18 persen kursi di DPRD DKI, sementara sang petahana pada ronde kedua didukung partai yang menguasai 82 persen kursi. Meski didukung partai yang jauh lebih sedikit, pasangan Jokowi-Basuki mampu mendulang suara sekitar tiga kali lipat lebih banyak dari pendukung partai pengusungnya. Kemenangan Jokowi-Basuki menunjukkan, ada persoalan serius dengan parpol kita yang seharusnya menyuarakan kepentingan dan aspirasi rakyat ternyata tak mampu menangkap aspirasi tersebut di pilkada Ibu Kota ini.
Partai perlu melakukan introspeksi serius terhadap diri masing-masing jika masih mau bertahan di kontestasi-kontestasi politik ke depan. Kekalahan petahana yang juga kekalahan partai politik menunjukkan demokrasi bukan hanya milik elite politik dan partai, melainkan juga milik rakyat. Semua ini menunjukkan, suara rakyat bisa mengalahkan kekuatan partai dan menghukum partai yang gagal menjalankan peran politiknya.
Ketiga, tingginya tingkat keterlibatan masyarakat pendukung Jokowi-Basuki. Keinginan akan perubahan dari warga Jakarta terlihat dari tingkat partisipasi yang tinggi dalam proses pilkada. Partisipasi dimaksud bukan hanya sebatas ikut memilih di hari pemilihan, melainkan ada begitu banyak inisiatif warga untuk mendukung kandidat yang dilakukan secara sukarela.
Bahkan, meskipun belum maksimal, pola dukungan warga dalam bentuk sumbangan finansial muncul dalam Pilkada DKI kali ini. Begitu juga pada hari pemilihan. Meski menurut informasi di lapangan ada berbagai macam bentuk intimidasi, baik sebelum maupun pada hari pemilihan dalam berbagai bentuk dan jumlahnya jauh lebih banyak dibandingkan putaran pertama, ternyata hal tersebut tidak menyurutkan tekad masyarakat untuk ikut menentukan masa depan kotanya. Tingkat partisipasi di putaran kedua berhasil menyamai putaran pertama yang cukup baik, yaitu di kisaran 65 persen.
Ringkasnya, ada tiga pembelajaran penting ke depan. Pertama, uang bukanlah segala-galanya dalam berpolitik. Memenangkan dan meyakinkan rakyat secara kreatif jauh lebih penting daripada pendanaan masif. Kedua, elite partai politik sudah saatnya sadar mereka harus mendengarkan suara dan aspirasi warga. Rakyat bisa mengalahkan kekuatan elite partai.
Ketiga, kandidat yang memberikan harapan segar dengan cerita pengalaman yang menginspirasi bisa membangunkan rakyat yang sudah apatis untuk ikut bergerak menentukan masa depannya. Semuanya ini menunjukkan bahwa demokrasi itu masih bisa dibuat menjadi milik rakyat; dari rakyat dan oleh rakyat. Uang dan kekuatan elite politik bahkan intimidasi tidak bisa mendominasi ketika rakyat betul-betul serius mau memiliki proses demokrasi ini.
Alangkah baiknya ke depan jika model atau contoh proses demokrasi di Jakarta bisa menjadi diceritakan dan contoh untuk daerah-daerah lain.
Harapan untuk Indonesia
Pertanyaannya, apakah kepemimpinan yang baru ini akan menunjukkan bahwa demokrasi ini betul-betul untuk rakyat? Apakah demokrasi yang dari dan oleh rakyat bisa menghasilkan kepemimpinan yang betul-betul untuk rakyat.
Di pundak Jokowi dan Basuki ada suatu beban dan tanggung jawab yang besar. Yang berharap pada mereka berdua bukan hanya warga Jakarta, melainkan seluruh rakyat Indonesia. Seluruh rakyat berharap cemas apakah kedua orang ini mampu menjawab tingginya ekspektasi yang ada.
Kemenangan mereka dalam pilkada sudah memulai suatu gelombang perubahan. Jika kemenangan itu diikuti keberhasilan memimpin Ibu Kota, 20 September 2012 akan diingat sebagai titik awal Reformasi jilid II dan bukan tidak mungkin hari itu akan diingat dalam lembar sejarah Indonesia sebagai hari yang sejajar dengan berdirinya Budi Utomo tahun 1908, deklarasi Sumpah Pemuda tahun 1928, Proklamasi Kemerdekaan tahun 1945, dan Reformasi tahun 1998. Selamat berjuang Pak Jokowi, selamat berjuang Pak Basuki.[*]
*Sunny Tanuwidjaja Kandidat Doktor Ilmu Politik di Northern Illinois University
20 September 2012, itu Hari Kebangkitan Nasional II. Sekarang waktunya melanjutkan perjuangan tersebut. Salam Pergerakan untuk Indonesia yang lebih baik!