Jokowi-Basuki: Dari Daerah Menaklukkan Ibu Kota (Politik 2012)

10
515

Ahok.Org – Tampil bersahaja, Joko Widodo-Basuki Tjahaja Purnama berhasil merebut simpati publik. Kinerja mereka mendapat pengakuan dari dalam negeri dan luar negeri. Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta ini dinilai sebagai pasangan ideal yang mampu membawa perubahan dan kemajuan berarti bagi Ibu Kota.

Ingar-bingar sepanjang tahun 2012 tak lengkap kalau tidak menyebut pasangan Joko Widodo, beken disapa Jokowi, dan Basuki Tjahaja Purnama, akrab dipanggil Ahok. Popularitas Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta ini, terutama Gubernur DKI Jokowi, menembus sekat negara. Dari dalam negeri, pengakuan terhadap Jokowi, antara lain, datang dari Markplus sebagai “Merketer of The Year” kategori government serta dari Serikat Perusahaan Pers sebagai “Tokoh Publik Pilihan”.

Sedangkan pengakuan dari luar negeri tampak dengan munculnya nama Jokowi (masih sebagai Wali Kota Solo, Jawa Tengah) sebagai finalis “Wali Kota Pilihan Dunia” versi The City Mayors Foundation, London. Ia menjadi kandidat kuat menyabet penghargaan yang bakal diumumkan pada penghujung tahun ini.

Tentu yang paling bergengsi adalah tertabalnya nama Jokowi sebagai nominator “Person of The Year” versi majalah Time, majalah terbitan Amerika Serikat yang paling berpengaruh di dunia. Walaupun, akhirnya majalah Time mengumumkan pada Kamis pekan lalu, penghargaan paling bergengsi itu jatuh kepada Presiden Amerika Serikat, Barack Obama.

Popularitas Jokowi tak sebatas berdasarkan pengakuan di atas kertas. Bersama pasangannya, Ahok, Jokowi selalu membetot perhartian warga di mana pun ia berada. Pada sebuah acara yang juga dihadiri pejabat pemerintah setingkat menteri, misalnya, tak jarang warga lebih memburu bersalaman dengan Jokowi atau Ahok ketimbang berpaling ke menteri. Insan pers pun memberikan perhatian yang sama, lebih bergairah memburu berita dari Jokowi dan Ahok. Jadilah sepak terjang mereka selalu menghiasi media cetak dan elektronik.

Semua popularitas pasangan Jokowi-Ahok itu diraih setelah mereka secara mengejutkan memenangkan pemilihan gubernur (pilgub) DKI Jakarta, mengalahkan petahana (incumbent) Fauzi “Foke” Bowo yang berpasangan dengan Nachrowi “Nara” Ramli. Atas semua sukses yang mereka raih, GATRA menabalkan Ikon 2012 kepada pasangan Jokowi-Ahok.

***

Berangkat dari daerah, Jokowi sebagai Wali Kota Solo dan Ahok sebagai mantan Bupati Belitung Timur, tak ada yang menyangka pasangan ini bakal memimpin Ibu Kota dan menjadi populer. Apalagi, nama pasangan yang diusung PDI Perjuangan dan Partai Gerindra itu muncul pada saat-saat terakhir pendaftaran peserta pilgub DKI. Sampai menjelang pemungutan suara, sejumlah lembaga survei beken menjagokan petahana Foke-Nara.

Nyatanya, dalam pilgub putaran pertama 1 Juli 2012 yang diikuti enam pasangan calon, Jokowi-Ahok memperoleh suara 42,60%, mengungguli Foke-Nara yang mendapat suara 34,05%. Kemenangan Jokowi-Ahok ini mencengangkan banyak orang, sekaligus menjungkirbalikkan hasil survei lembaga-lembaga survei tadi. Pada pilgub putaran kedua, 20 September 2012, Jokowi-Ahok mengantongi suara 53,82%, mengalahkan Foke-Nara yang mengunduh suara 46,18%.

Sukses Jokowi-Ahok memenangkan pertarungan itu tak lepas dari kampanye simpatik pasangan ini, yang tak segan blusukan ke permukiman warga, naik-turun kendaraan umum, di samping program mereka yang pro-rakyat. Misalnya mengatasi kemacetan, mengatasi banjir, memberdayakan ekonomi masyarakat, dan menata permukiman kumuh. Pasangan ini juga mengusung program Jakarta menuju sehat dan Jakarta menuju pintar.

Kemenangan Jokowi-Ahok disambut sukacita oleh pendukung dan warga yang memilih mereka. Simpati warga Jakarta makin bertambah setelah Jokowi-Ahok yang dilantik pada 15 Oktober 2012 makin rajin blusukan ke kampung-kampung, tetap bersahaja, dan bersikap hangat kepada warga. Dia tak segan berfoto bersama warga yang mengelu-elukannya.

Ahok juga tak kalah populer. Jika lazimnya wakil gubernur ”tenggelam atau ditenggelamkan” di bawah bayang-bayang sang gubernur, Ahok relatif bisa mengimbangi kepopuleran Jokowi. Sikap tegasnya dan keseriusannya membawa aparaturnya agar profesional, transparan, dan menjauhi korupsi menjadikan sosok Ahok pun cepat populer. Salah satu terobosannya yang banyak diapresiasi adalah mengunggah rapat-rapat di jajaran pejabat Pemprov Jakarta ke situs YouTube.

Pasangan ini juga segera menepati janji kampanyenya, yakni membagikan Kartu Jakarta Sehat dan Kartu Jakarta Pintar. Masyarakat miskin mendapat pengobatan gratis serta bantuan finasial untuk bersekolah. Sangat beralasan jika simpati kepada mereka tak hanya datang dari warga biasa, melainkan juga tokoh nasional.

Budayawan Betawi, Ridwan Saidi, misalnya, tak segan memuji gaya dan kinerja pasangan ini. ”Surprised, performance mereka tak disangka-sangka,” katanya, tulus. Pujian juga dilontarkan Triwisaksana, Wakil Ketua DPRD DKI Jakarta. ”Saya rasa model kepemimpinan seperti ini memang seharusnya di kota serumit Jakarta,” kata politikus PKS itu kepada Mira Febri Mellya dari GATRA. Seperti warga Jakarta lainnya, Ridwan dan Triwisaksana menaruh harapan besar pada pasangan itu untuk memajukan Jakarta.

Tentu yang lebih penting lagi, Jokowi-Ahok menjawab popularitas yang telah mereka raih dengan serangkaian kerja penakluk segala permasalahan Jakarta.

Taufik Alwie dan Ade Faizal Alami

———

JOKO WIDODO: Sosok Pemimpin Getol Blusukan

Ia dengan cepat dikenal sebagai Gubernur DKI Jakarta yang paling rajin keluar-masuk permukiman warga di daerah pinggiran. Juga inspeksi ke kantor-kantor pemerintahan. Banyak yang menaruh harapan besar padanya.

Beginilah gaya Gubernur Daerah Khusus Ibu Kota (DKI) Jakarta, Joko Widodo, menunjukkan kepekaannya terhadap masalah yang terjadi di wilayahnya. Jangan kate terjadi banjir bandang, ada kerusakan gedung sekolah pun sudah mengusik perhatiannya. Tengoklah ketika atap gedung SDN 03 di Rawamangun, Jakarta Timur, ambruk, 8 November lalu.

Pak Gubernur yang beken dipanggil Jokowi ini bergegas meninjaunya. Menariknya pula, Jokowi tak hanya melihat-lihat dari bawah, apalagi hanya dari kejauhan. Sebaliknya, ia tanpa ragu memanjat tangga guna lebih leluasa melihat bagian atas gedung yang sudah ”menganga” itu. Gerakannya spontan, sehingga staf dan ajudannya tak sempat berupaya ”mengingatkan” ataupun sekadar memegangi tangganya.

Ketika banjir melanda beberapa wilayah Jakarta, Jokowi pun melongoknya dari dekat, berbincang dengan warga. Hujan yang turun tak menghalanginya, malah ia cuek saja berbasah-basah. Warga pun mengelu-elukannya. Di satu lokasi banjir, Jokowi sempat berkeras ingin meninjau dengan naik perahu karet, tapi urung. Staf dan ajudannya berhasil mengingatkan bahwa air sedang tinggi sehingga dapat mengancam keselamatan.

Yang tak kalah menarik, gaya Jokowi ketika meninjau jembatan gantung di Srengseng Sawah, 8 Desember lalu. Jembatan yang menghubungkan wilayah Jakarta dengan Depok, Jawa Barat, itu sudah reyot. Bentangan bambunya lapuk, dilapisi seng berkarat. Jembatan di atas Kali Ciliwung itu setiap hari ramai digunakan warga.

Jokowi tanpa ragu pula mencoba ”sensansi” jembatan reyot itu dengan berjalan di atasnya hingga ke seberang, bolak-balik. Ia pun berinisiatif memberikan bantuan Rp 40 juta untuk memperbaiki jembatan yang bisa mengundang bahaya itu, tanpa mempersoalkan apakah masuk wilayah Depok atau Jakarta. ”Jangan ngomong wilayah. Prinsipnya, kita mau menjaga keselamatan warga,” kata Jokowi ketika itu.

Harus diakui, Jokowi memang lebih banyak ”kelayapan” di antero Jakarta ketimbang berada di kantornya. Ini sesuai dengan janjinya saat kampanye. Jokowi melakoninya dengan riang, sama sekali tak tampak seperti terpaksa. Maklumlah, soal wira-wiri keluar-masuk kampung dan mendekatkan diri dengan warga sudah dilakoninya dengan baik ketika ia menjadi Wali Kota Solo, Jawa Tengah.

Ada kesungguhan dan ketulusan yang terpancar di wajah Jokowi setiap kali blusukan –kadang tanpa ajudan dan luput dari pantauan wartawan. Dan Jokowi tampak menikmatinya. Menurut ayah tiga anak ini, blusukan adalah suatu keharusan bagi setiap pemimpin daerah. Dengan blusukan, seorang pemimpin bisa lebih memahami kondisi wilayah dan dinamika warganya. ”Menyerap aspirasi warga secara langsung itu penting,” katanya kepada wartawan setiap kali ia wira-wiri blusukan, termasuk melakukan inspeksi mendadak ke kantor-kantor pemerintahan di wilayah Jakarta.

Jokowi lahir di Surakarta, Jawa Tengah, 21 Juni 1961. Ia merupakan sulung dari empat bersaudara, anak pasangan Noto Mihardjo dan Sujiatmi. Mereka bukanlah keluarga berkecukupan. Sang ayah hanyalah tukang kayu. Kondisi ekonomi yang pas-pasan ini menempa Jokowi kecil menjadi anak mandiri.

Sejak sekolah dasar, ia berdagang apa saja untuk membiayai sekolahnya. Ia juga menjual jasa, menjadi pengojek payung saat hujan, sampai menjadi kuli panggul. Meski sibuk cari duit, Jokowi kecil tetap rajin membantu ibunya beres-beres rumah dan mengantar adik-adiknya ke sekolah. Hebatnya pula, kesibukannya ini sama sekali tak mengganggu prestasinya di sekolah.

Terbukti, ia selalu meraih predikat juara kelas. Bahkan, saat menamatkan pendidikan di SMA Negeri 6 Solo, ia meraih predikat juara umum. Berbekal prestasi ini, Jokowi melenggang masuk ke Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Bersama tiga rekannya, Jokowi menjadi lulusan tercepat dari jurusan teknologi kayu. Ia menyelesaikan kuliah dalam waktu empat setengah tahun.

Sempat bergabung di sebuah BUMN di Aceh, Jokowi kemudian pulang kampung, bekerja di perusahaan mebel. Pengalamannya ini, plus jiwa wirausaha yang tumbuh sejak kecil, mendorongnya berusaha sendiri. Tahun 1988, ia mendirikan perusahaan mebel, yang kemudian berkembang besar hingga kini. Pasarnya merambah ke luar negeri.

Sukses membangun bisnis mebel, Jokowi kemudian terjun ke dunia politik. Singkat cerita, pada 2005, kader PDI Perjuangan ini, bersama pasangannya, F.X. Hadi Rudyatmo, terpilih sebagai Wali Kota dan Wakil Wali Kota Solo. Jokowi sukses membawa perubahan besar di Solo. Ia juga sangat dekat dengan warganya. Ia mampu merelokasi pedagang barang bekas di Taman Banjarsari tanpa gejolak.

Tak mengherankan, periode berikutnya, pasangan itu kembali dipercaya memegang tampuk pemerintahan Kota Solo. Di periode kedua ini, Jokowi terus membuat terobosan yang mengharumkan Solo. Antara lain, ia sukses mendorong perakitan mobil Esemka yang melibatkan tenaga siswa sekolah menengah kejuruan (SMK) Surakarta.

Dari Solo, Jokowi kemudian sukses bertarung dalam pemilihan Gubernur DKI Jakarta, berpasangan dengan Basuki ”Ahok” Tjahaja Purnama. Sikapnya yang rendah hati, serta kesungguhannya hendak mengubah Jakarta menjadi lebih baik, mengundang simpati, harapan, sekaligus dukungan dari warga Jakarta.

Ketua Fraksi Partai Golkar DPRD DKI Jakarta, Ashraf Ali, juga menaruh respek pada Jokowi. Namun ia mengingatkan, jika hanya bermodal kecintaan masyarakat dan gagasan yang baik, ”Tidaklah cukup untuk membangun Jakarta,” katanya kepada Mira Febri Mellya dari GATRA.

Budayawan Betawi, Ridwan Saidi, yang dikenal sebagai tukang kritik, tak sungkan menyatakan keyakinannya bahwa Jakarta akan menuju lebih baik di bawah Jokowi. ”Saya optimistis Jokowi bisa,” kata Ridwan Saidi. (Taufik Alwie dan Sandika Prihatnala)

——–

BASUKI TJAHAJA PURNAMA: Tokoh Minoritas Menggebrak Jakarta

Sebagai Wakil Gubernur DKI Jakarta, ia turut berperan aktif menata Ibu Kota. Tugasnya mengurusi rumah tangga pemerintahan. Mengaku jadi sakit jiwa kalau membahas pencurian uang rakyat.

Lain gaya Jokowi, beda pula gaya Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok. Sebagai Gubernur DKI Jakarta, Jokowi lebih sering blusukan ke kampung-kampung atau inspeksi ke kantor-kantor pemerintahan. Sedangkan Ahok, sebagai wakil gubernur, lebih banyak mengurusi rumah tangga pemerintahan Ibu Kota. Ia pun wira-wiri di kantornya, menghadiri rapat-rapat dengan jajaran pejabat Pemprov DKI Jakarta.

Toh, Ahok tidak kalah populer dibandingkan dengan Jokowi. Sikapnya yang tegas dan blak-blakan, termasuk tekadnya membabat praktek korupsi di pemerintahan, menjadikannya sebagai sosok menarik yang diuber wartawan. Apalagi, ia membuat terobosan di bidang kehumasan, yakni mengunggah video rapat-rapat dinas ke situs YouTube. ”Biar masyarakat tahu isi rapat itu soal apa, anggaran untuk apa. Semua transparan, terbuka,” ujar Ahok.

Tidak mengherankan kalau sosok Ahok dengan gebrakannya kerap muncul di media massa. Lebih-lebih setelah video yang memuat rapat Ahok dengan jajaran Dinas Pekerjaan Umum (PU) diunggah ke YouTube pada 8 November lalu. Dalam video berdurasi 46 menit itu, Ahok dengan tegas minta agar anggaran Dinas PU yang terlalu tinggi dipotong 25%.

”Anda potong anggarannya atau cara kedua, saya hapus proyek itu. Tidak ada jembatan itu, (kemudian) saya bangun dengan uang operasional saya,” kata Ahok. Sebagai anak kontraktor dan melakoni pekerjaan kontraktor, ia mengaku tahu persis hitung-hitungan biaya suatu proyek. Malah ia mengatakan, jika anggaran Dinas PU dipotong 40% pun, masih bisa jalan.

Di bagian lain, ia menegaskan, kalau tidak suka dengan cara yang ditawarkannya, ia akan mengganti pejabat Dinas PU sampai eselon III. Ahok juga terus terang mengatakan jadi agak sakit jiwa membahas pencurian uang rakyat. Bapak tiga anak ini kemudian blak-blakan mengatakan bahwa ia orangnya keras dan tidak akan berkedip seandainya ada orang yang akan menembaknya.

Tak pelak, dalam beberapa hari saja, video berisi tayangan Ahok marah-marah itu ditonton ratusan ribu kali. Media massa turut mem-blow-up, masyarakat pun makin ramai memperbincangkannya di jejaring sosial seperti Facebook dan Twitter. Video itu pun makin laris manis ditonton. Sampai 29 November lalu, video itu telah ditonton 1,3 juta kali. Kehebohan ini sampai ditayangkan pula oleh stasiun televisi asal Qatar, Al-Jazeera.

Budayawan Betawi, Ridwan Saidi, memuji Ahok dalam video itu. ”Memang harus begitu untuk meluruskan pegawai-pegawai yang geblek,” katanya kepada Ade Faizal Alami dari GATRA. Tapi sebagian warga mencibir gaya Ahok yang marah-marah di video tersebut. Ahok dianggap mempermalukan bawahannya di depan khalayak.

Ahok mengaku tidak mengkhawatirkan cibiran itu terkait kebijakannya yang tak populer. Ia optimistis, kemajuan warga akan tercapai karena kebijakan-kebijakan tak populer yang diambilnya itu. ”Kalau kita beri habit (kebiasaan) yang baik, nanti yang bawah, masyarakatnya, ada hati untuk perbaiki juga,” kata Ahok.

Tak selalu Ahok marah-marah saat memimpin rapat. Saat rapat pada Senin, 10 Desember lalu, mislanya, Ahok lebih banyak tersenyum. Tapi tetap saja rapat berjalan serius dan Ahok banyak melontarkan gagasan mengenai sistem pelayanan terpadu satu pintu bagi warga Jakarta untuk mengurus semua surat yang diperlukan. Kelak, warga cukup datang ke kantor lurah, camat, atau kantor wali kota terdekat.

Ahok bukanlah pendatang baru di pemerintahan. Lelaki dari kaum minoritas –Tionghoa non-muslim– kelahiran Belitung Timur, Provinsi Bangka Belitung (Babel), ini terpilih sebagai bupati di tanah kelahirannya untuk periode 2005-2010. Sebelumnya, Ahok menjadi anggota DPRD Belitung Timur periode 2004-2009 dari Partai Indonesia Baru. Pada 11 Desember 2006, ia mengundurkan diri dari kursi bupati, guna maju dalam pemilihan Gubernur Babel 2007.

Saat itu, ia didukung mantan Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Gus Dur menilai Ahok sudah melaksanakan program terbaik ketika memimpin Belitung Timur, yakni membebaskan biaya kesehatan bagi warganya. Namun Ahok gagal terpilih. Putra pasangan Indra Tjahaja Purnama-Buniarti Ningsing ini kemudian terpilih menjadi anggota DPR dari Fraksi Partai Golkar.

Pada pemilihan Gubernur DKI Jakarta, Ahok ambil bagian mendampingi Jokowi sebagai pasangan yang diusung PDI Perjuangan dan Partai Gerindra. Ahok terpaksa lompat ke Partai Gerindra lantaran Partai Golkar telah mengusung Alex Noerdin-Nono Sampono sebagai pasangan calon gubernur-wakil gubernur.

Berbagai kampanye hitam, termasuk isu SARA, tak menghalangi langkah pasangan Jokowi-Ahok untuk meraih kemenangan. Duet ini dilantik menjadi Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta pada 15 Oktober 2012. Sebagai wakil gubernur, Ahok tak mau pasif menunggu instruksi sang gubernur. Sebaliknya, Ahok sangat aktif berperan, dan Jokowi memang memberinya kepercayaan.

Banyak yang menilai pasangan ini merupakan duet yang cocok memimpin Jakarta. Sang gubernur santun dan blusukan ke kampung-kampung, sang wakil berkarakter keras dan lebih banyak mengurusi rumah tangga pemerintahan. (Taufik Alwie dan Sandika Prihatnala) [GATRA.COM]

10 COMMENTS

  1. Semoga modal dan awal yang baik akan berakhir dengan baik. Semoga karya-karya beliau ditahun mendatang mendatangkan kesejahteraan bagi semua rakyat (miskin dan kaya).
    SUCCESS!!!

  2. wah, nyang ini iklannya malah lebih panjang lagi tanpa diminta.
    huebat! manteb!
    nanti bisa lebih panjang lagi gak iklan berikutnya, masbrow Sak? biyar yg baca pade keder2 semue dah.. πŸ˜€
    “How long can you go… ooh.. yeah!”

    Persis spt lakon suami-istri duet JB ini, nyang lakinye sering pergi keluar nyari duwit/proyek/liyat situasi, nyang bininye sering dirume ngatur2 urusan domestik/pembantu. lakinye kalem2 aje nyante, eh bininye garang-nyablak kayak macan kemayoran… lebih galak dari lakinye, apelagi kalo nyangkut urusan duwit setoran/kas kurang bayar gak sesuai neraca berjalan… langsung kesambet setan akuntan publik… bukan cuman pembantu aje kena damprat klo ketauan sale, tapi anak2nye aje kena ditegor: “dikemanain tuh duwit jajan loe pade? ape lo pade mo dipotong 25% duwit jajannye nanti klo masih ga ngaku?” πŸ˜€
    anak: “Ciyus? enelan?”
    nyak: “eh nantangin nih anak! potong 40% wang jajan mulai besok!”
    anak: “pergi ke sekole ntar pake ape nyak? mana cukup buwat makan ame ojekan? plis deh nyak…”
    nyak: “pake kaki loe kenape, masih bisa jalan ini, dasar anak geblek! makan aje dipikirin mulu… eh, ane same aje ye hihihi…”
    anak: “kejam banget nih emak ane..”
    nyak: “eeh minta disetrap ye?”
    babe: “udaah, setrap aja nyak!”
    nyak: “eh, ngapain mo ikut campur? btw mawei, babe katanye mo pecat ntu pembantu ga beres, kapaaan???”
    babe: “tunggu aje, nanti pasti ane pecat klo mo macem2 bikin masale lagi.”
    nyak: “nungguin arisan lebaran kodok ngorek 2014 lewat dulu ye, biyar aman…”

      • LOL!
        atu lagi noob/barang baru kena TaZuper-Trap.
        gue bilang ape, manteb kan jebakan ane masbrow Sak. πŸ˜€
        wkwkwk…

        laaanjuuutt…. taarik teyussss maaang..!
        Oppa Gangnam styyyllleeee… hiii yaahhh!

        • Cara yg aneh utk buat analogi rumah tangga pemerintahan jakarta, tapi lucu juga.
          Wiiitttttzzzzz, tp bener donk…, rumah tangga yg sehat itu selalu banyak bumbu.
          Sy aja “nyap2” tiap hari ngitung pendapatan suami biar cukup, yaaaa anak lah diomelin, yaaa laki lah diomelin kl keluar duit lebih “buat apaan tuh duit??”…. lah, kl ga nyap2…. siapa yg perhatiin supaya kebutuhan CUKUP???
          Yg ada bisa2 sy suruh suami nyolong kl gajian habis dalam waktu seminggu hahaha..
          Itu baru rumah tangga dengan 2 anak, gimana urus rumah tangga ibukota dg penduduk 9.607.787 jiwa??????? Gimana ga klenger pak ahok hahaha

  3. Pasangan yg serasi utk pimpin Jakarta.

    Mohon jgn kecewakan warga pak, apalagi mereka yg telah memilih & menaruh harapan yg besar thd bapak.

    Sy ikuti berita pilkada wkt itu,banyak hujatan thd bapak ttg SARA..
    “To success in life, u need two things : ignorance & confidence” ~ Mark Twain

    Kadang lucu ini dg org yg kontroversi, seolah2 mereka antipati dg non muslim atau suku tertentu,tp mereka msh melakukan yg diharamkan Al-Quran.

    Indonesia itu bukan negara AGAMA tapi negara BERAGAMA…

    Sy ingat teman sy yg sangat vokal atas ras, sy bilang “kadang,minoritas itu jauh lebih baik dari mayoritas,karena mereka memiliki 2 beban : 1. Beban utk selalu menjaga nama baik agama & rasnya, 2. Beban untuk menunjukan prestasinya. Coba lihat di KPK, mana yg banyak masuk tipikor??? Pribumi atau minoritas”

    But… ini fakta yg sdh sy lihat juga, tersirat….., kaum minoritas pun kadang antipati thd kami di bidang pekerjaan, jika ada 2 karyawan yg unggul antara pribumi atau minoritas yg dpt promosi duluan pasti minoritas. Banyak teman2 yg katakan hal itu..
    Sy ga tau mana yg salah dlm hal itu : ras, moral, pendidikan, atau keyakinan

  4. Ane cuma mo komen ame nyang ini ajeh:
    “But… ini fakta yg sdh sy lihat juga, tersirat….., kaum minoritas pun kadang antipati thd kami di bidang pekerjaan, jika ada 2 karyawan yg unggul antara pribumi atau minoritas yg dpt promosi duluan pasti minoritas. Banyak teman2 yg katakan hal itu..”

    Ini semue pade dasarnya tergantung ame si bos, pola pikirnye dan pengalamannye.
    Jika si bos ga pernah didiskriminasi sblonnye ato brenti aksi ‘pembedaan’ tsb cukup lama, biasanya sih ga masalah soal SARA ini, obyektif lah memilih, apalagi kalo intelek (krn masalah SARA biasanya ngendon di kantung2 kemiskinan harta dan pendidikan, dan orang intelek pergaulannya gak terbatas, gak dibatasi dgn soal SARA krn emang gak masalah).
    Beda kalo sudah pernah dan terus2an kena diskriminasi, maka sbg kaum minoritas mereka akan lebih protektif dalam memilih ‘pasukan terpilih’ nya, hanya orang2 yg dianggap bisa dipercaya saja yg bisa masuk lingkungan dia, dlm hal ini biasanya yg dipilih adalah kesamaan dlm hal SARA (sama agama/ras/suku/golongan/dst).
    Karena ini masalah kepercayaaan, si bos gak mau dikhianati oleh bawahannya yg gak mau dukung dia dan kebijakannya kalo masalah SARA nanti sampe muncul, gak tau kapan.
    Stereotyping juga biasanya punya pengaruh cukup besar dlm level bos klasik/kuno ini – lagi2 masalah kepercayaan dan kesetiaan yg dipandang lewat SARA.
    Utk level klasik-konvensional ini, lihat saja gak usah jauh2, kaum mafia, ketat sekali dalam memilih anak buahnya, kalo gak kesamaan SARA ya kesamaan tujuan yg dijadiin dasar pemilihannya, karena kesetiaan itu penting banget bos urusannye klo di mafia itu (yg berkhianat biasanya kena ‘diurus’ pasukan khusus, biasanya gak napas lagi).
    tapi lihat bos dari perusahaan multinasional, level modern-openminded, siapa aja bisa masuk ga peduli SARA-nya apa. palingan diminta scr tak langsung harus ‘setia’ dgn company, wajar lah itu. tapi biasanya, bos ato pimpinan teratasnya adalah pilihan dari pusat (misal jika itu perush. Korea, maka HQ-nya di Korea yg akan milih dan tempatkan dia di negara yg ditentukan utknya, bisa orang Korea ato asing), urusan kepercayaan dan kompetensi bisnis lebih mendominasi dlm hal ini (kompentensi lebih penting di dunia Barat, tapi kadang kepercayaan juga penting bagi mereka, jadi yah kadang soal SARA juga masuk itungan mereka meski “not very important to consider about”).

    jadi yg penting, seluruh rakyat Indonesia harus berpendidikan setinggi2nya dan sukur2 berpenghasilan tinggi, agar jangan lagi bisa dibodohi dgn sentimen2 kuno berdasar SARA. Masalah ras/suku/etnis saja udah bikin runyam, gak perlu lagi ditambahin dgn masalah agama, yg bagi ane, agama cuma perpanjangan dari politik pengelompokan manusia atas manusia bebas lainnya, dimana mereka harus memilih di sisi mana mereka harus berdiri – shg potensi pertikaian (antar kelompok agama) memang dimungkinkan sekali.
    Itu sebabnya ane pro Sekularitas, agama sebaiknya disimpan utk urusan pribadi aje, gak perlu jadi landasan negare, jadi negara kite bisa netral dan adil dlm bertindak, tanpa perlu dianggap selalu pro agama tertentu. Harusnya dasar negara modern spt itu sih (non partisan, selain partai politik resmi), tapi Indonesia masih belom sampe kesitu kan, masih perlu belajar banyak dari sistem demokrasi nyata yg baru diadopsi, sedang rakyatnya masih sebagian besar (maaf) kurang modern cara berpikirnya – jadi yah begitu deh komplikasinye yg masih kite rasakan saat ini.

    BTW, klo sentimen ama kumis boleh gak sih? πŸ˜€ kesian juge dkatain teyus tapi gak bisa bales2… mangkanye jangan bikin dose lagi besok2 ye, pakumis? πŸ™‚

    oiya, tengkyu utk ‘pujian’ atas lakon skenario iseng ane diatas, baru ente yg brani bilang lucu tuh. πŸ™‚

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here