Anggaran Pembebasan Lahan Telah Disiapkan DKI

4
137

Ahok.Org – Pemprov DKI Jakarta menyiapkan dana hingga Rp 800 miliar untuk pembebasan lahan di Jakarta. Dana ini digunakan salah satunya untuk proyek revitalisasi Waduk Riario di Jakarta Timur.

Namun anggaran tersebut masih terbentur dengan peraturan baru. Peraturan yang dimaksud adalah pembebasan lahan di atas 1 hektar harus dilaporkan ke DPR RI.

“Sepertinya untuk lahan saja dianggarkan Rp 800 miliar lebih. Tapi sebetulnya nggak bisa karena ada peraturan baru, kalau pembebasan lahan di atas 1 hektar harus lapor ke DPR,” kata Wakil Gubernur DKI Basuki T Purnama di kantornya, Jl Medan Merdeka Selatan, Jakarta Pusat, Jumat (16/8/2013).

Seperti di Waduk Riario, tidak semua lahannya milik Pemprov DKI Jakarta. Sebagian adalah milik swasta dan karenanya harus dibeli.

Mantan Bupati Belitung Timur ini menggambarkan normalisasi Waduk Riario tak berbeda jauh dengan Waduk Pluit. Namun Waduk Riario akan memiliki konsep hutan kota yang lebih sejuk.

“Seperti Waduk Pluit tapi beda, dia nggak ada pompa buang ke laut kan. Jadi lebih cocok seperti danau, tapi di kelilingnya ada komersial dan konsep hutan kota, hutan tropis. Pak Jokowi lebih tahu,” tutup Ahok.[Detikcom]

4 COMMENTS

  1. Peraturan baru, lapor ke dpr, dibuatnya kapan tuh pak?
    Tranparan saja, jd rakyat tahu, jk peruntukan hal yg baik untuk rakyat, tp dpr nya menghambat, umumkan kendala nya pak.
    We’ll see…..

    • dibuatnya barusan, persis setelah final kejuaraan laga tanding kunjungan “AHok vs ALung” selesai kemaren, yg dimenangkan AHok scr ksatria dan menang WO telak (yg berani dateng cuman centeng2 bayarannya scr keroyokan, dia sendiri gak punya nyali dateng scr ksatria – yah macem cara2 mafia lah).
      Jadi gosip singkatnya, si ALung ini mencoba membuat peraturan baru lagi, agar laga tanding kandang kali ini bisa dimenangkan dia dgn cara selicik apapun yg bisa dilakukan oleh para setan2 preman liar berkulit silikon resmi pabrikan, yg rupanya juga diperjualbelikan scr bebas di eBay – without questions asked.

      No further verifiable information provided for this issue until now to counter the gossip – but we’ve seen these ones.

  2. Oh ya saya baru ingat stlh baca artikel ini.
    .
    Berdasarkan dari laporan2 dan info2/keluhan2 yg masuk ke saya, saya ingin menyarankan (kembali) agar cara pembayaran pajak, dlm hal ini PBB khususnya, bisa lewat internet/online kembali. Banyak yg mengeluhkan sekarang mereka tidak bisa lagi bayar scr online (bahkan ATM pun tidak bisa utk kebanyakan bank, kec. Bank Mandiri). Ini akan merepotkan dan riskan jika harus bawa2 uang cash berjumlah besar kemana2 (dan tidak ada ATM Bersama di sekitar atau cuma satu, shg kebanyakan memilih bawa cash dari rumah/bank). Intinya, sekarang kalo mo bayar PBB harus lewat Bank DKI dan cash tentunya, sudah tidak bisa lagi lewat bank2 lain spt dulu.
    Ini cukup aneh, mengingat bukannya pemda DKI harus kejar setoran pajak sebesar2nya? kalo pintu masuknya aja dah kena palang pintu kek gini, bukannya jadi tambah susah kita kasih duit ke pemda DKI? kenapa malah jadi nyusahin warga yg ingin sekali membayar pajak? (tapi dgn mudah, tanpa antrian yg bertele2 dan lamaaaa!)
    Tolong ini diperbaiki dan dikembalikan kembali ke semula. Seharusnya pemda DKI merangkul bank2 swasta sebanyak2nya agar para pembayar pajak bisa dgn mudah membayar pajak lewat internet/ATM yg jauh lebih aman anti copet binti rampok (mungkin gara2 kebijakan baru ini para copet dan rampok se DKI mulai berpikir utk menyatroni bank2 DKI krn sudah pasti yg disana semua pada bawa cash, rame, dan tinggal metik langsung dari para pembayar pajak) dan bebas antrian, apalagi sudah sah scr hukum (toh sudah ada aturan hukum resminya bahwa struk ATM atau data halaman bukti pembayaran di internet-banking [yg bisa dicetak kalo perlu] yg berisi kode pembayaran adalah sah scr hukum sbg alat bukti pembayaran resmi), dan bukan malah sebaliknya menjauhkan mereka!
    Hare gini koq malah anti budaya internet… (ATM itupun ternyata pake jalur internet sendiri juga)
    —–
    Hal kedua yg mau disampaikan sekalian:
    Kalau bisa semua informasi data NJOP dst, spt yg tercantum di STTP PBB resmi itu, bisa ditampilkan lewat internet juga (sama spt cari lewat UPPD ditempat, kita cukup sertakan NOP-nya saja utk mencari data ini).
    .
    Bagaimana cara membatasinya agar cuma yg berhak yg bisa melihatnya (dan bukan RT ato orang sekampung yg tak berhak)?
    .
    Karena yg kita mau berdayakan adalah penggunaan teknologi informasi scr masif alias via internet, maka hanya para pembayar PBB (ato pajak scr umum) yg AKAN membayar lewat internet-banking dan ATM (kita laksanakan yg lebih mudah spt ini dulu, yg lebih repot bisa nanti saja) yg bisa melihatnya atau bisa menyimpan ‘printout’-nya, krn bgmanapun mereka harus memiliki password utk masuk ke akun mereka tsb.
    Dgn begini, mereka bisa melihat SPPT PBB yg mau mereka bayar cukup lewat internet/ATM dan khusus user internet-banking: data SPPT PBB tsb (yg berisi NJOP, data tax equations, dst) bisa disimpan/diprintout sesuka mereka (Kalau masih bisa muat di struk ATM, ya bagus silahkan saja),
    .
    Jangan kayak sekarang, mau dapetin data SPPT PBB aja repot banget urusannya. Mulai dari RT/RW-nya yg males ngirim ke warga (maunya kita yg datengi dia kasih upeti kerajaan padahal kita bukan PKL/penyewa kios [eh dah pada tau kan, kalo PKL2 yg biasa mangkal di jalanan/parkir/trotoar itu wajib setoran ke kantong pak RT/RW pribadi lewat preman2 liarnya, dan bukan masuk ke kas pemda DKI? coba iseng2 kalian tanya aja sendiri ke PKL2, gak akan jauh2 dari itu – pikirkan sendiri kenapa sejak ada sistem RT/RW di Jakarta yg kecil tapi padat bukannya urusan tambah lancar tapi malah tambah berbelit2 dan makin deras bocornya kantong duit kita dan lucunya si RT/RW ini masih terhitung warga sendiri loh, kalo kita ribut dgn dia spt warga biasa pd umumnya berarti urusan tambah berbelit donk? jadi kita, maaf, harus jilat pantat mereka terus donk? Kalo kita cuma urusan dgn Kelurahan aja tanpa lewat sistem RT/RW yg dicomot dari warga sekitar gak akan sampai sejauh itu (mo ribut apaaan? lha wong bukan warga kita koq = minus problem sosial yg umum ini), apa sudah dipikirkan baik2 oleh pemda DKI soal problem sosial RT/RW ini? DKI sptnya tak butuh sistem RT/RW krn wilayahnya kecil tak luas, mending dananya dialihkan utk optimalisasi kinerja aparat pemda dan Kelurahan saja toh banyak negara lain gak pake sistem RT/RW, jalan fine2 aja – kita sudah ada RT/RW tapi tetap saja preman2 dan teroris bertebaran kayak gak ada RT/RW aja (ingat, tidak semua RT/RW itu kerjanya baik/bagus tanpa pernah sedikitpun mempermainkan wewenangnya semena2, apalagi di Jakarta, yg sptnya lepas kendali dan malah jadi preman ‘resmi’ di wilayahnya masing2 tanpa bisa tersentuh tuntutan hukum tata negara [modalnya cuma SK Gubernur sih = tak wajib berlaku di wilayah/propinsi lain = sistem desentralisasi/independen dari beberapa aturan pusat] apalagi dimainkan dgn lihai tak kasat mata dipermukaan) – kalo dah gak guna ato butuh2 banget mo ngapain terus dipertahankan? Cukup cabut SK Gubernurnya, dah beres satu problem – pak Gubernur, kalo kita emang butuh RT/RW di wilayah kita, kita bisa bentuk sendiri AD/ART dan aturan hukumnya bagi RT/RW yg melanggar tatib wilayah koq, gak perlu situ yg ngurusin semuanya], tapi tetap saja masih sulit ditemui dan lucunya tidak bisa diwakili keluarganya hanya utk menyerahkan SPPT PBB ini), tidak bisa dikirim via pos ke alamat tujuan / objek pajak, tidak bisa ambil di UPPD ato Kelurahan (yg lebih pasti jam kerjanya = lebih mudah ditemui) kalo udah disetor ke RT/RW, shg harus minta copy SPPT PBB yg super berbelit dan bertele2 yg makan waktu 3 hari itu dgn mengisi form permintaan spt kayak kita lagi ngantri panjang utk kupon sembako di negri komunis kuno saja, padahal kita ini pembayar pajak lho! koq malah dipersulit utk memperoleh data2 tsb yg notabene merupakan HAK kita?
    .
    Salah satu rekan saya yg cerita juga soal ini cukup beruntung ketemu seorang petugas PNS baik di UPPD wilayah dia (kita samarkan saja namanya dgn “X” agar tidak dipecat atasan lamanya yg ‘korup’ jabatan yg masih bercokol disana) yg langsung bertanya apa mau cukup data NJOPnya saja yg diminta, tanpa pikir panjang rekan saya langsung mengiyakan dan langsung saat itu juga dia didapatkan data2 cukup lengkap mirip SPPT PBB berupa hasil PrintScreen dan diprintout ke kertas, dan TANPA minta uang sepeserpun!
    Ternyata si X juga sadar akan hal ini dan paham kesulitan2 kita hanya utk mendapatkan sepucuk kertas bernama SPPT PBB berisi data NJOP dst ini, shg ia berinisiatif membantu rekan kita sebisanya scr cepat tanpa berbelit, cukup berikan NOP ke dia dan printoutnya bisa langsung didapat tanpa biaya (krn pajak yg kita bayarpun terlampau besar utk ongkos cetak tsb sekalipun).
    Orang2 PNS baik spt pak X ini yg harus kita support dan diharapkan bisa memimpin divisinya agar bisa melayani warga pembayar pajak dgn sebaik2nya tanpa menyulitkan mereka dgn proses berbelit2 yg irrasional itu hanya demi sepucuk surat bernama “SPPT PBB” atau lebih tepatnya “demi data2 NJOP dst di SPPT PBBB itu”, yg merupakan HAK mereka langsung sbg pembayar pajak.
    —–
    Jadi singkatnya, jika nanti pemda DKI ingin mengirim lagi tagihan SPPT PBB (atau setara dgn ini) ke warga pembayar pajak, bisa dilakukan lewat 3 cara atau pilihan yg diinginkan pembayar pajak:
    .
    1. Ambil langsung ke UPPD terdekat (tidak harus yg di wilayah OP/Objek Pajak ybs) atau Kelurahan/Kecamatan terdekat (sistem database PBB online akan sangat menunjang hal yg sangat baik ini) krn bisa dicetak langsung disana, tak perlu harus dikirim/dicetak dari pusat/sentralistik yg cuma buang2 waktu dan biaya jika tak sampai ke tangan yg berhak menerima (itu kan kita juga yg bayar, sayang kan duit kalian kalau disia2kan begitu saja tanpa optimalisasi sistem dan proses layanan info/bayar PBB).
    .
    2. Akses via internet/ATM scr online, lewat bank2 swasta dan pemerintah sebanyak mungkin (toh tetap masuk kas pemda DKI langsung kan? dan sebaiknya jangan dibebani biaya fasilitas ini kpd mereka/bank2 pendukung ini krn ini keinginan kami yg telah dibayar lewat pajak yg kami bayarkan), bukan cuma Bank DKI saja (kecuali berani bikin Bank DKI dan kartu ATMnya sbg alat pembayar resmi non-cash semua transaksi di organ2 pemda DKI minimal, ato lebih berani lagi: mancakup juga sbg kartu ATM/debit resmi di seluruh wilayah DKI, apa mungkin semua warga DKI nantinya bisa bertransaksi tanpa uang fisik [= tanpa resiko uang palsu dan recehan/duit gak laku lagi menurut para ‘bankir amatiran’ = lebih banyak untungnya sistem cashless money ini] di semua lokasi transaksi perdagangan? kita lihat saja nanti 🙂 ).
    Mereka bisa dapatkan data2 SPPT PBB sama/setara resmi/mirip aslinya (dan bisa dilihat/disimpan/dicetak sesukanya) dan bisa bayar sekaligus disini via internet-banking ini.
    Kalau sistem PBB online ke bank2 swasta yg dulu kita cuma bisa lihat jumlah tagihannya saja, tak ada itu data2 NJOP, jatuh tempo, dst spt yg tercantum di SPPT PBB asli/resmi – ini yg harus diperbaiki shg pembayar PBB bisa tahu kapan waktu jatuh temponya, NJOP, dst sebelum/sesudah PBB-nya dibayarkan (utk keterangan sudah bayar/belum ini cukup masukkan ke kolom/field “STATUS PEMBAYARAN” saja, jangan malah dihilangkan semua data2 SPPT PBB tsb kalo sudah dibayarkan – ini tidak benar).
    .
    Nantinya juga diharapkan bayar pajak kendaraan yg periodik itu tiap tahun bisa dibayar scr online (internet/ATM) juga spt ini modelnya (search entry cuma butuh NOPOL dan NIK/NAMA PEMILIK saja, spt seharusnya dilakukan kantor Samsat sejak dulu demi efisiensi waktu dan biaya [isi] formulir dan fotokopi). Nantinya cuma tiap lima tahun sekali anda wajib ‘setor badan+kendaraan’ ke Samsat DKI utk ambil/ganti pelat nomor baru (nomor lama tapi plat baru :D).
    .
    3. Diposkan/dikirim via surat (PT POS Indonesia) ke alamat tertentu yg diinginkan si pembayar PBB atas permintaan dia sendiri berdasarkan atas NOP dan NIK/KTP si pembayar di kantor UPPD terdekat (jadi kalau ada yg iseng ngerubah alamat kirim lagi akan ketahuan siapa dia).
    Yg ini bisa diabaikan jika dianggap merugikan scr finansial nanti, tapi menurut saya ongkosnya tetap terlampau kecil dibandingkan besar pajak PBB yg dibayarkan.

    Kalau tidak diambil/diakses, ya rugi/salah sendiri, yg penting pemda DKI sudah menyediakan fasilitas2nya yg memudahkan akses tsb yg merupakan HAK pembayar pajak, dan selama mereka tetap bayar PBB-nya tak masalah toh bagi pemda DKI?

    Efisiensi dan penghematan biaya sudah bisa tercapai hanya lewat optimalisasi proses penerimaan dan pelayanan informasi PBB spt ini.

    “Think of the future will be, not today!” – TaZ.SE3/SEEE
    .
    .
    .
    NB: Tolong disampaikan ke pak AHok ya saran/keluhan kami ini yg penting utk ddiperhatikan beliau sbg birokrat internal pemda, masbrow Sak 🙂 and Thanks!

  3. kalau kendalanye harus menunggu dpr bisa bisa lebaran jangkrik nunggunye, pokoknye kalau ada kendala dari dpr kasi tau aje biar rakyat dki yg berhadapan dengan dpr, setuju kagak abang dan none ?

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here