Ahok.Org – Ketua Dewan Pengurus Kontras Usman Hamid menganggap duet pemimpin DKI Jakarta Joko Widodo dan Basuki Tjahja Purnama telah menjadi anomali atau alternatif untuk kejenuhan masyarakat atas keseragaman pemimpin yang tak acuh di Indonesia.
“Ketika masyarakat sudah bosan dengan tipe para pemimpin di Indonesia, mereka muncul bagai anomali sosial,” kata Usman Hamid di Jakarta, Rabu (25/9).
Karakter kedua pemimpin tersebut, kata Usman, saling melengkapi. Joko Widodo atau akrab disapa Jokowi, memimpin dengan lembut namun konsisten, sedangkan Basuki atau Ahok yang selalu tegas terhadap peraturan.
Sikap dari kedua pemimpin itu juga, yang menurut Usman, telah membawa kewibawaan untuk mereka berdua dan akhirnya dapat dipercaya publik.
Menurut pengamat politik Yunarto Wijaya, dalam diskusi mengenai komunikasi politik di media sosial, sikap Jokowi yang mengandalkan pendekatan personal telah memikat hati warga ibu kota, bahkan lapisan masyarakat di berbagai daerah di Indoesia.
Oleh karena itu, menurut Yunarto, pendekatan personal merupakan cara yang paling ampuh untuk mengetahui dan diketahui oleh masyarakat, bukan iklan kampanye yang berlebihan tanpa substansi politik yang jelas.
“Blusukannya Jokowi ini adalah pendekatan personal kontak yang telah terbukti membangkitkan perhatian warga kepada dirinya,” kata dia.
Pendekatan Personal Pemimpin-Warga Sementara itu Wali Kota Bogor terpilih Bima Arya Sugiarto kepada Antara mengatakan pendekatan personal merupakan langkah yang harus dipelajari dan dimaknai oleh para pemimpin untuk mengetahui keinginan warganya.
Bima, yang juga politikus Partai Amanat Nasional, menilai iklan kampanye hanyalah bagian kecil sosialisasi politik, namun pendekatan dari hati ke hati antara pemimpin dan masyarakat harus menjadi tren yang dilakukan para figur politik untuk mengetahui kebutuhan masyarakat dan menjadi pemimpin yang menyejahterakan rakyatnya.
“Saya akan ragu, jika ada calon pemimpin yang bisa menjadi pemimpin yang baik tanpa ada ‘personal touch’,” ujarnya. [investor.co.id]
Wah….teganya sebut “anomali” sosial, mbokya mending nguri-uri budaya atau kerinduan budaya, toh yang dilakukan Jokowi-Ahok berdasarkan pada background kultur masing-masing, yang sama dalam cara pandang meski berbeda saat penyampaian.
Kaya’nya pengamat lebih demen pada basic pengetahuan yang lebih western sehingga senang pada dikotomis dibanding membuka local wisdom yang sudah ada dan mencoba memahaminya, tentunya dengan rasa dan makna.
Tiga alinea terakhir kaya’nya tuk ngleremke grenengan (hi3xx…..inggih saestu).
jabatan mung sampiran
dudu kebanggaan
ananging kapercayan
amarga kapitayan
kebodohan dan kemiskinan lebih memilih kedustaan yg dibungkus manis dengan kata halal…:D
acc bro!
utk pertanyaan : dagang apa paling laku? jawabnya bisa : menjual HARAPAN! ini dimana-mana juga laku. tapi HARAPAN yg diolah dng resep TAK MASUK AKAL/TANPA AKAL, sehingga kualitas HARAPAN nya menjadi nyundul-Langit, paling laris di jual didaerah yang SMART nya tidak hadir, yg akhlak n kebenarannya berwarna-warni.
Di daerah yg jualan HARAPAN TAK MASUK AKAL nya laris manis, didapati warganya pada sakit “mulia-menurut-maunya sendiri2”, orang didaerah itu berjalan dng cara tidak menginjak tanah, melainkan menapaki “asap” yg hanya ada di angan-2 nya sendiri-2. disitu rutin terjadi, pertarungan, pertawuran, kontes saling-meniadakan, diantara makhluk “termulia” ciptaan Sang Pencipta, yg hanya ada Satu! disitu, semangat penghuninya yg paling menonjol adalah “meninggikan” Aku dan “merendahkan” kau.
Walau faktanya kita sudah sekian puluh tahun di”didik” ke arah itu;
Apa kita termasuk yang seperti itu??
if jawabnya : ya,….(saya tak punya ide)
if : tidak, ayo kita bersatukan “barisan”, atur “langkah”, menuju … kan ada contoh!! dan nurani kita masing-2 tidak pernah absen mendampingi kita !!
salam.
“Joko Widodo atau akrab disapa Jokowi, memimpin dengan lembut namun konsisten, sedangkan Basuki atau Ahok yang selalu tegas terhadap peraturan.”
Nah ini kalimat yang sangat tepat, bukan pemarah, bukan diktator, bukan firaun, tau gak bedanya para munafikun?