Ahok dan Refleksi Kemerdekaan

0
103

Ahok.Org – Salah satu pergulatan politik kemanusiaan pasca kemerdekaan selalu berkaitan dengan penataan hidup bagi dan oleh setiap anak bangsa dalam merefleksi kemerdekaan. Setidaknya, warisan pergulatan mengenai Piagam Jakarta menjadi fakta empiris argumentasinya. Salah satu sebabnya, bahwa kemerdekaan dipahami sebagai spirit dan jaminan bagi seseorang atau kelompok untuk bertindak bebas atas nama keyakinannya dalam memaknai kebebasan itu sendiri.

Maka salah satu tugas mendesak yang dimaknai sebagai perintah kemerdekaan yaitu pentingnya mengaktualisasi diri sebagai mahluk religius yang digerakkan kekuatan akal budi sebagai pribadi rasional demi perwujudan esensi kemanusiaan dalam konteks sosialnya yang dibingkai tradisi maupun budaya sebagai perspektif politik maupun ideologi. Kesadaran sejarah peradaban yang bersifat universal demikian sangat kental dan selalu menjadi tanda pemaknaan kemerdekaan sebagaimana misalnya, diwariskan revolusi Prancis sebagai buah Aufklarung dan menjadi inspirasi peradaban sampai masa kini.

Imperatif kesadaran demikian telah mendorong Karl Popper untuk memprovokasi pikiran sektarian dogmatis melalui tesisnya tentang kesadaran sejarah manusia. Baginya, kesadaran sejarah adalah pergulatan dialektis setiap saat antara tindakan manusia oleh dorongan kematangan berpikir (rasionalis) sehingga mampu bertindak guna mewujudkan panggilan kemanusiaan.

Maka salah satu variabel utamanya harus didasarkan pada jiwa merdeka sebagai pribadi rasional dan mempunyai potensi diri sebagai ciptaan Tuhan. Itulah esensi religisoitas. Dan itu berarti, agama, norma atau etika menjadi variabel pendukung atas gagasan religiositas menjadi manusia merdeka sebagaimana direfleksikan oleh Ahok ketika pernah mengabdikan dirinya sebagai anggota DPRD dan pernah sebagai pemimpin yang melayani rakyat Bangka Belitung maupun sebagai calon Wakil Gubernur DKI Jakarta.

Ahok: Pribadi Merdeka

Ahok alias Ir. Basuki Tjahaya Purnama yang berpasangan dengan Jokowi sebagai calon Gubernur DKI Jakarta, adalah representasi multi identitas. Dalam konteks pentingnya perubahan sebagai bagian makna kemerdekaan, Ahok telah berhasil dalam memimpin dan melayani rakyat Kabupaten Bangka Belitung. Tetapi dalam konteks sebagai calon Wakil Gubernur DKI Jakarta yang ditandai dengan segala perspektifnya, maka setidaknya ada dua catatan yang muncul sebagai akibat dari cara berada Ahok:

Pertama: dalam terminologi politik berbingkai dogmatis eksklusifisme, Ahok diberi stigma minoritas ganda: Kristen dan Tionghoa. Dalam pergulatan sejarah kebangsaan Indonesia merdeka, identitas minoritas ganda selalu dipersonifikasi sebagai “sesuatu yang lain; suatu tangan yang terlihat jelas” dan dianggap berpotensi merongrong. Sehingga dalam konteks tertentu, realitas hidup kaum minoritas dapat dilihat sebagai pihak “terjajah oleh bangsanya sendiri”.

Suatu relasi sosial yang menggambarkan cara hidup tidak “merdeka” dan selalu menjadi alat politik yang mungkin lahir sebagai akibat terlalu lama dijajah serta suatu cara memaknai politik dalam realitas bangsa yang baru merdeka dan disuburkan oleh keyakinan bahwa Orde Baru menganaktirikan kaum tertentu.

Akibatnya relasi sosial politik bangsa ini selalu didasarkan pada kepentingan mayoritas dan minoritas. Jika diberi peluang kepada kaum minoritas, maka determinisme Nietzche akan terwujud dalam bentuk, tertindasnya umat lain; itulah ketakutan kulturalnya. Maka salah satu alat politik yang paling ampuh untuk menangkalnya adalah agama yang dibumbui dengan doktrin sektarianisme. Jika demikian halnya, apakah Ahok tidak sadar akan warisan sejarah demikian sehingga mencalonkan diri sebagai wakil Gubernur DKI?

Kedua: dalam bingkai kesadaran religiositas, maka Ahok berada dalam identitas manusia merdeka. Dia adalah pribadi yang menjungkirbalikkan standar hidup pada atmosfir tirani mayoritas. Imperatif religiositas tersebut telah menempatkan Ahok untuk melihat Jakarta dari sudut pandang merdeka demi menata kebebasan umat sebagai tahapan dalam pencapaian nilai kemanusiaan universal yang melampaui doktrin eksklusifisme. Implikasi etis kesadaran tersebut akan mendorong setiap orang secara otonom untuk mentransformasi setiap tindakan demi perubahan sebagai elemen pendukung pencapaian cita-cita kehidupan.

Dengan demikian, Ahok telah berada dalam “Identifikasi Imajiner sebagaimana digagas Lacan sehingga mampu memerdekakan dirinya dari pergulatan warisan sejarah politik dengan bingkai mayoritas minoritas. Sikap merdeka ala Ahok demikian dapat dilihat sebagai suatu refleksi kemerdekaan atas pidato Presiden Soekarno pada sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), di Jakarta, 1 Juni 1945 bahwa “Di dalam Indonesia merdeka itulah, kita memerdekakan rakyat kita. Di dalam Indonesia merdeka itulah, kita memerdekakan hatinya bangsa kita.”

Negara dan Legitimasi Bertindak Merdeka

Implikasi imperatif makna kemerdekaan Indonesia, akan menempatkan peran penting dari negara. Proposisi John Locke, yang mendobrak kekuasaan negara yang tiran sebagaimana direkomendasi Thomas Hobbes, maka negara harus didesak untuk melaksanakan tugas konstitusionalnya dalam menjamin kemerdekaan yang maksimal dari setiap warga negara.

Maka salah satu tugas penting yang harus dikerjakan post kemerdekaan yaitu kemauan etis atas spirit religiositas setiap anak bangsa untuk merealisasikan kemerdekaan dalam bentuk dibebaskannya setiap pribadi dari kungkungan sikap politik primordialisme atas jaminan konstitusi Pancasila dan UUD 1945.

Negara mempunyai tugas konstitusi untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dengan berdasarkan persatuan untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat. Implikasi praktis cita-cita konstitusi demikian, menempatkan negara pada tugas dan daulat penyelenggaraan sosial bukan atas kehendak perseorangan atau golongan. Negara tidak boleh membiarkan satu golongan melakukan tindak kekerasan atas nama klaim mayoritas maupun paham keagamaan. Itulah makna ke-Indonesia-an sebagai buah dari konsensus final kebangsaan yang menjamin kemajemukan keragaman.

Dengan demikian, negara adalah legitimasi demi berkembangnya sikap, tindakan setiap warga negara dengan memuliakan daya rasionalitas dan deliberatif dalam pluralitas kemajemukan penduduk. Negara menjadi media fundamental untuk mendorong dan menjadi varibel penentu dalam penghayatan ke-Indonesia-an demi pencapaian nilai kemanusiaan sebagaimana dicita-citakan Pancasila dan UUD 1945.

Eskatologi Kemerdekaan

Sebagai sesuatu yang tidak pernah final maka pemaknaan terhadap kemerdekaan tidak berhenti pada kebebasan subjektif; keinginan kelompok tertentu. Itulah sebabnya kemerdekaan selalu mendorong setiap orang untuk menyegarkan darah perjuangan dan menggelorakan semangat kepahlawanan dengan membaca dan menghayati sejarah hidup manusia dalam pergulatan kemerdekaan sebagaimana diperjuangkan oleh para pejuang kita.

Dengan demikian keteguhan hati Ahok dalam konteks Pilkada Jakarta, adalah sebuah refleksi kemerdekaan dan menjadi perwujudan esensi demokrasi atas jaminan Pancasila dan UUD 1945. Dan itu berarti, Ahok telah menang menaklukkan jiwa eksklusifisme yang dapat menggerus makna kemanusiaan atas nama agama maupun persoalan politik etnis warisan politik bangsa.

Atau setidaknya, Ahok telah menitipkan mimpi yang diwarisinya sebagai pemaknaan atas keyakinan Martin Luther King Jr bahwa kelak masyarakat Jakarta akan merefleksikan kemerdekaannya dalam bentuk relasi sosial politiknya dan memilih pemimpinnya berdasarkan konfigurasi keyakinan akal budi atas spirit religiositas setiap penduduk demi perwujudan manusia universal. Sehingga kesadaran kultural demikian akan mentransformasi masyarakat Jakarta (Indonesia) dengan memaksimalkan segala implikasi positifnya. Itulah jiwa merdeka eskatologis yang diwariskan oleh Ahok dalam mengisi kemerdekaan Indonesia. Merdeka!!![analisadaily.com]

Oleh: Estomihi Hutagalung

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here