RDP Komisi II DPR RI dengan KPU dan Bawaslu

0
121

Ahok.Org (15/02) – Komisi II DPR RI melakukan Rapat Dengar Pendapat dengan Komisi Pemilihan Umum (KPU)  dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) hari Senin, 14 Februari 2011

Terdapat  3 (tiga) agenda rapat, yaitu: (1) Evaluasi terhadap kinerja Kemengterian/Lembaga Tahun 2010, (2) Evaluasi  pelaksanaan APBN Tahun Anggaran 2010  dan rencana pelaksanaan APBN tahun 2011, dan (3) Tindaklanjut ikhtisar hasil pemeriksaan Semester I BPK RI Tahun Anggaran 2010 (khusus KPU) dan masalah aktual lainnya. Rapat dipimpin oleh Wakil Ketua Komisi II DPR RI Ganjar Pranowo dari Fraksi PDIP.

Ketua KPU Prof. Dr. H.A. Hafiz Anshari AZ, MA menjelaskan bahwa Pemilukada tahun 2010 tercatat ada 244 daerah dijadwalkan menyelenggarakan Pemilukada, yaitu 7 (tujuh) Pemilukada Gubernur dan Wakil Gubernur, 35 Pemilu Walikota dan Wakil Walikota, dan 202 Pemilu Bupati dan Wakil Bupati. Dari 244 daerah tersebut, 222 diantaranya telah melaksanakan pemungutan suara, sedangkan 22 daerah lainnya belum melaksanakan pemungutan suara. Di samping itu dari 244 daerah yang telah melakukan pemilukada itu, 164 daerah mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi dan 26 gugatan yang dikabulkan. Dari 164 daerah tersebut jumlah pemohon sebanyak 229 dengan rincian: 148 pemohon ditolak seluruhnya, 38 permohonan tidak dapat diterima, 7 permohonan gugur, 4 permohonan ditarik kembali, 12 permohonan putusan sela, 14 permohonan dikabulkan sebagian/seluruhnya, dan 6 permohonan masih dalam proses.

Ketua KPU juga menjelaskan bahwa untuk tingkat provinsi terdapat 30 pasangan dicalonkan parpol. Untuk tingkat Kabupaten/Kota terdapat 636 pasangan calon yang diusung parpol dan 169 pasangan calon perseorangan. Ada 3 daerah yang dimenangkan oleh pasangan calon perseorangan, yaitu: Kabupaten Rejang Lebong (Bengkulu), Kabupaten Lampung Timur (Lampung), dan Kabupaten Bone Bolango (Gorontalo).

Katua Bawaslu Bambang Eka Cahya Widodo menjelaskan bahwa persoalan mendasar dalam pemilukada adalah problem regulasi, mulai dari pengaturan dalam UU yang belum memadai yakni terdapat sejumlah kekosongan hokum dan sejumlah aturan yang multi tafsir, belum sinkronnya beberapa aturan dalam UU, juga antar peraturan pelaksanaan yakni Peraturan Pemerintah dan Peraturan KPU sehingga terjadi tumpang tindih aturan.

Di samping itu Ketua Bawaslu juga menjelaskan mengenai permasalahan anggaran Bawaslu Tahun 2011, dimana dari jumlah anggaran sebesar RP 116.223.111.000,- yang telah disetujui oleh Komisi II DPR RI untuk Tahun Anggaran 2011 ternyata hanya dialokasikan Rp 50.000.000.000,- serta setelah penelaahan oleh Ditjen Anggaran Kementerian Keuangan disetujui sebesar Rp 49.494.551.000,- Pimpinan dan Anggota Komisi II DPR RI kaget ketika mendengar penjelasan tersebut Untuk itu Komisi II DPR RI akan melakukan koordinasi dengan Badan Anggaran DPR RI untuk mengkomunikasikan masalah ini dengan Kementerian keuangan. Untuk itu, Komisi II DPR RI meminta kepada Bawaslu untuk segera menyampaikan penjelasan berupa kronologis serta seluruh dokumen yang berkaitan dengan alokasi anggaran Bawaslu Tahun 2011, sesuai penetapan pada Bagian Anggaran 999.08 oleh Kementerian Keuangan.

Anggota Komisi II DPR RI juga mempertanyakan data mengenai nama-nama dari ke 22 daerah yang belum melaksanakan pemungutan suara tersebut. Masalah lainnya yang turut disoroti adalah masalah  tes kesehatan pasangan calon, masalah politik uang, keterlibatan PNS,  dan lainnya. Terkait dengan masalah pemotongan anggaran terhadap Bawaslu dan Ombudsman RI, Komisi II DPR RI menurut rencana akan memanggil Menteri Keuangan untuk menjelaskan masalah ini.

Komisi II DPR RI juga mempertanyakan putusan-putusan MK terkait masalah sengketa pemilukada yang banyak menimbulkan masalah, seperti yang terjadi di Kabupaten Kotawaringin  Barat yang sampai saat ini Bupati/Wakil Bupati terpilih menurut putusan MK belum bisa dilantik karena terkait masalah hukum yang rumit.

Terkait evaluasi kinerja KPU dan Bawaslu pada Tahun 2010, Komisi II DPR RI mengapresiasi dalam penyelenggaraan Pemilukada sepenjang Tahun 2010, namun demikian KPU dan Bawaslu perlu lebih optimal dan lebih cermat dalam melaksanakan tugas, wewenang dan kewajiban dalam penyelenggaraan Pemilukada. Oleh karena itu, Komisi II DPR RI meminta kepada KPU dan Bawaslu untuk menyiapkan langkah antisipasi dan penyelesaian seluruh persoalan Pemilukada melalui pembuatan regulasi teknis tata cara penyelenggaraan Pemilukada secara tegas dan tidak multi tafsir sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Komisi II DPR RI juga mendesak KPU untuk mengumumkan data-data dan informasi Pemilu/PemilukadaNasional secara terbuka termasuk kemudahan akses secara online untuk menciptakan transparansi proses Pemilu/Pemilukada. KPU juga diminta untuk memperbaiki sistem pemutakhiran data pemilih tetap.

KPU menjanjikan untuk menyerahkan DPT Pemilu Tahun 2009 pada tanggal 28 Februari 2011. Selain itu Komisi II DPR RI juga mendesak KPU untuk segera menindaklanjuti dan menyelesaikan permasalahan-permasalahan yang menjadi temuan BPK sebagiamana Hasil Pemeriksaan Semester I BPK RI Tahun Anggaran 2010 terhadap KPU. Komisi II DPR RI juga mendesak KPU agar benar-benar focus dalam peningkatan kualitas SDM, terutama kompetensi dalam pengadministrasian keuangan dan dokumen, baik di tingkat pusat maupun daerah, sehingga hasil hasil pemeriksaan BPK pada tahun-tahun anggaran berikutnya KPU tidak lagi mendapatkan opini disclaimer, akan tetapi minimal adalah WDP (Wajar Dengan Pengecualian).

Anggota Komisi II DPR RI dari Fraksi Partai Golkar dari Daerah Pemilihan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung Ir. Basuki Tjahaja Purnama, MM atau yang sering dikenal dengan BTP/Ahok mengatakan bahwa KPU dan Bawaslu selama setahun bekerja ini tidak ada terobosan-terobosan baru yang signifikan terkait dengan perbaikan kualitas pemilu dan pemilukada di Indonesia. Bahkan disinyalir  KPU dan Bawaslu juga ikut main dalam urusan pemilu/pemilukada tersebut. Apalagi  pemerintah dan Partai Demokrat  berkeinginan agar pemilihan kepala daerah terutama Gubernur – Wakil Gubernur (dan mungkin Bupati/Walikota) kembali dipilih DPRD dengan alasan efisiensi/penghematan biaya. Menurut BTP, ini bukanlah solusi yang substantif, karena justru anggota DPRD-nya yang akan kaya karena disogok oleh para calon. Pemerintah,  KPU dan Bawaslu perlu melakukan terobosan-terobosan baru melalui regulasi/peraturan yang dapat mencegah masuknya para koruptor dalam sistem pemerintahan terutama birokrasi.

Dengan demikian anak-anak idealis atau para aktivis LSM yang berkompeten dapat bersaing diantara mereka untuk memimpin daerahnya daripada harus bersaing dengan para koruptor yang tentu banyak duitnya. Anak-anak idealis tersebut pasti kalah bila diadu dengan para koruptor tersebut.

Terkait dengan masalah Daftar Pemilih Tetap (DPT), BTP membandingkan dengan sistem pemilu di Melbourne Australia yang sebenarnya mirip dengan sistem pemilu di Indonesia. Hanya bedanya. di Melbourne, apabila ada  nama pemilih yang tidak tercantum dalam DPT, ingin memilih namun tidak membawa kartu pemilih, tetap dapat memilih dengan terlebih dahulu harus mengisi formulir (nama, alamat, nomor telepon, dan data lainnya yang diperlukan), kemudian yang bersangkutan akan diberi amplop untuk menggunakan hak pilihnya. Suaranya tidak akan dihitung di TPS tersebut. Kertas suara/amplopnya akan dikirim ke KPU untuk diverfikasi, sekaligus pembaruan data yang diawasi Bawaslu dan para saksi dari partai politik. Kemudian diputuskan, apakah suara si pemilih tersebut berhak dihitung atau tidak karena bisa saja dia berbohong. Apabila terbukti berbohong, akan dipidana 6 tahun penjara.

Di Indonesia, apabila sistemnya masih  seperti sekarang ini dimana KPU memasang iklan dengan biaya yang begitu mahal hanya untuk mengajak masyarakat menggunakan hak pilihnya atau pemilih sudah membuang waktu, tenaga (cape-cape) dan bahkan biaya untuk datang ke TPS, namun karena namanya tidak tercantum dalam DPT kemudian tidak diperbolehkan memilih, menurut BTP tindakan tersebut merupakan pelanggaran hak asasi manusia, karena menghilangkan hak pilih seseorang. Apalagi oknum KPU dan Bawaslu ikut terlibat/bermain di dalamnya.

Pengalaman ini dialami oleh BTP ketika menjadi peserta pilkada Calon Gubernur Provinsi Bangka Belitung beberapa waktu lalu, dimana daftar DPT-nya kosong sama sekali. Setiap orang/calon pemilih yang datang, baru ditulis namanya (semua tulisan tangan). Dengan cara seperti itu sama saja KPU dan Bawaslu memberi peluang kepada para koruptor atau calon-calon bermasalah untuk memenangkan pemilihan tersebut.

Pengalaman lain Beliau adalah pada pemilihan legislatif tahun 2009 dimana 1 (satu) kecamatan di Kabupaten Belitung penghitungan dimulai dari jam 2 .00 – jam 5.00 sore wib. Di kecamatan tersebut suara BTP sudah 8000, namun begitu direkap suaranya tinggal 6000 untuk seluruh kabupaten.

Selanjutnya hasil rekap suara untuk seluruh Provinsi Bangka (5 Kabupaten) jumlah suaranya sudah mencapai 17000, lawannya baru 3000 suara, begitu selesai direkap,  suara BTP 17000 lawannya sudah 35000 suara. BTP juga mempertanyakan, kenapa Bawaslu tidak mau mengambil foto atau mendokumentasikan pelanggaran-pelanggaran tersebut?

BTP juga menceritakan pengalamannya pada saat pemilukada di Kabupaten Belitung Timur yang kemudian dimenangkan oleh Pasangan Basuri Tjahaja Purnama – Zarkani (pilkada 3 Juli 2010). BTP menyiapkan peralatan digital/kamera untuk merekam semua hasil/data pemilukada tersebut. Ada oknum yang mau mencoba bermain, dengan tidak mau menuliskan lokasi TPS-nya. BTP mengatakan saya di Komisi II DPR RI dan akan membawa pulang hasil pilkada ini, akhirnya data-data (suara) tersebut tidak diubah sehingga Pasangan Pak Basuri – Zarkani dapat meraih total suara 42,67%. Menurut Pak BTP sebenarnya hal ini mudah untuk dilakukan. Tujuannya untuk mencegah para maling/koruptor jadi pejabat.

Ada satu solusi penting yang ditawarkan BTP kepada para pemangku kepentingan terkait dengan masalah pemilu/pemilukada agar selain menghemat biaya, juga dapat mencegah persaingan tidak sehat di antara para kandidat/calon, yaitu ada peraturan dimana KPU yang mensponsori atau menyiapkan sarana dan prasarana kampanye seperti pemasangan  baliho dan lain-lainnya. Termasuk tempatn pemasangannya ditentukan juga oleh KPU/KPU Daerah. Apabila calon tertentu ingin memasang sendiri, boleh saja, tapi syaratnya, Anda harus masukan juga foto lawan Anda. Terobosan-terobosan seperti inilah yang seharusnya dilakukan oleh KPU dan Bawaslu. ”Jangan hanya menghabiskan uang  triliunan rupiah tanpa hasil apa-apa. Kita ingin demokrasi ini ada hasilnya”, tegasnya.

BTP selalu menegaskan agar UU No. 7 Tahun 2006 yang meratifikasi Konvensi PBB mengenai Anti Korupsi dimana mengatur mengenai Illicit enrichment (harta kekayaan yang tidak wajar) diterapkan dengan sungguh-sungguh agar dapat mencegah para koruptor yang ingin mencalonkan diri sebagai kepala daerah. BTP menegaskan bahwa pula bahwa seharusnya semua calon kepala daerah melakukan pembuktian terbalik terhadap harta kekayaannya. ”KPK jangan hanya mencap atau hanya menstempel saja sebagai syarat, tetapi harus mengecek kebenarannya juga”, demikian BTP.

BTP berpendapat juga bahwa kita dapat melakukan rekonsiliasi dengan para koruptor dengan mengatakan kepada mereka bahwa: “Silahkan menikmati harta kekayaan hasil korupsi Anda. Namun Anda jangan ikut mencalonkan diri untuk bersaing dengan anak-anak idealis yang tidak memiliki banyak uang, namun memiliki idealisme, jujur, bersih, transparan dan profesional (BTP)”.Setuju? (Kamillus Elu, SH).


LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here