Ahok.Org (06/03) – Bahwa daerah-daerah yang bersifat khusus dan istimewa diatur dalam ketentuan Pasal 18B ayat (1) UUD 1945 yang mengatakan bahwa:
”Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang”.
Menurut Forum Konstitusi, kata ”diatur dengan undang-undang” menunjukkan kepada kita bahwa setiap satuan pemerintahan daerah yang bersifat istimewa itu dibentuk dengan satu undang-undang masing-masing yang berisi ketentuan yang bersifat khusus atau ketentuan yang bersifat istimewa. Tentu saja tidak melupakan penjelasan dalam Pasal 18 UUD 1945 sebelum perubahan yang antara lain menjelaskan bahwa:
”Negara Republik Indonesia menghormati kedudukan daerah-daerah istimewa tersebut dan segala peraturan Negara yang mengenai daerah-daerah itu akan mengingati hak-hak asal-usul daerah tersebut”.
Menurut Forum Konstitusi (3/3/2011), sesuai dengan kesepakatan di MPR RI antara lain mengangkat Penjelasan UUD 1945 yang bersifat normatif ke dalam pasal-pasal (batang tubuh) UUD 1945 hasil perubahan itu. Pasal 18B ayat (1) dan ayat (2) merupakan salah satu contoh dari pemindahan Penjelasan UUD 1945 dimaksud ke batang tubuh UUD 1945 hasil perubahan itu. Oleh karena itu pula dapat dimengerti apabila setelah perubahan UUD 1945 khusus Pasal 18B ayat (1) tersebut maka ketika penggantian UU No. 22 Tahun 1999 dengan UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Status Daerah Istimewa Yogyakarta tetap saja meneruskan ketentuan dalam UU No. 5 Tahun 1974 dan UU No. 22 Tahun 1999 sebagaimana yang telah dikutip di atas. Dalam ketentuan Pasal 226 ayat (2) UU No. 32 Tahun 2004 disebutkan:
”Keistimewaan dalam Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 adalah tetap dengan ketentuan bahwa penyelenggaraan pemerintahan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta didasarkan pada Undang-Undang ini”.
Dengan demikian UU Nomor 32 Tahun 2004 ini sekali lagi menegaskan bahwa hanya sebatas mengenai penyelenggaraan pemerintahan saja berlaku UU ini bagi Provinsi DIY. Selain dari penyelenggaraan pemerintahan di daerah itu, UU No. 32 Tahun 2004 tidak mengaturnya. Masa jabatan, tata cara pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, dan lain-lain yang bersifat istimewa dari Yogyakarta tidak diatur dalam UU No. 32 Tahun 2004 ini. Sama dengan bunyi Pasal 122 UU No. 22 Tahun 1999 dan sama dengan jiwa yang dirumuskan oleh Pasal 91 huruf b UU No. 5 Tahun 1974.
”Oleh karena itu pula, pembuatan UU yang mengatur Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta tidak mungkin mengabaikan hal-hal dimaksud di atas yang dirumuskan dasar hukumnya dalam Pasal 18B ayat (1) UUD 1945 tersebut. Dengan demikian pasal-pasal yang telah dirumuskan baik yang memberi kekhususan dan keistimewaan pada suatu daerah provinsi adalah demokratis pula, karena diputus dalam rapat paripurna MPR RI oleh wakil-wakil rakyat (anggota DPR) dan wakil-wakil daerah (anggota DPD) yang telah dipilih dalam pemilihan umum”, pungkas Forum Konstitusi.
Memahami dan memaknai DIY dalam Konteks NKRI, OTDA dan Demokrasi
Peneliti Utama LIPI, R. Siti Zuhro, PhD ketika menjadi narasumber ;pada RDP Komisi II DPR RI 3 Maret 2011 mengatakan bahwa perlu memahami DIY dalam teks dan konteks yang utuh, baik dari perpektif Konstitusi, UU No. 3 Tahun 1950, sejarah maupun empirik kekinian. Pertanyaannya adalah: apa makna DIY bagi Indonesia, dan sebaliknya apa makna Indonesia bagi DIY? Apa yang tetap dan apa yang berubah (contnuity & change)dalam konteks politik/deokrasi dan desengtralisasi serta otonomi daerah dan bagaimanan dampaknya terhadap DIY? Jawabannya adalah:
Pertama, perlu mempertimbangkan amanat Konstitusi Pasal 18B (1), Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan Undang-Undang; Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat dan Kadipaten Pakualaman telah mempunyai wilayah, pemerintahan, dan penduduk sebelum lahirnya. Negara Kesatuan Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 berperan dan memberikan sumbangsih yang besar dalam mempertahankan, mengisi, dan menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1950 tentang Pembentukan Daerah Istimewa Yogyakarta sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1955 belum mengatur secara lengkap mengenai keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. dalam Piagam Penetapan yang diberikan Presiden Soekarno pada tanggal 19 Agustus 1945, dengan tegas menetapkan Ingkang Sinuwun Kangjeng Sultan Hamengku Buwono Senopati Ing Ngalaga Abdurachman Sayidin Panatagama Kalifatullah Ingkang Kaping IX dan Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Paku Alam Ingkang Kaping VIII pada kedudukannya. Dalam Piagam Penetapan yang diberikan Presiden Soekarno pada tanggal 19 Agustus 1945, dengan tegas menetapkan Ingkang Sinuwun Kangjeng Sultan Hamengku Buwono Senopati Ing Ngalaga Abdurachman Sayidin Panatagama Kalifatullah Ingkang Kaping IX dan Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Paku Alam Ingkang Kaping VIII pada kedudukannya. bergabungnya Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat dan Kadipaten Pakualaman ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia, berdasarkan amanat Hamengku Buwono IX dan Paku Alam VIII tanggal 5 September 1945 dan 30 Oktober 1945, merupakan bukti dan menjadi fakta sejarah yang menunjukkan kuatnya komitmen rakyat dan pimpinan di Yogyakarta dalam berjuang menegakkan dan mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Kedua, keistimewaan Yogyakarta adalah sesuatu yang given dalam konteks keindonesiaan. Perlu memaknai Yogyakarta secara utuh, tidak semestinya dipahami hanya dalam konteks warisan budaya saja, tapi juga substansi tentang simbol-simbol kehidupan termasuk tata krama, bahasa, kepemimpinan, mata pencaharian dan lain-lain.
Ketiga, memosikan dan memerankan DIY dalam konteks kekinian, yaitu era otda dan demokrasi. Dalam kaitan ini, rumusan yang diajukan Pemerintah tampak kurang konsisten, setengah hati dan membingungkan, bukan hanya bagi publik di Yogyakarta tapi pembaca naskah RUU K DIY. Bila Sri Sultan Hamengkubuwono X dan Sri Pakualam IX sungguh-sungguh dimaknai sebagai simbol budaya dalam arti antropologis (tata krama, bahasa, kepemimpinan, mata pencaharian dan lain-lain) tidak semestinya muncul terminologi gubernur utama dan wakil gubernur utama. Terminologi ini menimbulkan kerancuan dan juga resistensi daerah.. Kerancuan tersebut berimplikasi negatif terhadap upaya menempatkan dan memerankan Sri Sultan dan Sri Pakualam sesuai dengan koridor Konstitusi dan sejarah serta Indonesia kontemporer.
Siti Zuhro menilai bahwa pemerintah tampak tidak konsisten dan justru menciptakan supremasi lambang yang mereduksi demokrasi karena pembuatan Perdais harus mendapat persetujuan Gubernur Utama. RUU DIY perlu dirumuskan secara konsisten, demokratis, tidak membingungkan dan aplikatif. Jangan sampai ada standar ganda dalam perumusan RUU DIY. Untuk itu, harus ada peraturan yang jelas dan tegas yang disebutkan secara eksplisit bahwa RUU DIY memberikan kewenangan dan urusan sesuai dengan Konstitusi dan NKRI serta pendanaan dari negara. Perlu pemisahan kewenangan dan urusan DIY yang dikelola oleh Sri Sultan dan Sri Pakualam sebagai pemegangan otoritas budaya dan sejarah DIY. Dengan posisi ini, Sri Sultan tidak perlu mengikuti pemilihan gubernur. Jabatan politik diberikan kepada para calon lain atau warga negara yang mencalonkan. Membolehkan Sri Sultan mengikuti pemilihan, berkontestasi dengan calon lain dan menduduki jabatan politik hanya akan mengebawahkan posisi dan perannya sebagai sultan. Perlu pemisahan antara istilah kepala negara dan kepala pemerintahan atau dalam konteks lokal di Indonesia, bisa disebut kepala daerah dan kepala pemerintahan. Dengan pemilahan ini akan lebih jelas siapa melakukan apa dan siapa bertanggungjawab apa. Rumusan RUU K DIY saat ini sangat rancu dan tidak cukup tegas memisahkan kewenangan tersebut, sehingga terkesan seolah-olah Sri Sultan perlu merangkap jabatan (sebagai kepala daerah dan kepala pemerintahan).
“Dalam sistem pemerintahan presidensiil, Presiden memiliki kewenangan dan otoritas penuh menata daerah dan mengelolanya serta bertanggunjawab atas kemajuan dan kegagalan yang dialami daerah. Oleh karena itu, dalam konteks menata daerah-daerah, perlu mengakomodasi suara mereka dan menyesuaikan dengan perkembangan kekinian Indonesia, meskipun ini bukan berarti mereduksi kekhasan/karakteristik atau pluralitas lokal yang dimiliki daerah”, demikian Siti Zuhro. (Kamillus Elu, SH).
Bahan Presentasi Forum Konstitusi selengkapnya dapat dilihat di sini
Bahan Presentasi Dr. R. Siti Zuhro, PhD selengkapnya dapat lihat di sini.