Diskusi Bulanan ”Sinar Harapan” Kaum Minoritas Berpeluang Menangkan Pilkada

0
97

Jakarta – Meski kerap dikatakan sebagai minoritas di tanah air, etnis Tionghoa tetap memiliki peluang untuk dapat terpilih menjadi pemimpin dalam pelaksanaan pemilihan kepala daerah (pilkada) di Indonesia. Demikian rangkuman diskusi bulanan Sinar Harapan yang menghadirkan narasumber mantan Bupati Belitung Timur, Basuki Tjahaya Purnama, Selasa (1/7), di kantor harian ini.

”Secara matematis, memang peluang etnis Tionghoa dalam pemilihan kepala daerah di Indonesia tergolong sangat kecil, bahkan bisa dikatakan peluang itu nol persen,” ujar Basuki.

Hal ini terjadi karena masih banyaknya kendala non-teknis yang harus dihadapi oleh seorang calon yang berasal dari etnis Tionghoa salah satunya adalah faktor agama dan kesukuan. Karena ada beberapa kelompok masyarakat di tanah air yang belum dapat menerima kemajemukan secara terbuka.

Dirinya pernah merasakan sulitnya untuk memenuhi prosedur administratif dalam pilkada. ”Ada banyak prosedural administrasi yang agak mengganggu,” tuturnya. Termasuk di sini adalah kecurangan seperti menghilangkan hak memilih bagi kelompok yang akan mendukungnya.

Selain tantangan dari kelompok masyarakat, ternyata tantangan serupa juga datang dari etnis Tionghoa sendiri. ”Ketika saya mencalonkan diri, saya sering mendapat kiriman SMS yang isinya ajakan dari kelompok Tionghoa tertentu kepada seluruh masyarakat Tionghoa di Belitung Timur agar jangan memilih saya. Ada pun alasan mereka jika saya menang nanti, ada ketakutan terjadi kerusuhan walau ternyata setelah saya menang hal itu tidak terbukti,” kata pria yang akrab disapa A Hok ini.

Meski banyak tantangan, dia menyatakan bahwa bukan berarti peluang etnis Tionghoa dalam pilkada tertutup sama sekali. Sebagai contoh, dirinya dan beberapa tokoh etnis Tionghoa Kalimantan bisa memenangkan pilkada. Dirinya bahkan bisa memenangkan pilkada di daerah mayoritas muslim.

”Hanya saja memang ada beberapa syarat yang harus dipenuhi calon dari etnis Tionghoa untuk memenangkan pilkada itu. Salah satunya adalah mereka dapat membuktikan bahwa mereka termasuk pemimpin yang bersih, transparan, dan profesional tanpa mengusung ketionghoaan mereka. Selain itu, calon itu juga harus berani beradu konsep pembangunan dengan calon lain, sehingga masyarakat bisa menilainya sendiri,” ujar Basuki.

Masih Primordial
Ungkapan Basuki itu dibenarkan oleh Direktur Eksekutif Lembaga Survey Nasional (LSN) Umar S Bakry.

Menurutnya, memang ada sejumlah kendala primordialisme di tanah air yang belum dapat diselesaikan, tapi dirinya tetap optimistis bahwa masalah ini akan berakhir.
”Etnis Tionghoa harus bisa mencontoh Obama di Amerika. Meski dia seorang kulit hitam, dia bisa mendapat dukungan dari warga Amerika yang selama ini menganut prinsip white anglo saxon protestant untuk pemimpinnya. Dan di Indonesia, ini sudah dibuktikan melalui A Hok dan Kornelius di Kalbar,” papar Umar.

Lagipula, lanjut Umar, ke depan ikatan-ikatan primordial seperti ini juga akan tergerus zaman karena memang publik semakin kritis terhadap masalah ini.

Andreas Harsono, jurnalis dari Sindikasi Pantau dan pengamat masalah Tionghoa di Indonesia, menyatakan bahwa diakui atau tidak ikatan-ikatan primordial sulit dihilangkan karena masih sangat kental. Dan yang berbahaya, prinsip ini kemudian bisa menjadi konflik horizontal.

Dia mencontohkan ada ratusan bahkan ribuan orang mati secara sia-sia akibat konflik horizontal semacam ini di Indonesia. ”Kalau hal ini tetap dipertahankan, mau dikemanakan bangsa ini. Inilah persoalan yang menjadi tantangan bersama untuk bisa diselesaikan,” katanya.

Perlu Perbaikan
Roch Basoeki, salah seorang tokoh pendiri Barisan Nasional (Barnas), menyatakan memang perlu ada perbaikan sistem hukum maupun aturan-aturan lain di tanah air agar tidak lagi mendiskriminasi warganya, sehingga masalah mayoritas-minoritas di tanah air ini sebenarnya tidak berlaku lagi.

”Masalah mayoritas-minoritas sebenarnya bisa dianggap tidak ada lagi karena di beberapa pilkada toh ada yang bisa dimenangkan kaum minoritas. Masalahnya memang perlu mengubah dasar pemikiran hukum kita yang masih mengacu pada hukum Belanda,” ujarnya.

Ananta B. Kusuma, pengajar Sejarah Hukum Tata Negara Fakultas Hukum, Universitas Indonesia, menyatakan bahwa memang perlu adanya sejumlah pelurusan sejarah di Tanah Air. Selain itu, seluruh komponen bangsa ini termasuk etnis Tionghoa sendiri harus mau terbuka dalam menyikapi masalah ini dan tidak perlu saling menyalahkan. ”Khusus untuk etnis Tionghoa, mereka juga harus menghapus citra mencari amannya saja,” tuturnya.

Senada dengan itu, tokoh senior Tionghoa, Frans Tsai, menyatakan memang harus ada perubahan konsep dalam memandang masalah ini. Dan perubahan itu bukan hanya perlu dilakukan oleh kelompok non-Tionghoa tapi juga harus dilakukan oleh etnis Tionghoa sendiri.

”Boleh saja etnis Tionghoa terjun ke kancah politik tapi jangan menonjolkan ketionghoaannya untuk mendapatkan dukungan dari kelompok ini. Sebab jika mereka maju sebagai calon yang mengandalkan ketionghoaannya saja itu merupakan sebuah kesalahan besar karena etnis Tionghoa yang kini tinggal di Indonesia adalah orang Indonesia yang sama seperti suku-suku lain,” kata Frans Tsai.

Justru jika etnis Tionghoa mau menjadi seorang pemimpin, dia harus maju menjadi seorang pemimpin yang merakyat dan mau membela kepentingan bersama. ”Yang terpenting saat ini bagaimana membangun bangsa ini, bukan lagi mempersoalkan masalah asli atau tidak asli, pribumi atau bukan, sebab jika demikian bangsa ini tidak akan pernah maju,” tambah Tsai. N

Sinar Harapan 2 Juli 08

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here