Kompas, Senin, 5 April 2010
Perlu, Upaya Mendasar
Indonesia Bisa Meniru China untuk Berantas Praktik Suap
Jakarta, Kompas – Tidak adanya efek jera, meskipun sejumlah penyelenggara negara ditangkap dan dipenjara karena kasus suap, harus disikapi secara serius. Upaya mendasar perlu dilakukan untuk memutus kasus suap ini. Selain pembuktian terbalik harta kekayaan, hukuman mati perlu dipertimbangkan.
Kasus mafia hukum di Markas Besar Polri, yang melibatkan pegawai Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan, Gayus HP Tambunan, juga berangkat dari kasus suap. Kuatnya aroma suap terungkap dalam dugaan korupsi yang melibatkan hakim Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara DKI Jakarta, Ibrahim, dan pengacara Adner Sirait.
Kasus suap juga yang menjerat Jaksa Urip Tri Gunawan, yang berujung pada pemecatannya beberapa waktu silam. Sejumlah (bekas) anggota Dewan Perwakilan Rakyat juga dipenjara karena terbelit suap.
Menyikapi fenomena ini, Rektor Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta, Komaruddin Hidayat di Jakarta, Minggu (4/4), menilai, asas pembuktian terbalik adalah upaya paling memungkinkan untuk menekan praktik korupsi atau suap di Indonesia. Kekayaan pegawai yang didapat, baik dari korupsi maupun suap, seharusnya bisa disita oleh negara.
Pembuktian terbalik itu terutama diberlakukan bagi presiden, wakil presiden, menteri, pemimpin badan usaha milik negara, Kepala Polri, Jaksa Agung, Ketua Mahkamah Agung, dan pejabat strategis lainnya.
”Jadi, kalau pejabat memiliki rumah mewah, mobil mewah, dan kekayaan lain harus siap menjelaskan dari mana mereka dapatkan (harta) itu,” kata Komaruddin.
Jika pejabat tak bisa menjelaskan sumber sah dari kekayaan mereka, ada kemungkinan kekayaan itu berasal dari korupsi, gratifikasi, atau suap. Komaruddin mengusulkan, harta kekayaan pejabat yang berasal dari sumber tidak sah, seperti korupsi dan suap, harus disita oleh negara.
Gaya hidup
Komaruddin menengarai, maraknya korupsi dan suap karena gaya hidup mewah para pejabat sulit dihilangkan. Gaya hidup mewah pejabat itu merupakan warisan Orde Baru.
Selama masa pemerintahan Orde Baru, kata Komaruddin, para pejabat dimanjakan dan dilindungi. Pejabat diperbolehkan melakukan apa pun, termasuk penyelewengan, asal tetap loyal kepada penguasa. Pejabat yang loyal pun akan dimanjakan dengan materi sehingga mereka terbiasa hidup mewah.
Guru Besar Hukum Pidana Universitas Krisnadwipayana, Jakarta, Indriyanto Seno Adji, Sabtu, mengakui, pemberian upeti atau suap pada mereka yang memiliki kekuasaan semakin membudaya. ”Mereka banyak yang terjerat korupsi adalah sebab suap. Kasus yang terungkap terakhir kian menguatkan suap sudah menjadi budaya,” katanya.
Pejabat negara sudah tidak malu lagi menerima atau memberi suap (upeti) meskipun terselubung. ”Kalau ada yang tertangkap, mereka hanya dianggap apes. Kemauan politik dalam memberantas korupsi dan reformasi birokrasi masih gagal membentuk aparat yang memiliki integritas dan kapasitas, terutama pada penegak hukum,” kata Indriyanto, yang juga mantan anggota Tim Penyusun Rancangan Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Dalam kasus Gayus, yang sejalan dengan reformasi birokrasi di Kementerian Keuangan sudah diberikan remunerasi yang tinggi, Ketua Satuan Tugas Pemberantasan Mafia Hukum Kuntoro Mangkusubroto menilai, reformasi di Kementerian Keuangan, termasuk Ditjen Pajak, sebenarnya sudah berjalan baik. ”Saya kira konsepnya sudah benar, sudah jalan. Cuma lagi apes saja,” ujarnya (Kompas, 31/3).
Guru Besar Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Pratikno di Purbalingga, Jawa Tengah, mengemukakan, ”Kasus Gayus masih dapat ditarik lebih luas dalam isu-isu pemberantasan mafia hukum, penyalahgunaan jabatan, reformasi birokrasi, dan pemberantasan korupsi.”