“Birokrasi di daerah hambat pembangunan” (SBY)

2
61

Ahok.Org (25/02) – Kemarin lusa saya diminta menjadi narasumber di Metro TV di acara Suara Anda untuk membahas pernyataan presiden di atas. Sayangnya karena paripurna DPR tentang hak angket mafia pajak berakhir dengan voting, saya tidak bisa hadir di Metro TV Selasa malam kemaren (22/2/2011 jam 19 30).

Saya percaya presiden tidak bermaksud mengatakan bahwa semua birokrat di daerah menghambat pembangunan. Beliau tentu melihat ada beberapa daerah yang seperti itu. Terlepas apa pandangan presiden tentang birokrat di daerah, ada beberapa hal yang perlu saya kritisi terhadap pemerintah pusat yang terlihat jelas sekali tidak secara konsisten memberlakukan otonomi daerah.

Dari segi kebijakan anggaran APBN saja sudah terlihat. Dana dekonsentrasi yang seharusnya semakin mengecil justru semakin membesar. Seharusnya porsi anggaran di pusat semakin mengecil di kementerian-kementerian dan seharusnya semua ditransfer ke daerah dalam bentuk dana alokasi khusus atau dana alokasi umum sehingga kementerian benar-benar hanya berfungsi sebagai bimbingan teknis dan pengawasan saja. Alasan klasiknya adalah semakin maraknya korupsi di daerah, apalagi sudah terbukti lebih dari setengah gubernur-gubernur di Indonesia sekarang menjadi tersangka.

Apakah karena alasan klasik ini lalu pemerintah boleh secara diam-diam menarik desentralisasi dari sisi fiskal? Tentu saja tidak bisa. Kita semua sepakat semakin desentralisasi berhasil, maka kesejahteraan rakyat dan pertumbuhan ekonomi semakin cepat dan merata. Pertanyaannya kenapa masih tidak tercapai di kebanyakan daerah?

Jawabannya jelas karena pemerintah pusat juga yang tidak berani melakukan terobosan melawan korupsi dan nepotisme di daerah. Bukankah pepatah Confucius masih sangat relevan: “kalau kepala lurus makan bawahanya tidak berani tidak lurus”?

Desentralisasi/otonomi daerah jelas membuka peluang mendapatkan “kepala” yg lurus (gubernur,bupati/walikota). Masalahnya pemerintah pusat tidak berani memberlakukan pengawasan ketat setiap aliran dana dan aset para pejabat daerah dan keluarganya karena mereka juga tidak mau diawasi.

Seharusnya setiap calon kepala daerah yang memiliki kekayaan yang tidak wajar (dilihat dari SPT pajak dan laporan hartanya), dinyatakan tidak bisa ikut pemilukada. Yang nekad ikut untuk menjadi pejabat publik, jika terbukti isian laporan hartanya tidak sesuai maka disita untuk negara.

Hal ini akan membuka peluang bagi individu-individu yang bersih, transparan, dan profesional untuk terpilh menjadi kepala daerah, sehingga jika kepala yang lurus yang memimpin  maka birokrasi juga akan lurus dan tidak akan menghambat pembangunan. Kita memang butuh ada contoh satu propinsi untuk mewujudkan itu dan yang paling ideal jadi contoh adalah DKI jakarta.

Jakarta, Kamis, Feb 24, 2011

2 COMMENTS

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here