‘Silahkan Demo Tapi Jangan Rasis..’

7
111

Ahok.Org – Wakil Gubernur DKI Jakarta Ahok mengaku gerah, dengan adanya aksi unjuk yang terus berlangsung di Balaikota. Seperti yang beberapa hari lalu yang dilakukan Front Pembela Islam (FPI) di gedung DPRD DKI, guna menolak pelantikannya sebagai Gubernur.

Mantan Bupati Belitung Timur itu pun mengatakan pihaknya akan mencari tahu, siapa otak dari aksi demo tersebut dan berencana menggugat ke pengadilan.

“Ya kalo dia macem-macem, demo-demo terus kita gugat dong, kita cari otaknya, yang bayarnya siapa. Kan kita punya intel, cari tahu aliran dana dari siapa, cash nya dari siapa. Siapa yang ambil duit kasih. Kita kerjain. Kasih pelajaran politik dong,” kata Ahok di Balaikota DKI Jakarta, Selasa (30/9/2014).

Ahok juga enggan dikatakan antidemokrasi, lantaran melarang aksi unjuk rasa. Menurutnya, unjuk rasa boleh saja dilakukan asal tidak menggunakan kalimat-kalimat rasis dalam setiap orasinya.

“Enggak. Kamu mau demo boleh, saya enggak menggugat anda demo, tapi kalau anda menggunakan kata-kata rasis segala macam, itu ada Undang-undang anti diskriminasi, anda kena. Jadi bukan demonya. Demo mah aku kasih terus,” cetus Ahok.

Selain itu, Ahok juga menilai demonstrasi juga sebaiknya tidak dibarengi dengan aksi anarkis. Sebab, jika muncul tindakan anarkis pada saat demonstrasi berlangsung akan ada tindakan tegas dari kepolisian.

“Wakapolda udah bilang kita sepakat, anda demo, kita persuasif, anda sedikit anarkis pake senjata, kita tembak pake peluru karet. Kalau masih nekat, protapnya tembak pake peluru tajam. Termasuk nyerang sini pake golok, ya kita hajar. Ada aturannya, protapnya,” ucap Ahok. [Liputan6.com]

7 COMMENTS

  1. jika demo ini berhasil ditelusuri latar belakang; pembiayaan dan dalangnya dan bisa di tuntut di pengadilan. kalah menang urusan belakang yg penting nantinya demo demo tidak bisa lagi seenaknya atas nama rakyat.karena akan terungkap dalangnya, rakyat akan tahu dan preman2 demo nasi bungkus bisa diantisipasi. ini pertama di negri ini dan membawa harapan.

  2. Sebaiknya memang dicari dalangnya Pak…dari situ bisa ketahuan apakah demo itu murni dari ormasnya atau ada aktor intelektualnya…pihak polisis harus tangkap kalau mereka rasis didepan umum dan ada payung UU untuk itu…biar jadi pelajaran bahwa HUKUM harus ditegakkan…Dulu sepengetahuan saya ada keponakan teman saya yang habis tamat STM, nganggur belum bisa kuliah…ikutan Demo-demo gitu…dibayar Rp.50 rb oleh KORLAP nya untuk demo…tiap hari kerjanya gitu doang untuk cari uang… kata dia, yang paling kencang maki-maki itu duitnya lebih gede… Nah kalau yang sekarang mau demo, ya saya tidak tahu… rasa-rasanya sih kalau orang yang punya kerjaan, tidak mungkin diijinkan cuti oleh Boss dia untuk demo… jadi yang demo ini siapa ???? Perlu ditelusuri oleh intel, cokok dan penjarakan saja kalau bukan dari ormas yang bersangkutan (lihat saja kartu anggota ormasya ada atau tidak) karena dia dibayar untuk melakukan itu…Salam…Go..JB

  3. Numpang tanya saja Pak, apakah ormas yang ada di Indonesia ini ada aturan/UU atau payung hukumnya ngak ? Kalau ada, apakah ada ketentuan bahwa setiap anggota ormas harus ada kartu tanda anggotanya atau tidak yang di tanda tangani ketua ormas nya ? Kalau tidak ada, repot Pak…siapa saja bisa ngaku-ngaku anggota ormas ini, tapi juga termasuk ormas lainnya… Mungkin perlu dipikirkan Pak, kalau memang belum ada kartu anggota masing-masing ormas, dibuatkan aturan agar mereka (ormas yang resmi dan terdaftar) WAJIB dan HARUS punya kartu tanda anggota dan dilaporkan ke pemerintah/polisi daerah…dan untuk kegiatan2 demo, mereka diwajibkan PAKAI kartu keanggotaannya …yang tidak pakai, langsung ditangkap, karena pengacau….dari sini, pasti ketahuan, satu ormas, anggotanya sebenarnya berapa orang sih aslinya … Kalau yang dilaporkan anggota ormas A misalnya 500 orang, trus minta ijin demo untuk 1000 orang…KEPOLISIAN harusnya berani tolak… karena yang 500 orang lagi siapa ??? Ngak jelas… Salam…Go..JB

  4. Issu rasis memang paling gampang disulut utk membuat keonaran.
    .
    Apalagi sejak reformasi tahun 1998, kita punya budaya baru, yaitu bisa seenaknya berbuat anarkis.
    .
    Ngga peduli orang lain itu jadi susah karena perbuatan kita, EGP (emang gue pikirin).
    .
    .
    Pertanyaannya, kenapa pihak aparat tampaknya “enggan” bertindak terhadap tindakan-tindakan anarkis sejak itu?
    .
    Ingat, budaya gotong-royong kita itu kebablasan sejak reformasi, alias suka rame-rame main keroyokan / merusak (bertolak belakang dengan rame-rame berbuat kebaikan pada waktu sebelumnya).
    .
    Repot kan kalo jumlah aparat kalah banyak dengan jumlah demonstran di lapangan (apalagi kelengkapan fasilitas cuma sekedarnya / kurang sewaktu bertugas), aparat bisa mati konyol dikeroyok rame-rame. Maka adalah sangat manusiawi aparat pun lebih baik menghindar kekonyolan ini, namun tetap berjaga-jaga di tempat yang berakibat terlihat “enggan” bertindak lebih jauh terhadap tindakan anarkis.
    .
    Oleh sebab itu, aparat difasilitasi yang lengkap dan baik di lapangan, dan diingatkan informasi hukum bahwa sebuah tindakan yang menjurus kepada sentuhan fisik, kalimat-kalimat rasis, memberikan efek kurang aman, patut ditindak (ditegur, dicegah) tanpa ragu di lapangan.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here