Ulasan Terhadap ketentuan Bab V Pasal 19 RUU tentang Mata Uang

0
38

Pasal 19 tersebut berbunyi sebagai berikut:

“Uang Rupiah wajib digunakan dlm setiap transaksi yang mempunyai tujuan pembayaran dan/atau kewajiban lainnya yang harus dipenuhi dengan uang, atau transaksi keuangan lainnya, di wilayah NKRI”

Pasal ini bersifat “melarang”.



Sebagai suatu larangan, tentu ada sanksinya, seperti yang termuat dalam Bab X Pasal 32 ayat (1), yang menegaskan:

“Setiap orang yang tidak menggunakan Uang Rupiah dlm setiap transaksi yang mempunyai tujuan pembayaran yang hrs dipenuhi dg uang dan/atau transaksi keuangan lainnya, sebagaimana dimaksud dlm Pasal 19 ayat (1), dipidana dg pidana kurungan paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling sedikit Rp 5 juta dan paling banyak Rp 200 juta”.

Persoalannya:

(1) apakah larangan seperti itu kontekstual dlm era globalisasi sekarang ini?

(2) Apakah sanksi dalam Pasal 32 akan efektif diterapkan dlm praktek?

Terhadap dua masalah hukum di atas, berikut pendapat hukum kami:

Pertama, dalam konteks perdagangan di  era globalisasi, tidak ada lagi batas nasionalitas negara-negara (borderless).Dalam konteks itu pula,seolah2 para pedagang itu tdk punya kewarganegaraan.

Maka, uang yg menjadi sarana transaksi dalam perdagangan itu pun tidak mempunyai nasionalitas, kebangsaan, tdk mempunyai suku, bahkan  tidak mempunyai agama.

Bahkan penggunaan uang dlm konteks tertentu, sering melanggar batas2 etika dan sopan santum di tiap negara/masyarakat.

Itu adalah sifat pembawaan uang sejak masyarakat mengenal transaksi dengan uang, masyarakat di negara mana pun.

Sehingga dlm masyarakat Romawi di masa lalu, sangat terkenal dengan ungkapan:”pecunia non olet” (baca: pekunia non olet – e spt dlm kata emosi), yang secara harafiah berarti uang itu tdk ada baunya.

Kedua, dalam konteks seperti di atas maka apapun sanksinya tidak akan efektif utk meminimalisasi apalagi utk menghilangkan praktek-praktek penggunaan mata uang dari negara lain dlm transaksi perdagangan di Indonesia.

Kalau demikian untuk apa kita memasukkan suatu ketentuan atau larangan yg sejak awal sdh diperkirakan tdk akan efektif utk menghilangkan praktek2 penggunaan mata uang negara lain dlm transaksi perdagangan
(Misalnya USD).

Kalau tetap kita paksakan penggunaan larangan dalam  Pasal 19 itu maka kita akan terjebak dlm rutinitas pembuatan undang2 yg sekedar memenuhi euforia rasa kebangsaan yang semu. Maka DPR akan memproduksi hukum yang seolah2 efektif mengatur tata kehidupan masyarakat tp kenyataannya, tdk.

Refleksi:

(1) DPR perlu berkaca diri terhadap kritik masyakat bahwa kita lebih mementingkan kuantitas undang2 tanpa memperhatikan kualitas.

(2) Hukum atau ketentuan dlm undang2 yg tdk dapat dioperasionalkan dlm kehidupan masy adalah “hukum yg seolah2 hukum” atau hukum yang tdk sempurna (lex imperfecta).

*Edi Danggur (Staff Ahli, Basuki T. Purnama – Anggota DPR RI dari Fraksi Golkar)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here