Apa yang membedakan kita antara tahun 1908 dan 2008, tentu saja kita bisa menjawab dari berbagai aspek, dalam hal ini saya hanya akan memberikan pandangan saya dari sudut politik praktis tentang apa yang dicita2kan oleh para tokoh / elite politik Indonesia di tahun 1908, dan apa yang akhirnya kita capai dan peringati sebagai kebangkitan nasional pada tahun 2008 ini yang sudah tepat berusia 100 tahun.
Hal positif yang kita capai dalam politik setelah 100 tahun kebangkitan nasional diantaranya adalah : adanya pemilihan presiden dan kepala daerah secara langsung, disahkannya undang-undang kewarganegaraan yang ‘revolusioner’, bebasnya rakyat mendirikan partai politik, dan adanya hal otonomi daerah di setiap kabupaten dan propinsi.
Realita yang kita hadapi setelah 100 tahun kebangkitan nasional adalah Indeks pembangunan manusia (IPM/HDI: Human development index, yang menggambarkan kondisi panjang umur , lamanya mengenyam pendidikan dan pendapatan perkapita rakyat) ternyata jauh tertinggal dari negara tetangga kita seperti Malaysia, apalagi Singapura.
Disamping masalah IPM, juga sulitnya mendapatkan pemimpin yang membela rakyat apalagi rela menjadi lebih miskin demi untuk rakyat, yang terjadi nasib rakyat tidak berubah dan justru rakyat semakin susah dan miskin, sementara hampir semua pejabat dan mantan pejabat kaya raya.
Bukankah secara umum diketahui, jika semakin kekuasaan ditangan rakyat, tentulah nasib rakyat yang dicerminkan dengan IPM (indeks pembangunan manusia) juga semakin meningkat ? Kenapa setelah 10 tahun reformasi dan 100 tahun kebangkitan nasional, yang terjadi tidak demikian ?
Saya akan membagikan pengalaman saya melihat situasi politik yang saya alami mulai dari pemilu 2004, pilkada bupati Belitung Timur 2005 dan Pilkada Gubernur Bangka Belitung 2007.
Yang Pertama adalah Burung Garuda Pancasila goyah, disebabkan banyaknya oknum elite politik yang membuang pita Bhinneka Tunggal Ika, sehingga burung Garuda Pancasila menjadi goyah karena tidak memiliki pegangan lagi.
Yang Kedua adalah banyaknya oknum elite politik dari agama tertentu yang ingin bendera merah putih menjadi benderanya negara Singapura (ditambah bulan sabit dan bintang), artinya apa ? banyak oknum elite yang ingin negara ini seperti negara agama, sehingga rakyat yang tidak beragama sama dengannya tidak berhak menjadi pejabat kepala daerah apalagi kepala negara di Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang jelas benderanya hanya merah putih saja.
Kalau ingin memiliki IPM seperti negara Singapura tentu baik, tetapi hanya ingin menerapkan bulan sabit dan bintang kedalam NKRI dan menyingkirkan putra-putra terbaik bangsa yang tidak seagama, tentulah merupakan tindakan pengkhianatan terhadap kebangkitan nasioanl dan UUD 1945 dan Pancasila kita.
Yang Ketiga adalah buruh yang tidak dapat dibayar sesuai dengan kebutuhan diatas minimum mereka, sehingga bangsa ini semakin lama semakin miskin dan rendah IPMnya, karena tidak memiliki jaminan pendidikan , kesehatan dan jaminan hari tua.
Ketiga hal diataslah yang menjadi penyebab kenapa setelah 100 tahun kebangkitan nasional , bangsa Indonesia tertinggal dari negara tetangganya. Inilah krisis multidimensi bangsa ini, padahal semangat para elite di kebangkitan nasional 100 tahun yang lalu mendambakan Indonesia sejajar dengan negara Amerika Serikat dan Jerman.(tafsiran pribadi penulis?).
Demokrasi jelas harus bebas tetapij uga harus memiliki batasan yang tidak boleh dilewati , yakni : Kepentingan rakyat, azas negara dan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Apa persepsi rakyat tentang demokrasi dengan adanya pemilu yang diikuti oleh banyak partai politik, adanya hak memilih kepala daerah dan kepala negara secara langsung ?
Secara umum, rakyat memiliki persepsi setelah pemilu atau pemkada/pilpres selesai, maka mereka kembali dilupakan lagi, Atau yang lebih putus harapan lagi ,rakyat memiliki persepsi siapapun yang jadi pejabat sama saja buat nasib mereka, tidak pernah berubah , tetap miskin, yang berubah hanyalah pejabat yang terpilih dan keluarga maupun teman-temannya saja.
Kalau saudara ditanya apakah saudara puas dengan kinerja para pejabat eksekutif, legistlatif, yudikatif dan aparat keamanan dan polisi ? Hampir semua hasil survei menunjukan mayoritas rakyat tidak puas dengan kinerja yang ada. Lalu salah siapa ? setengahnya adalah kesalahan saya dan saudara yang tidak rela keluar dari zona nyaman untuk merebut posisi tersebut.
Solusinya : para nasionalis idealis harus rela keluar dari zona nyaman, masuk ke semua bidang pemerintahan, jika ingin ke jenjang kepala daerah, bisa memulai dari jenjang anggota DPRD, jika terbukti BTP (Bersih,Transparan dan Profesional) , dia bisa lanjutkan ke tingkat kepala daerah baik sebagai Bupati / Walikota, jika terbukti BTP lagi, dia bisa jadi Gubernur / Presiden.
Jika semua ini terjadi, maka janji kebangkitan nasional kedua ditahun 2008 ini adalah: Tidak selamanya orang miskin dilupakan, bukan untuk seterusnya hilang harapan orang sengsara akan terwujud , asal rakyat mau memilih pemimpinnya berdasarkan kriteria Bersih Transparan dan Profesional bukan memilih yang se-Suku, se-Agama, se-RAS dan se-Golongan.
Kesimpulannya ? Bukan persoalan berubah atau tidaknya sebuah kebangkitan nasional di tahun 1908 dan 2008, melainkan ADA ATAU TIDAKNYA KAUM NASIONALIS IDEALIS YANG RELA AMBIL BAGIAN PADA SETIAP KEBANGKITAN NASIONAL DALAM KEHIDUPAN BERPOLITIK DAN BERNEGARA .
Pertanyaan berikutnya adalah : Siapa kaum nasionalis idealis yang mau diutus untuk Revolusi beradab (dengan kertas suara bukan peluru /ballot not bullet) menuju kebangkitan nasional yang kedua bagi NKRI ?
Saya telah menjawabnya : “ini aku, utuslah aku “!.
Apakah saudara bersedia ikut ?
Jakarta, Oktober 2008
Basuki T Purnama
Zhong Wan Xie
Kritik & Saran bisa melalui
Email : BTP@ahok.org
sms : 0819 27 666 999
Centre for Democracy & Transparency (www.cdt31.org)
This entry was posted on Tuesday, October 28th, 2008 at 5:30 am and is filed under Pemikiran.
sangat menarik, terima kasih