Kemenangan ARB

2
116

Akhirnya, Musyawarah Nasional (Munas) Partai Golkar di Pekanbaru, Riau menghasilkan Aburizal Bakrie (ARB) sebagai  Ketua umum yang baru. Mengejutkan? Saya kira tidak, inilah fakta politik yang terjadi ketika orang nomor satu menghendaki seseorang untuk menjadi ketua umum sebuah partai.



Tentu kita ingat, pada masa Orde Baru dahulu, hal seperti ini dilakukan dengan menggunakan metode operasi intel, aparat keamanan dan birokrasi yg terang terangan dan vulgar. Tujuannya tidak jauh berbeda, demi menempatkan orang yang ia percaya di ‘kandang lawan’. Sedangkan yang terjadi di masa reformasi ini adalah dengan memanfaatkan ‘pragmatisme pelaku demokrasi’. memanfaatkan individu-individu yang lekat  dengan konsep orba dan menganut prinsip aji mumpung.

Para pengurus partai tentu ingin yang terbaik dan kembali berjayanya Partai, hal ini tak terbantahkan. Namun yang jadi perdebatan mungkin apakah yang dimaksud dengan ‘kejayaan partai’ itu di dalam benak mereka? Apakah dengan menjunjung  harga diri sebagai Partai besar yang memiliki struktur politik yang sudah terbentuk di seluruh Indonesia? Ataukah dengan ikut dalam pemerintahan dan memperoleh political share? Apapun itu, ujung-ujungnya serupa, bagaimana jalan terbaik untuk kembali menikmati kekuasaan. Patut diingat pula sebagian dari mereka adalah orang-orang yang mengalami sendiri tidak terpilih dalam Pemilu lalu.

Memang sulit untuk tidak tergoda akan ajakan berbagi kekuasaan dari sang Penguasa. Walaupun sesungguhnya pengurus Partai terutama di tingkat daerah sebagai bagian dari struktur Partai, bisa memanfaatkan kekuasaan yang dimiliki untuk mendapatkan materi (seperti dari proses Pilkada dan lainnya). Lalu apa yangg mungkin menyebabkan pengurus partai takluk kepada kekuasaan? Kemungkinan lain adanya ancaman pemeriksaan terhadap “dosa dosa lama” karena tersangkut korupsi, dengan merapat kepada kekuasaan diharapkan akan mendapatkan perlindungan, bukankah hal yg sama terjadi pada munas 2004? Atau mungkin sebaliknya, apabila calon yang dikehendaki tidak terpilih, maka dosa-dosa lama akan diungkit kembali?

Jika benar begitu, maka siap-siaplah rakyat hanya bisa berdoa mudah-mudahan mereka yang berkuasa masih memiliki setitik keinginan mensejahterakan rakyat contohnya dengan memberikan jaminan sosial (pendidikan, kesehatan, pensiun dan hak milik atas tanah dan kemudahan mendapatkan akses untuk memperoleh pinjaman modal usaha).

Kita berharap saja mudah-mudahan mereka yang berkuasa tidak sedang mengaplikasikan metode pelanggengan kekuasaan seperti yang dicontohkan oleh Marchiavelli, Brutus, dan juga Ken Arok. Syukur-syukur mereka justru tidak tahu hal-hal tersebut karena belum pernah membaca bukunya, misalnya. Namun sebaliknya jika mereka sedang mengikuti teori tersebut? Maka (lagi-lagi) jangan berharap rakyat akan disejahterakan semua, hanya “kelompok pilihan” yang bisa menikmati kekayaan negeri ini. Kalaupun rakyat diperhatikan, mungkin hanya saat-saat mendekati Pemilu ataupun Pilkada saja.

Hotel ibis , Pekanbaru , Riau

Kamis, Oct 8, 2009

2 COMMENTS

  1. Siapa saja, partai apa saja, sama saja. Rakyat… juga masih sama saja, hanya pelengkap penderita. Itulah dunia hari ini yang dikategorikan sebagai masa “raja-raja (termasuk juga politikus) yang memaksakan kehendak”.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here