Pendahuluan
Menurut rencana, pada hari Selasa 17 November 2009, Tim Pencari Fakta atau Tim 8 akan menyerahkan rekomendasinya kepada Presiden. Masyarakat berharap Presiden melaksanakan rekomendasi Tim 8 tersebut agar kisruh Polri versus KPK segera berakhir. Sebab kalau konflik Polri vs KPK terus berlanjut maka wajah penegakan hukum kita semakin carut-marut.
–
Kehadiran Tim 8 itu disambut positif oleh seluruh elemen masyarakat termasuk LSM dan dunia kampus yang menghendaki penghentian kriminalisasi terhadap KPK oleh Polri dan Kejaksaan. Sebaliknya Komisi III DPR RI bereaksi negatif terhadap Tim 8 yang kerjanya dinilai bias, terlampau transparan dan bahkan melampaui wewenangnya, karena Tim 8 dinilai mencampuri proses penegakan hukum yang kini sedang dijalankan oleh Polri dan Kejaksaan terhadap dua petinggi KPK non aktif Bibit S Rianto dan Chandra M Hamzah.
–
Reaksi Komisi III DPR RI itulah yang yang mencemaskan masyarakat: apakah Presiden akan bersikap konsisten untuk melaksanakan rekomendasi Tim 8 yang dibentuk sendiri oleh Presiden? Ataukah justru Presiden lebih mendengar Komisi III DPR RI yang pimpinan dan mayoritas anggotanya adalah orang-orang dari partainya Presiden SBY, Partai Demokrat?
–
Eksistensi Tim 8 Sangat Kontekstual
Sebagai anggota DPR RI yang merupakan wakil rakyat dalam arti yang sesungguhnya, kami, tentu saja, tidak boleh menutup mata terhadap dinamika yang berkembang dalam masyarakat. Bahkan kami dituntut untuk ikut merasakan denyut nadi rasa keadilan yang hidup dan berkembang dalam masyarakat.
–
Atas dasar itu, dengan ini kami menyampaikan pandangan kami dalam masalah tersebut:
–
Pertama, hukum itu tidak pernah beroperasi di sebuah ruang yang kosong. Sebab hukum (dan penegakan hukum) hanyalah subsistem dari sebuah sistem hukum yang begitu luas ruang lingkupnya. Dalam sistem hukum itu, ada pemerintah (presiden dan menteri-menterinya), polisi, jaksa, hakim, ada legislator (DPR), masyarakat dan bahkan hukum substantif itu sendiri. Dalam konteks itulah bisa dimengerti jika pemerintah (presiden) membentuk Tim 8 yang akan mencari fakta-fakta, memantau jalannya penyidikan dan sekaligus mengajukan rekomendasi kepada presiden agar presiden bisa mengambil kebijakan yang tepat dalam kisruh Polri vs KPK ini.
–
Kedua, kehadiran Tim 8 sangat relevan dan kontekstual sebab ada oknum-oknum dari keiga institusi penegak hukum itu (Polri, Kejaksaan dan KPK) yang menjadi bagian dari persoalan (part of problem) sehingga ketiga institusi itu tidaklah mungkin bisa menjadi bagian dari solusi (part of solusion) dalam serangkaian dugaan tindak pidana yang sedang terjadi saat ini: dugaan penyuapan, dugaan pemerasan dan dugaan penyalahgunaan wewenang. Hanya orang-orang yang benar-benar berada di luar persoalan itu saja (dalam hal ini Tim 8) yang bisa menjadi hakim atau “wasit” yang baik dalam kisruh Polri vs KPK. Hal ini sesuai dengan adagium dalam penegakan hukum: “Tidak ada orang yang bisa bertindak sebagai hakim yang baik dalam perkaranya sendiri”. Oleh karena itu, bisa dimengerti kalau masyarakat menuntut agar presiden berkenan menggunakan hak prerogatifya untuk mendeponir (menghentikan) penyidikan dan penuntutan dalam perkara ini.
–
Ketiga, tidak relevan bagi Komisi III DPR RI untuk menilai kerja Tim 8 itu bias, terlampau transparan, apalagi dianggap melampaui wewenangnya. Komisi III DPR RI justru tidak mempunyai kapasitas hukum (non legal capacity) untuk menilai cara kerja Tim 8 tersebut. Sebab, Tim 8 itu tidak dibentuk oleh DPR RI, tetapi dibentuk oleh presiden, sehingga hanya presiden yang berwenang menilai kinerja Tim 8 tersebut. Lagi pula penilaian Komisi III DPR RI itu terlalu prematur. Sebab presiden belum tentu menggunakan semua rekomendasi Tim 8 tersebut. Presiden yang paling tahu mana butir-butir rekomendasi Tim 8 yang tidak relevan dan mana butir-butir rekomendasi yang relevan dan tepat untuk diintroduksi sebagai kebijakan pemerintah guna menyelesaikan kisruh Polri vs KPK.
–
Keempat, pembentukan Tim 8 oleh presiden tidak dapat ditafsirkan sebagai bentuk intervensi eksekutif (presiden) dalam penegakan hukum. Dengan demikian, apapun rekomendasi Tim 8 dalam kasus dua pimpinan KPN non aktif (Bibit dan Chandra) tidak dapat dilihat sebagai bentuk campur tangan Tim 8 terhadap penyidikan oleh Polri dan penuntutan yang akan dilakukan oleh Kejaksaan. Dengan pembentukan Tim 8 ini diharapkan Polri dan Kejaksaan memandang kasus ini tidak secara legalistik formalistik belaka, dengan dalil menjaga independensi penegak hukum. Tetapi sebaliknya, penegak hukum (Polri dan Kejaksaan) diingatkan agar penegakan hukum harus dilakukan dengan memperhatikan nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dan berkembang dalam masyarakat.
–
Harapan Untuk Presiden
Di masa lalu, penegakan hukum berdiri di atas prinsip: “hukum harus ditegakkan, sekalipun dunia runtuh” (fiat iustitia et pereat mundus). Penegakan hukum yang demikian terbukti telah membelenggu masyarakat dan hukum menjadi semakin kejam di tangan para penegak hukum. Peran penegak hukum yang sekedar menjadi corong dari undang-undang tersebut dalam kondisi tertentu telah melukasi rasa keadilan dalam masyarakat, bahkan penegakan hukum tersebut menjadi kurang bermanfaat bagi kesejahteraan masyarakat.
–
Oleh karena itu, inilah momen untuk mendengungkan slogan baru dalam penegakan hukum di negara kita: “hukum harus ditegakkan demi kesejahteraan umum”. Sekalipun untuk itu presiden harus mengambil langkah-langkah di luar kebiasaan (extraordinary) semata-mata demi menegakkan keadilan dan kesejahteraan dalam masyarakat. Prinsip ini bersumber dari sebuah nasehat bijak seorang filsuf, Chin Ning Chu (dalam buku Thick Face, Black Heart): “Baju seyogyanya dipotong disesuaikan dengan ukuran tubuh dan bukannya tubuh dipotong-potong untuk disesuaikan dengan ukuran pakaian”. Semoga!
–
Senayan, 17 November 2009
Ir. Basuki Tjahaja Purnama, MM
Anggota Komisi II DPR RI dari Fraksi Partai Golkar
konflik kpk vs polri harus segera diselesaikan ini menyangkut kewibawaan bangsa dan negara di dunia internasional