Bagaimana mestinya peran politik etnis Tionghoa sekarang ini?
–
Pada prinsipnya masyarakat etnis tionghoa adalah bagian integral dari Bangsa Indonesia, oleh karena itu etnis tionghoa memiliki peran yang sama seperti layaknya etnis lain di Indonesia.
Masyarakat etnis Tionghoa juga memiliki hak dan kewajiban yang sama, tidak ada dan tidak boleh ada pembedaan peran berdasarkan etnis atau penggolongan apapun.
–
Bagaimana Anda memandang fenomena warga etnis Tionghoa yang tertarik memasuki dunia politik pasca runtuhnya Orde Baru?
–
Memang pasca runtuhnya kekuasaan orde baru, iklim demokrasi di Indonesia melaju dengan cepat. Oleh karena itu banyaknya warga etnis Tionghoa yang tertarik masuk ke politik merupakan implikasi yang wajar.
–
Hanya saja saya mengharapkan bukan sekedar kuantitas, namun kualitas yang lebih penting. Untuk apa etnis Tionghoa menguasai mayoritas kursi DPR misalnya, jika tidak mampu membawa perubahan yang lebih baik bagi rakyat?
–
Menurut anda, apa saja aspirasi politik warga Tionghoa itu?
–
Secara umum tidak ada perbedaan antara aspirasi etnis satu dengan etnis yang lain. Seluruh masyarakat tentu ingin hidup sejahtera, tenang dan damai. Hidup layak secara finansial, terpenuhinya kebutuhan sandang, papan, pangan, serta pendidikan dan kesehatan. Saya rasa semua etnis menginginkan hal yang sama.
–
Sudahkah aspirasi politik warga Tionghoa itu diperjuangkan oleh politisi dari warga Tionghoa atau lainnya, adakah contohnya?
–
Saya berpendapat justru orang yang berpendapat aspirasi suatu kelompok masyarakat hanya bisa diperjuangkan oleh kelompok tersebut saja sebagai orang yang berpandangan sempit. Jika seperti ini, kita justru akan terjebak pada politik golongan dan kepentingan.
–
Saya percaya para politisi atau wakil rakyat yang bersih, transparan dan professional akan senantiasa memperjuangkan aspirasi masyarakat, apapun golongan etnis dan agamanya.
Masalah ada berapa persen politisi yang mampu seperti itu? Itu masalah berbeda. Namun pada intinya kita harus mulai berpikiran terbuka dan menghilangkan paradigma berpolitik berdasarkan golongan seperti itu.
–
Saya sendiri bisa menjadi Bupati melalui pemilihan langsung yang demokratis di Belitung Timur, sebuah tempat dimana hampir 90 persen penduduknya Melayu dan Islam. Ini contoh nyata paradigm berpolitik berdasarkan BTP (individu yang bersih, transparan dan professional) bukannya SARA (Suku, Agama, Ras, Aliran).
–
Bagaimana Respon Negara terhadap aspirasi politik warga Tionghoa tersebut?
–
Kita sudah memiliki Undang-undang No. 12 tahun 2006 tentang kewarganegaraan. Hal ini adalah satu bentuk respon pemerintah saat itu terhadap keluhan etnis Tionghoa terkait SBKRI. Ini hanya salah satu contoh saja. Tentu kita ingin sebuah kondisi ideal akan pemerintahan yang responsif terhadap aspirasi seluruh rakyatnya. Bukan hanya etnis, suku ataupun agama tertentu, tapi rakyat secara umum.
–
Seandainyapun pada suatu ketika ada pemerintahan berkuasa yang sangat responsif terhadap aspirasi etnis Tionghoa, namun dianggap kurang peduli terhadap aspirasi etnis lain, tentu akan jadi masalah juga, kita juga tidak mau terjadi hal seperti itu.
–
Setujukah Anda bila didirikan kembali partai Tionghoa, berikan alasannya?
–
Tidak perlu, untuk apa? Partai politik sejatinya adalah wadah untuk mempersatukan perjuangan politik rakyat, bukan untuk mengkotak-kotakannya. Negeri ini tidak dibangun atas dasar kelompok suku, etnis ataupun agama.
–
Saya pribadi berpendapat Silahkan saja jika ada yang ingin mendirikan Partai berbasis etnis, tapi saya rasa masyarakat akan kurang mendukung. Ide seperti itu justru akan kontraproduktif di iklim demokrasi.
–
Dalam pemilu lalu, ada fenomena politisasi etnis Tionghoa, Bagaimana pendapat Anda?
–
Saya kurang paham dengan istilah ‘politisasi etnis Tionghoa’. Jika yang dimaksud adalah banyak parpol yang menempatkan etnis Tionghoa sebagai caleg, saya kira itu bukan politisasi. Tapi justru sebuah pengakuan atas peran kita dalam hidup bermasyarakat dan berpolitik.
–
Lagipula, sebagai organisasi politik, wajar jika Parpol merekrut orang-orang yang mereka anggap berkualitas dalam perpolitikan. Yang kita tidak inginkan adalah jika masyarakat memilih seorang caleg hanya berdasarkan SARA. Jika itu yang terjadi, demokrasi kita mundur hampir seribu tahun sejak 1928.
–
Warga Tionghoa itu dianggap tertutup dan eksklusif. Bagaimana menurut Anda?
–
Anggapan seperti itu memang tumbuh dan berkembang di masyarakat. Bersamaan dengan berbagai stereotype tentang etnis lainnya. Kita tidak bisa membantah adanya hal itu.
Namun pada akhirnya saya rasa kembali pada individu masing-masing. Apalagi sekarang dalam era globalisasi seperti ini, dimana dunia sudah tanpa batas (borderless), anggapan seperti itu sudah tak bisa digeneralisir. Saya juga merasa etnis Tionghoa sekarang berbeda dengan masa lalu, sekarang sudah lebih membaur, walaupun masih ada pula yang tertutup.
–
Bagaimana Anda memandang dan mensikapi fenomena diskriminasi etnis Tionghoa dewasa ini?
–
Kita sudah punya UU no 40 tahun 2008 tentang penghapusan diskriminasi ras dan etnis. Oleh karena itu segala bentuk perlakuan diskriminasi adalah perbuatan yang melanggar hukum.
–
Orang-orang yang masih melakukan tindakan berbau diskriminasi adalah orang yang picik dan hatinya kerdil. Diskriminasi tak hanya dialami oleh satu etnis atau kelompok saja. Tentu hal ini kita sesalkan. Disinilah perlunya peran lembaga formal untuk menjamin terlaksananya kehidupan bermasyarakat anti diskriminasi
–
Setiap orang punya perannya masing-masing dalam hal anti diskriminasi ini, sebagai anggota DPR saya tentu memiliki peran dalam hal Legislasi (perundang-undangan)
–
Meski sudah ada aturan hukum anti diskriminasi, ternyata masih saja terjadi diskriminasi pada warga Tionghoa. Bagaimana mengantisipasi hal ini?
–
Hukum tidak beroperasi di ruang hampa. Inilah yang saya maksud tadi dengan ‘tiap orang punya perannya masing-masing’. kita juga tentu perlu menjaga sikap sebagai bagian dari masyarakat.
–
dan andaikata masih terjadi diskriminasi, kita wajib untuk proaktif mengadukan hal tersebut melalui saluran-saluran pengaduan yang disediakan berbagai lembaga,baik lembaga formal maupun berbagai LSM yang peduli atas masalah diskriminasi ini.