Laica Marzuki: “gendeng” jika Depdagri membatalkan Perda

0
42

(RDPU Badan Legislasi dengan Prof. Bagir Manan dan Prof. Laica Marzuki)

Rabu tertanggal 10 Februari 2010, Badan Legislatif mengadakan RDPU dengan Prof. Bagir Manan dan Prof. Laica Marzuki terkait perubahan undang-undang No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Dalam RDPU yang pada intinya mendengar masukan kedua pakar hukum ini terhadap draft RUU perubahan UU 10/2004, Prof. Bagir Manan mengomentari perlunya suatu kajian mendalam jika DPR akan mengadakan perubahan atau penggantian suatu Undang-Undang. Sedangkan Prof. Laica Marzuki kembali mempertegas hirarki peraturan perundang-undangan dimana peraturan dibawah undang-undang seharusnya mekanisme yang harus diambil ialah uji materiil ke Mahkamah Agung, sehingga bukan melalui pembatalan oleh depdagri jika terkait dengan perda.

Hal ini dikarenakan otomi daerah telah berlangsung di Indonesia. Adanya penyerahan wewenang untuk mengatur dan mengurus daerahnya masing-masing. Disinilah Prof. Laica sempat menyebutkan mekanisme pembatalan perda oleh depdagri merupakan suatu ‘kegendengan’ karena menelikung aturan hukum.

Selain permasalahan perda yang menjadi garis bawah dalam RDPU ini, timbul pula pembahasan mendalam mengenai keberadaan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (perpu) karena dirasa pengaturannya kurang, baik dalam konstitusi maupun dalam undang-undang. Sehingga Prof. Bagir Manan pun mengusulkan perlu adanya suatu undang-undang tertentu yang mangetur mengenai perpu tersebut.

Sedangkan mengenai uji materiil terhadap perpu, masih menurut pendapat Prof. Bagir Manan, tidaklah dapat dibenarkan. Hal ini dikarenakan perpu merupakan produk peraturan yang dikeluarkan pada keadaaan kegentingan yang memaksa atau dapat dikatakan dibuat menyimpangi keadaan yang normal karena keadaan darurat, sehingga peradilan atau hakim tidak dapat mengujinya. Mekanisme pengujian perpu oleh Mahkamah Konstitusi jelas melangkahi teori hukum yang ada.

Dalam Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 disebutkan adanya “persetujuan atau penolakan” oleh DPR terhadap perpu sedangkan terminology yang digunakan oleh konstitusi ialah “persetujuan”. Menanggapi permasalahan ini, Prof. Laica Marzuki teringat akan pendapat Almarhum Prof. Satjipto Rahardjo; UUD’45 merupakan tempat menyusu peraturan di Indonesia, bedanya payudara UUD’45 tersebut tidak memiliki puting (analogi yang timbul ialah kekacauan menara Babel yaitu munculnya berbagai redaksi/bahasa pada peraturan-peraturan). Peraturan di bawah konstitusi tidak secara tepat persis menggunakan redaksional yang ada dalam konstitusi, dan hal ini jelas merupakan suatu kudeta redaksional (meminjam istilah Prof. Saldi Isra).

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here