Sosok Basuki T. Purnama (Ahok) tampaknya mulai diperhitungkan dalam jagat perpolitikan di tanah air, pemikiran dan ide-ide segar tentang reformasi politik yang sering dilontarkannya berbuah semakin seringnya ia diundang dalam berbagai forum seminar dan diskusi. Kali ini undangan diskusi datang dari acara televisi “Save Our Nation” di Metro TV.
–
Dalam acara yang disiarkan secara langsung tersebut, tema yang kali ini diusung adalah mengenai pilkada dan money politics. Tentu kita sering sekali mendengar mengenai uang yang berseliweran dalam suatu pelaksanaan pilkada, baik yang tercatat secara resmi maupun yang “liar”. Untuk itulah maka episode kali ini save our nation mencoba menghadirkan diskusi mengenai solusi apa yang dapat ditawarkan untuk mengantisipasi praktek-praktek money politics dan juga untuk meningkatkan kualitas dari pilkada sebagai perwujudan dari kedaulatan rakyat.
–
Selain Basuki T. Purnama, narasumber lain dalam diskusi kali itu adalah Hadar N. Gumay, Putu Artha, serta Ferry Mursidan Baldan. Para narasumber mengungkapkan pemikirannya masing-masing mengenai problematika pilkada dari sudut pandang masing-masing. Putu Artha sebagai angota KPU, Hadar Gumay sebagai direktur Cetro, Ferry M. Baldan sebagai mantan anggota Komisi II DPR ketua pansus penyusun UU Pemilu, dan Ahok sebagai anggota DPR Komisi II yang juga memiliki pengalaman dua kali mengikuti Pilkada.
–
Melihat besarnya dana APBD/APBN yang dikeluarkan untuk membiayai kegiatan Pilkada, tentu diharapkan hasil dari Pilkada tersebut akan menghasilkan pemimpin yang berkualitas dan mampu mencerminkan aspirasi dari para pemilih. Ujungnya, tingkat kesejahteraan masyarakat dapat meningkat. Namun pada kenyataannya sejak Pilkada langsung pertama kali dilaksanakan tahun 2005, hingga kini tampaknya masih belum ditemukan titik terang yang mampu memberikan optimisme dalam konteks perkembangan demokrasi di Indonesia. Justru timbul masalah yang sangat mengkhawatirkan seperti masalah politik uang.
–
Dalam kesempatan singkat ini Ahok kembali menekankan pentingnya ada suatu peraturan yang melindungi kaum idealis dari persaingan tidak sehat dengan mantan koruptor. Menurutnya para mantan koruptor tentu telah memiliki kekuatan asset finansial yang kuat, dan mereka inilah yang mempunyai potensi yang tinggi untuk melakukan money politics dalam pilkada.
![]() |
![]() |
–
Oleh karena itu, apabila ada aturan seperti pembuktian terbalik harta kekayaan bagi calon peserta Pilkada, maka para calon koruptor tentu akan berpikir dua kali untuk mengikuti Pilkada tersebut. Dan kondisi idealnya adalah terjadi situasi dimana peserta pilkada adalah individu-individu yang BTP (Bersih, Transparan dan Profesional). Dan apabila peserta Pilkada diisi oleh individu yang idealis dan bukan para mantan koruptor, jelas potensi money politics dapat berkurang drastis.
–
Kurang Waktu
–
Ditemui seusai diskusi, Ahok cukup menyayangkan sempitnya waktu yang tersedia untuk membahas masalah yang cukup kompleks seperti money politics ini. Menurutnya idenya mengenai peraturan pemuktian terbalik harta kekayaan bagi calon peserta Pilkada belum sempat dipaparkannya secara lengkap. Sehingga ada kesan pembuktian harta kekayaan sama saja dengan peraturan bagi para pejabat publik untuk melaporkan harta kekayaannya kepada KPK.
–
Padahal menurut Ahok, peraturan yang telah ada tersebut sebenarnya belum maksimal, lebih jauh lagi beliau berpendapat bahwa peraturan tersebut kurang tegas dan belum menyentuh esensi masalah, hingga selama ini yang terjadi hanyalah menjadikan KPK sebagai “tukang stempel” laporan bagi para pejabat. Dan parahnya hingga saat ini para mantan koruptor masih tetap melenggang bebas untuk berkompetisi dalam Pilkada dan tentu saja mereka inilah nantinya yang akan banyak mempraktekan perilaku politik uang.
–
Bagi Ahok keadaan seperti ini akan sangat berbahaya bagi perkembangan demokrasi di Indonesia, apalagi saat ini tingkat kepercayaan masyarakat terhadap politisi sedang berada di titik nadir. Akibatnya timbul pendapat yang berkembang di masyarakat yang menganggap siapapun yang menjadi pejabat tak akan berpengaruh terhadap nasib mereka yang miskin. Apatisme seperti itulah yang menyebabkan praktek money politics tumbuh dengan subur di tengah masyarakat yang menganggap ajang Pilkada adalah satu-satunya saat dimana mereka “diperhatikan” oleh penguasa walaupun.
–
Untuk kemudian kembali dilupakan. Padahal, menurut Ahok, apabila ada peraturan yang melindungi kaum idealis untuk berkompetisi dalam pilkada yang mengedepankan kualitas, ide dan gagasan untuk mensejahterakan rakyat, bukannya adu kekuatan finansial, tentu pemmpin yang terpilih akan lebih terjamin kualitasnya, dan akhirnya tak selamanya orang miskin dilupakan. Inilah cita-cita demokrasi yang sehat dan berkualitas yang diidamkan semua orang.
–
Mengenai mahalnya biaya penyelenggaraan pilkada, Ia justru khawatir dengan mulai munculnya anggapan di masyarakat yang mulai memikirkan untuk kembali ke mekanisme pemilihan oleh DPRD. Menurutnya pemikiran seperti itu kurang tepat karena dengan menyerahkan pilihan pada “oknum” DPRD maka sesungguhnya rakyat kehilangan kesempatan untuk mendapatkan pemimpin yang terbaik yang mau bekerja keras untuk mereka. Ahok tetap berkeyakinan bahwa konsep pemilihan langsung oleh rakyat adalah mekanisme yang terbaik dalam konteks demokrasi dan perwujudan kedaulatan rakyat. Pada intinya menurut beliau yang perlu diperangi adalah para mantan koruptor yang bebas melenggang maju berkompetisi dalam Pilkada dan besar kemungkinan akan melakukan money politics yang merusak kemurnian demokrasi dalam wujud Pilkada langsung. Dan menurutnya saat ini salah satu solusi yang paling feasible adalah adanya peraturan pembuktian terbalik harta kekayaan bagi calon peserta Pilkada. (Iqbal)