1. Permasalahan keberadaan perda yang berada dalam hierarki peraturan perUUan.
Pasal 7 ayat (1) menyebutkan perda berada dalam hierarki dengan posisi yang paling bawah. Di dalam konstitusi UUD NRI 1945 pasal 24A ayat (1) menyebutkan peraturan di bawah UU diuji oleh MA. Artinya Perda oleh UU 10/04 dimaksudkan diuji oleh MA. Sedangkan dalam Pasal 145 ayat (2) UU 32/04 disebutkan perda dibatalkan pemerintah jika melanggar merit review dan legalitasnya. Artinya terdapat dua mekanisme pengujian perda yaitu executive review melalui mendagri dan judicial review melalui MA. Menjadi pertanyaan, proses hukum seperti apa yang ideal?
Jika sebuah perda diuji dan dibatalkan oleh pemerintah seperti maksud UU 32/04 maka ide sentralistik ditakutkan akan berkempang lagi. Sedangkan jika perda diuji oleh MA secara langsung tanpa pengujian oleh pemerintah terlebih dahulu ditakutkan negara Indonesia masuk dalam semangat federalisme. Dimana sebuah kabupaten/kota/provinsi dapat menggugat pemerintah dalam arti luas (eksekutif dan legislatif).
–
Berpaling dari teori pemerintahan daerah. Negara kesatuan seharusnya bersusun tunggal atau tidak ada negara di dalam negara. Tidak mungkin sebuah local government menggugat pemerintah pusat yang mana pada dasarnya merupakan pembentuk local government. Dapat dianalogikan tidak mungkin manusia sebagai ciptaan menggugat kedaulatan Tuhan sebagai pencipta. Selain itu, keberadaan dari DPRD pada hakikatnya bukanlah lembaga legislatif (pembuat UU) melainkan tetap merupakan bagian di bawah eksekutif (presiden). Sehingga tidak dimungkinkan adanya perda yang bertentangan dengan aturan nasional.
–
Menurut pendapat kami, norma yang telah diatur dalam UU 32/04 sudah ideal. Permasalahanny sekarang ialah mengenai pengaturan di dalam revisi UU 10/04 sehingga tidak menimbulkan polemik. Menurut kami, pendapat dari Prof. Hadjon merupakan masukan yang paling baik dalam pengaturan hirarki perUUan. Sehingga perda masuk diranah peraturan (produk eksekutif dalam rangka regulasi).
–
2. Permasalahan mengenai perpu
Pengaturan mengenai perpu seharusnya diatur dengan UU tersendiri. Hal ini disesuaikan dengan Pasal 12 UUD NRI 1945 dimana disebutkan “….syarat-syarat dan akibat keadaan bahaya ditetapkan dengan undang-undang.”, maka pengaturan mengenai hal ihwal kegentingan yang memaksa (dalam diartikan pula keadaan bahaya) harus dilakukan dengan undang-undang tersendiri. Hal ini dikarenakan pemakaian kata dengan dan bukan kata dalam. Implikasinya sesuai dengan pendapat Prof. Jimly kedepannya jika syarat yang akan dituangkan kedalam RUU tersendiri tersebut, dapat saja perpu melanggar konstitusi kecuali Pasal 28I UUD NKRI tahun 1945
–
Selain itu, dikarenakan Perpu dikeluarkan dalam keadaan kegentingan yang memaksa maka mekanisme pengujian terhadap perpu pun harus dengan cara yang diluar dari kebiasaan. Hingga kini belum terdapat mekanisme pengujian perpu. Di dalam UUD jika perpu tidak disetujui maka perpu itu dicabut. Sedangkan dalam UU 10/04 ada klausul perlunya penolakan dan dicabut dengan UU. Dalam pendapat prof. Jimly mekanisme pencabutan perpu seharunya cukup dengan kepres karena prosedur pembuatan tidak dengan kerjasama bersama DPR. (Dwi Putra Nugraha – Peneliti CDT)
Salam pak,dengan tulisan ini saya hanya terbayang kenapa begitu banyak perda terjaring dan menjadi mubazir…. terlepas bagaimana cara menjaringnya. Menurut saya kalau konsep awal dan roh dari adanya perda2
yang dibuat tetap dalam konsep melengkapi peraturan perudangan2an secara teknis/praktik dan tidak dilandasi untuk sekedar genjot pad/sikon daerah, hal itu gak perlu terjadi.Ada kewajiban juga bagi eksekutif dan legislatif untuk betul2 memahami implikasi dari perdanya secara hukum supaya bisa menjadi perda yang baik dan tidak mubazir. salam.