Siaran Pers: Menyikapi Rencana Pembentukan Rumah Aspirasi Bagi Anggota DPR

0
99

(04/08) — Sorotan negatif dari publik terhadap pelaksanaan peran dan kinerja Anggota DPR terus ramai silih berganti. Setelah wacana dana aspirasi yang kontroversial, tingkat kehadiran yang minim pada rapat paripurna DPR, kali ini publik menyoroti usulan dari Badan Urusan Rumah Tangga (BURT) tentang pembangunan rumah aspirasi bagi setiap anggota DPR. Diusulkan untuk memberikan dana sebesar Rp.200 juta per-anggota sehingga total untuk 560 anggota total mencapai Rp.112 Milyar.
Asal Muasal Wacana Rumah Aspirasi
Ide pendirian rumah aspirasi sesungguhnya berawal dari Laporan Hasil Tim Kajian Peningkatan Kinerja DPR yang dikeluarkan Desember 2006. Laporan itu menyebutkan satu rekomendasi terhadap masalah kurangnya komunikasi antara anggota DPR dengan konstituen. Rekomendasi itu berupa ide pembangunan rumah aspirasi. Sekarang ide ini kembali bergulir sebagai rekomendasi Panitia Kerja (Panja) BURT setelah mereka melakukan studi banding ke Jerman dan Perancis dan melihat penerapan mekanisme rumah aspirasi di sana.

Pelurusan Konsep Rumah Aspirasi
Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3) tidak menyebut secara eksplisit istilah “Rumah Aspirasi”. Konsep tersebut dianggap sebagai turunan dari peran anggota DPR dalam menyerap dan memperjuangkan aspirasi masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 huruf s dan Pasal 79 huruf i UU MD3. Istilah “Rumah Aspirasi” sendiri baru dapat ditemukan pada Peraturan DPR RI Nomor 1 Tahun 2009 tentang Tata Tertib.

Tata Tertib DPR menyebutkan bahwa rumah aspirasi merupakan “kantor bersama anggota, tempat penyerapan aspirasi rakyat yang berada di daerah pemilihan anggota yang bersangkutan” (Pasal 1 angka 15).

Tata Tertib juga menegaskan bahwa pendirian Rumah Aspirasi bersifat opsional/pilihan. Hal ini jelas terlihat dalam Pasal 203 ayat (4) Tata Tertib yang berbunyi: “Selain dengan cara sebagaimana dimaksud pada ayat (2), anggota dalam satu daerah pemilihan dapat membentuk rumah aspirasi”. Kata “dapat” dalam pasal tersebut menjelaskan bahwa pendirian Rumah Aspirasi merupakan opsi pelaksanaan representasi rakyat selain dari Kunjungan Kerja.

Dari pengaturan Tata Tertib tersebut jelas terlihat bahwa Rumah Aspirasi merupakan suatu mekanisme yang bersifat alternatif (pilihan), dan bentuknya adalah suatu Kantor Bersama (bukan per-anggota).

Fakta Pengelolaan & Pengawasan Anggaran DPR yang Lemah
Ide pembentukan Rumah Aspirasi memerlukan kemampuan pengelolaan dan pengawasan anggaran yang baik agar tidak menjadi ajang dan arena penyimpangan anggaran yang baru. Kemampuan ini yang belum mampu dibuktikan ada di DPR. Sebagai contoh, masih ditemukan penggunaan dana reses yang tidak transparan dan jelas pertanggungjawabannya, yang ini diakibatkan ketiadaan desain dan evaluasi masa reses. Bahkan, biaya perjalanan dinas DPR pada periode 2007-2008 sebesar Rp 341,34 miliar tidak dapat diyakini kebenarannya hingga kemudian BPK menyatakan disclaimer.

Contoh lainnya adalah proyek renovasi Rumah Jabatan Anggota (RJA) DPR (di Kalibata) yang menelan dana Rp 300 miliar lebih dan dilakukan sejak 2007 lalu, namun hingga sekarang belum juga selesai. Tertundanya penyelesaian proyek renovasi berimplikasi pada keuangan negara, karena negara juga yang harus menanggung biaya sewa rumah bagi setiap anggota DPR sebesar Rp 15 juta per bulan. Padahal proyek itu seharusnya sudah selesai dan bisa langsung ditempati oleh anggota DPR periode 2009-2014 yang dilantik pada 1 Oktober 2009 silam.

Berdasarkan pemaparan data dan fakta di atas, maka PSHK – Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia mendesak DPR-RI untuk:

1.   Membatalkan rencana pengadaan rumah aspirasi dan alokasi anggarannya bagi setiap anggota DPR. Tanpa mengabaikan peran Anggota DPR untuk menyerap aspirasi rakyat (Pasal 71 huruf s dan Pasal 79 huruf i UU MD3),  sementara kemampuan pengelolaan anggaran yang baik belum tercapai, sebenarnya fungsi yang diemban rumah aspirasi dapat dijalankan melalui mekanisme mesin partai politik yang ada. DPR masih harus membenahi aspek tata kelola anggaran, pengawasan, dan mekanisme pertanggungjawaban sebagai prasyarat kondisi agar terhindar dari penyimpangan anggaran.

2.   Mengoptimalkan mekanisme Kunjungan Kerja dan pertanggungjawaban pengelolaan dananya. Selama ini DPR belum optimal dalam pelaksanaan Kunjungan Kerja yang telah dianggarkan sebesar Rp.142 Juta/tahun per-anggota. Sebelum melaksanakan opsi pembentukan Rumah Aspirasi, DPR perlu memperbaiki terlebih dahulu berbagai aspek dalam kunjungan kerja seperti efektivitas kunjungan kerja dan akuntabilitas penggunaan dananya.

3.       Meluruskan dan menyampaikan penjelasan kepada publik mengenai konsep rumah aspirasi termasuk mekanisme pembiayaan dan pengelolaannya. Konsep rumah aspirasi pada dasarnya merupakan mekanisme alternatif dan bukan menjadi sebuah keharusan bagi anggota DPR (Pasal 203 (4) Tata Terib DPR). Selain itu, sesuai ketentuan Pasal 1 angka 15 Peraturan Tata Tertib DPR, rumah aspirasi dimaksudkan sebagai “Kantor Bersama”, bukan diperuntukkan untuk setiap Anggota DPR.

Salam

Ronald Rofiandri

—-

TANGGAPAN BTP Terkait dengan Rumah Aspirasi

Saya secara pribadi lebih setuju masing-masing kantor Partai yang jumlahnya sangat banyak mulai dari tingkat pusat sampai daerah adalah rumah aspirasi, apalagi dengan adanya Revisi UU tengang Partai Politik yg mewajibkan tiap Partai Politik disegala tingkatan memiliki Kantor.

Ide Rumah Aspirasi merupakan akal-akalan yang ujung-ujungnhyan duit juga ! Kiat mempunyai nomor HP dan sebagian besar Anggota Dewan juga memiliki website/blog pribadi yang merupakan salah satu alat sebagai tempat menyalurkan aspirasi dari masyarakat luas. (BTP)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here