Berbeda-beda Tetapi Dipaksa Sama (bukan tetapi tetap satu jua)

3
209

(21/08)—Satu hari menjelang bulan ramadhan dan tujuh hari sebelum hari kemerdekaan RI yang ke-65, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengeluarkan instruksi untuk memberikan perhatian khusus terkait disharmonisasi kerukunan umat beragama.[1] Hal ini mengemuka berhubungan dengan kasus penyerangan massa terhadap kegiatan ibadah jemaat HKBP Pondok Indah Timur-Bekasi.[2] Kasus penyerangan terhadap kegiatan ibadah jemaat HKBP ini merupakan bagian kecil dari sekumpulan kasus yang terjadi pada tahun 2010.[3]

Tercatat dalam laporan Setara Institute, sejak memasuki tahun 2010, eskalasi penyerangan terhadap rumah ibadah, khususnya terhadap jemaat Kristiani terus meningkat jika dibandingkan pada tahun sebelumnya. Pada tahun 2008, terdapat 17 tindakan; pada tahun 2009, terdapat 18 tindakan pelanggaran pelanggaran yang menyasar jemaat Kristiani dalam berbagai bentuk. Dan, pada tahun 2010 sejak Januari-Juli, sebagaimana dalam review tematik ini tercatat 28 peristiwa pelanggaran kebebasan beragama/berkeyakinan.

Secara khusus tulisan ini akan mengangkat permasalahan mengenai keberadaan Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No 9 Tahun 2006/No. 8 Tahun 2006 Tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala/Wakil Kepala Daerah Dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama, dan Pendirian Rumah Ibadat (selanjutnya disebut PBM) yang mencabut SKB No 01/BER/mdn-mag/1969 tentang “Pelaksanaan Tugas Aparatur Pemerintahan dalam Menjamin Ketertiban dan Kelancaran Pelaksanaan Pengembangan dan Ibadat Agama oleh Pemeluk-Pemeluknya” atau yang lebih dikenal dengan sebutan SKB 2 menteri. SKB 2 Menteri No. 01 Tahun 1969 itu ditandatangani oleh Menteri Agama KH Moh. Dahlan dan Menteri Dalam Negeri Amir Machmud. SKB ini disinyalir sebagai dasar hukum yang digunakan oleh berbagai macam golongan untuk menutup mendiskreditkan dan memojokkan kehidupan beragama/bergereja umat Kristiani. Soal yang berkaitan dengan pembangunan gereja diatur dalam pasal 4 SKB tersebut:

(1) Setiap pendirian rumah ibadah perlu mendapatkan izin dari Kepala daerah atau Pejabat Pemerintah di bawahnya yang dikuasakan untuk itu.

(2) Kepala Daerah atau pejabat yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini memberikan izin yang dimaksud setelah mempertimbangkan (a) pendapat Kepala Perwakilan Departemen Agama setempat, (b) planologi (c) kondisi dan keadaaan setempat.

(3) Apabila dianggap perlu, Kepala Daerah atau pejabat yang ditunjuknya itu dapat meminta pendapat dari organisasi-organisasi keagamaan dan ulama/rohaniawan setempat.

Dalam pertemuan dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Ketua Persekutuan Gereja Indonesia (PGI) Pdt. Nathan Setiabudi meminta SKB 2 Menteri itu dicabut agar memudahkan kalangan Kristen mendirikan rumah ibadah. Dalam perkembangannya akhirnya diterbitkanlah PBM yang mencabut SKB 2 Menteri tersebut. Akan tetapi, pertanyaannya apakah pengaturan mengenai pendirian tempat beribadah secara khusus atau mengenai perlindungan kebebasan umat beragama secara umum benar adanya diatur dalam sebuah SKB atau PBM? Apakah batang tubuh PBM (jika PBM dapat dipertangungjawabkan keberadaaannya) sesuai dengan tujuannya yang terkandung dalam konsiderans PBM itu sendiri?

Diubahnya terminologi SKB menjadi PBM jika dilihat dari perspektif hukum Pasal 7 Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (selanjutnya disebut UU 10/04) dapat dibenarkan. Istilah ‘keputusan’ pasca UU 10/2004 hanya digunakan untuk sebuah penetapan seperti pengangkatan dan pemberhentian seseorang dalam jabatan, bukan sesuatu yang berisi norma yang bersifat mengatur. SKB lebih sering berada dalam lapangan hukum administrasi negara yang merupakan keputusan tata usaha negara (beschikking) dan bersifat individual, final dan konkret. Sehingga penggunaan terminologi Peraturan Bersama Menteri sudah legal dan masuk dalam hierarki peraturan perundang-undangan (Pasal 7 ayat (4) UU 10/2004).

Peraturan Menteri disebut dalam Pasal 7 ayat (4)[4]. Dalam Pasal 7 ayat (4) ditegaskan bahwa jenis peraturan perundang-undangan, selain yang terdapat di dalam hierarki tetap diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Peraturan Menteri serta peraturan lain yang dikeluarkan oleh lembaga atau pejabat negara lain, termasuk dalam kategori ini. Peraturan Menteri dapat membuat peraturan walaupun pendelegasian tidak secara tegas atau tidak diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Artinya, menteri dapat menetapkan peraturan  yang tidak merupakan delegasi peraturan perundang-undangan yang di atasnya. Hal ini didasarkan pada tertib penyelenggaraan pemerintahan yang diinginkan dalam rangka mempermudah pelaksanaan administrasi atau kepentingan prosedural lainnya.  Peraturan menteri ini biasa disebut peraturan menteri mandiri, termasuk dalam peraturan kebijakan (policy rules atau beleidsregel), bersumber dari kewenangan diskresi (Freies Ermessen).

Freise Ermessen adalah kewenangan yang sah untuk turut campur dalam kegiatan melaksanakan tugas-tugas menyelenggarakan kepentingan umum, membuat peraturan tentang hal-hal yang belum ada pengaturannya, atau mengimplementasikan peraturan yang ada sesuai dengan kenyataan. Pencakupan demikian disebut discretionary power, implikasinya terhadap perundang-undangan ialah kewenangan sendiri untuk membuat peraturan perundang-undangan yang setingkat dengan undang-undang tanpa meminta persetujuan parlemen terlebih dahulu (Pasal 22 UUD 1945 yaitu perpu), kewenangan karena delegasi perundang-undangan (wetgevings), dan droit function yaitu kekuasaan untuk menafsirkan (baik memperluas maupun mempersempit) sendiri mengenai ketentuan-ketentuan.

Meskipun dimungkinkannya terdapat Peraturan Menteri tanpa kewenangan pendelegasian dari perundangan-undangan (wetgevings) yang lebih tinggi yang termasuk dalam droit function, terdapat syarat yang tidak dapat dilanggar oleh Peraturan Menteri. Syarat itu ialah peraturan menteri tidak dapat membatasi HAM. Dalam kasus ini secara jelas PBM telah membatasi hak kebebasan beragama di Indonesia. Pembatasan itu tertuang dalam mekanisme pendirian rumahibadat yang tertuang dalam BAB IV Pasal 13 sampai Pasal 17 Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No 9 Tahun 2006/No. 8 Tahun 2006, terutama syarat-syarat khusus pendirian rumah ibadat yang acapkali menjadi senjata ampuh untuk menggagalkan pendiriannya rumah ibadat[5], yaitu:

  1. daftar nama dan Kartu Tanda Penduduk pengguna rumah ibadat paling sedikit 90 (sembilan puluh) orang yang disahkan oleh pejabat setempat sesuai dengan tingkat batas wilayah sebagalmana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (3);
  2. dukungan masyarakat setempat paling sedikit 60 (enam puluh) orang yang disahkan oleh lurah/kepala desa;

c.   rekomendasi tertulis kepala kantor departemen agama kabupaten/kota; dan

d.    rekomendasi tertulis FKUB kabupaten/kota.

Keempat syarat khusus ini jika didalami dan dilihat dari sudut fakta aktual di lapangan sangatlah sulit untuk diterapkan. Mencari dukungan masyarakat paling sedikit 60 orang dan disahkan kepala desa, ternyata menjadi ajang jual beli dan praktik teror-meneror. Jika dibandingkan dengan syarat mendirikan tempat rekreasi atau tempat hiburan yang acapkali ijin tersebut disebut dengan ijin URHU, syarat-syaratnya pun tidak seberat dari 4 syarat khusus pendirian tempat ibadah dalam PBM. Contoh saja ijin URHU[6] di kabupaten Sleman, Yogyakarta yaitu:

1. Persetujuan Prinsip

a. Melampirkan salinan/fotocopy pendirian Bdan Hukum/Badan Usaha.

b. Melampirkan salinan/foto copy Nomor Pokok Wajib Pajak perorangan, badan

hukum/badan usaha.

2. Ijin Usaha

a. Foto copy KTP pemohon/pemilik

b. Foto copy Ijin Gangguan (HO)

c. Foto copy persetujuan prinsip

d. Foto copy Ijin Mendirikan Bangunan

e. Apabila pemohon ijin bukan selaku pemilik perusahaan/usaha agar dilampiri

dengan surat kuasa.

f. Untuk WNI keturunan asing agar melampirkan SKBI/Surat Ganti Nama.

g. Mengisi formulir surat pernyataan kerelaan iin dicabut apabila dalam

pelaksanaannya tidak sesuai dengan ijin yang diberikan.

h. Bagi perusahaan yang berbentuk badan hukum harus dilampiri (salinan) akta

notaris.

i. Melampirkan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP).

Sungguh menyedihkan jika bangsa yang dinyatakan sebagai bangsa yang beragama ini lebih memudahkan berdirinya tempat hiburan ketimbang tempat beribadah. Secara logika tentu saja tempat beribadah menjadi tempat memupuk moral dan karakter seorang manusia. Berbeda dengan tempat hiburan yang ditujukan untuk mencari hiburan yang kerapkali disalahgunakan untuk perbuatan-perbuatan tercela.

Syarat umum dan khusus dalam PBM untuk mendirikan sebuah tempat ibadah sekali lagi merupakan mekanisme pembelengguan hak asasi manusia khususnya dalam kebebasan beragama. Dalam UUD NRI 1945 Pasal 28E ayat (1) dan Pasal 29 ayat (2) secara terang disebutkan setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya dan negara berkewajiban untuk melindungi kemerdekaan ini. Hal ini disebutkan pula dalam bagian konsiderans PBM yang diartikan sebagai tujuan dari PBM tersebut. Akan tetapi, PBM yang memiliki tujuan baik tersebut ternyata melenceng dalam batang tubuh terlebih lagi pelaksanaannya.

Sebagaimana tertuang dalam Pasal 5 UU 10/04, dalam membentuk Peraturan Perundang-undangan harus berdasarkan pada asas Pembentukan Peraturan Perudang-undangan yang baik antara lain kejelasan tujuan, dapat dilaksanakan, kedayagunaan dan kehasilgunaan, dll. Akan tetapi, PBM ini dapat dikatakan sebagai sebuah beleidsregel yang tidak dapat dilaksanakan/tidak feasible karena tidak sesuai dengan keadaan di masyarakat. Contoh aturan dalam PBM yang tidak melindungi kaum minoritas selain syarat khusus pendirian rumah ibadah ialah aturan mengenai komposisi Forum Kerukunan Umat Beragama (selanjutnya disebut FKUB) yang terdapat dalam Pasal 10 PBM sebagai berikut:

(1)   Keanggotaan FKUB terdiri atas pemuka-pemuka agama setempat.

(2)   Jumlah anggota FKUB provinsi paling banyak 21 orang dan jumlah anggota

FKUB kabupaten/ kota paling banyak 17 orang.

(3)   Komposisi keanggotaan FKUB provinsi dan kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan berdasarkan perbandingan jumlah pemeluk agama setempat dengan keterwakilan minimal 1 (satu) orang dari setiap agama yang ada di provinsi dan kabupaten/kota.

(4)   FKUB dipimpin oleh 1 (satu) orang ketua, 2 (dua) orang wakil ketua, 1 (satu) orang sekretaris, 1 (satu) orang wakil sekretaris, yang dipilih secara musyawarah oleh anggota.

FKUB dalam kenyataannya didominasi oleh agama mayoritas terutama dalam sebuah daerah yang terdapat sebuah agama mayoritas. Hal ini tentu saja membawa dampak yang tidak kecil dalam setiap keputusan FKUB, alih-alih adil putusan yang diambil ternyata hanya menguntungkan pihak mayoritas. Semua ini bukanlah sekedar isapan jempol semata, seharusnya menteri dalam negeri bersama menteri agama mengerti akan hal ini, sesuatu yang tidak dapat diterapkan/dilaksanakan.

Statistik pertumbuhan rumah ibadah yang disebutkan dengan perhitungan prosentasi bukanlah sebuah ukuran yang tepat apalagi jika menggunakan dasar hitungan angka kecil. Jumlah rumah ibadah pura yang dulunya berjumlah 2 buah dapat dikatakan naik 200% jika bertambah 4 buah pura, sedangkan masjid yang dahulunya 500 buah akan bertumbuh 1% jika bertambah sebanyak 5 buah masjid. Tentu logika ini merupakan pembodohan dan kebohongan publik.

Desakan berbagai elemen sejak lama pada parlemen untuk segera membuat aturan yang memberi kebebasan kepada umat beragama, bukan justru mengekang dengan syarat-syarat yang diskriminatif, harus terus didengungkan, diperjuangkan, dan direalisasikan. Dengan adanya sebuah undang-undang kebebasan beragama diharapkan segala bentuk sistem aturan hukum yang diskriminatif seperti Penetapan Presiden No. 1 Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan atau Penodaan Agama, Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No. 1 Tahun 1979 tentang Tata Cara Pelaksanaan Penyiaran Agama dan Bantuan Luar Negeri kepada Lembaga Keagamaan di Indonesia, Keputusan Menteri Agama No. 70 Tahun 1978 tentang Pedoman Penyiaran Agama, Perda-perda syariat dan perda injil dapat segera dicabut dan hilang dari tata hukum Indonesia sebagai bangsa yang mengutamakan persatuan di tengah perbedaan. Sehingga pilar kebangsaan Bhinneka Tunggal Ika tetap hidup dan nyata di sanubari rakyat Indonesia dan bukan menjadi sekedar dongeng usang yang lebih tepat ditempatkan di dalam museum kuno.

Dwi Putra Nugraha, S.H.

(Peneliti CDT)


[1] http://nasional.kompas.com/read/2010/08/10/18094656/Presiden.Minta.Perhatian.Khusus

[2] Lihat kronologis di http://pormadi.wordpress.com/2010/08/12/kronologis-penyerangan-massa-terhadap-kegiatan-ibadah-jemaat-hkbp-bekasi/

[3] Lihat lampiran dalam laporan semester pertama yang dilakukan oleh Setara Institute untuk setiap detail kasus. Laporan dapat diakses di http://www.setara-institute.org/content/where-our-place-worship

[4] Pasal 7 ayat (4) berbunyi: “Jenis Peraturan Perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi.”

Penjelasannya : Jenis Peraturan Perundang-undangan selain dalam ketentuan ini, antara lain, peraturan yang dikeluarkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, Bank Indonesia, Menteri, kepala badan, lembaga, atau komisi yang setingkat yang dibentak oleh undang-undang atau pemerintah atas perintah undang-undang, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat.

[5] Pasal 14 ayat (2) Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No 9 Tahun 2006/No. 8 Tahun 2006 Tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala/Wakil Kepala Daerah Dalam Pemeliharaan Kerukunan Uma Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama, dan Pendirian Rumah Ibadat.

[6] Peraturan Daerah Kabupaten Tingkat II Sleman No. 22 Tahun 1996 tentang Usaha Rekreasi dan Hiburan Umum

3 COMMENTS

  1. Masing masing pihak harap bisa menahan diri jangan mudah dihasut.Indonesia negara yang majemuk negara yang kaya raya baik sumber daya alam dll.Banyak pihak yang ingin memecah belah kerukunan bangsa dengan berbagai cara.Para pendiri negara ini udah membuat rumus yang sangat sempurna yaitu bhineka tunggal ika yang berarti berbeda tapi tetap satu.Kita jangan membesarkan perbedaan tapi Indonesia besar karena perbedaan.MERDEKA!

  2. ini oendapat anda pribadi atau sebagai wakil rakyat (pejabat publik) di dapil anda ya ?
    SKb tsb tijinjau dari yuridis formal maupun sosiologis nya tidak ada persoalan. logika hukumnya, ketika perbuatan salah (gereja liar) dilakukan lalu apakah aturan yang melarang perbuatan tersebut dipermasalahkan..?

    bagaimana bila seluruh syarat tormil dan meterial ersebut telah dipenuhi oleh warga, namun tidak disetujui dikarenakan pembuat kebijakan dan pengurus perizinan berbeda agama dengan jenis rumah ibadah yang diajukan oleh umat , apakah ini merupakan pelanggaran HAM yang terang benderang (studi kasus ada)

  3. Harus ada gerakan mencabut SKB 2 Menteri. Menurut pendapat saya, penerbitan ijin apapun di negara ini sebaiknya tidak perlu lagi dikaitkan dengan persetujuan lingkungan sekitar yg diurus oleh pihak pemohon ijin. Harusnya Pemerintah sendiri harus mengoptimalkan aparatnya untuk mengevaluasi perlu atau tidaknya ijin diterbitkan. Mengapa? Karena kewenangan penerbitan ijin dimiliki oleh pemerintah, mengapa harus ada persetujuan lingkungan setempat? Sudah banyak kasus yg terjadi akibat tidak diperolehnya ijin lingkungan ini. Bagi kaum minoritas di suatu lingkungan tertentu pasti akan sulit mendapatkan ijin dari yg mayoritas.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here