Penyumbang Devisa (Negara) Yang Terlantar

0
52

(21/08)—TKI di luar negeri termasuk penyumbang devisa terbesar kedua di Indonesia setelah Migas. Namun belum memperoleh perhatian dan perlindungan (hukum dan/atau HAM) yang memadai dari penyelenggara Negara Republik  Indonesia yang nota bene sudah merdeka 65 tahun tersebut. Pemerintah dan DPR mencoba mengatasi masalah ini dengan melahirkan UU No. 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri. Namun UU tersebut belum semanjur yang diharapkan.

Menurut Da’i Bachtiar Duta Besar RI untuk Malaysia di Badan Legislasi DPR RI tanggal 19 Agustus 2010 mengatakan ada beberapa permasalahan terkait TKI di luar negeri, antara lain:

  1. Pihak Tenaga Kerja
    1. Jenis pekerjaan hampir 90% pada sektor formal ‘unskilled, dan informal (PLRT), atau pekerjaan yang sifatnya “dirty,dangerous, diffivult”.
    2. Jenis pekerjaan ini rentan terhadap perlakuan ,unfair, dari pengguna/majikan.
    3. Latar belakang pendidikan rendah (masih ada yang buta huruf).
    4. Perasaan kedekatan wilayah maupun kekerabatan dengan TKI pendahulu.
  1. Pihak Perusahaan Penyedia Jasa TKI
    1. Pola rekrutmen yang belum sepenuhnya terarah (asal dapat orang).
    2. Persiapan skill yang terbatas, bahkan tempat penampungan untuk sekadar menunggu.
    3. Ada yang menyiapkan dokumen yang tidak sesuai dengan data diri dan alamatnya.
    4. Segala biaya yang dikeluarkan perusahaan akan dibebankan kepada TKI.
    5. Lebih pada ,profit oriented, aspek perlindungan TKI kurang. Contoh: ditemukan TKI terlantar di terminal/airport.
  1. Pihak Pemerintah Indonesia
    1. Pengawasan dan bimbingan terhadap perusahaan jasa TKI belum efektif.
    2. Penyiapan tenaga termpil oleh pemerintah/Pemda dengan pola BLK kurang dan belum penuhi kebutuhan, banyak BLK yang menganggur.
    3. Adanya pembebanan biaya oleh perusahaan terhadap usaha pemerintah dalam pengaturan dan pengawasan akan akan menjadi beban TKI.
    4. Dalam menghadapi pemerintah Malaysia, TKI bidang tertentu (Ladang, konstruksi, PLRT) belum dijadikan posisi tawar tinggi, padahal sebetulnya pihak Malaysia sangat tergantung.
    5. Koordinasi antara Depnakertrans dengan BNP2TKI belum efektif.
  1. Pihak Pemerintah Malaysia
    1. Menempatkan TKI diposisikan lebih membutuhkan lapangan pekerjaan, walaupun sebaliknya, karfena TKI lebih disukai majikan/pengguna karena faktor agama, bahasa, budaya yang sama, dan produktivitas TKI.
    2. Mempedomani MOU (Indonesia – Malaysia), dimana ada hal-hal yang perlu direvisi, seperti: paspor TKI yamg dipegang majikan, upah tidak diatur, adanya ‘Calling devisa’, jam kerja dan waktu istirahat untuk pekerja informal (PLRT).
    3. Tidak tegas terhadap pengguna yang mempekerjakan TKI illegal, walaupun undang-undangnya melarang. Banyak majikan mempekerjakan TKI illegal karena murah dan kalau sudah tidak memerlukan akan melaporkan kepada aparat pemerintah untuk menangkap TKI tersebut.
    4. Pengawasan terhadap aparat di lapangan kurang, terjadi pemerasan oleh aparat terhadap TKI.

Sedangkan Dr. Musni Umar, SH, M.Si pada kesempatan yang sama mengatakan bahwa permasalahan TKI muncul karena UU No. 39 Tahun 2004 masih memiliki berbagai kelemahan, sehingga perlu direvisi. Lebih lanjut Musni memaparkan bahwa kelemahan UU tersebut dalam pelaksanaannya di lapangan antara lain; dualisme pelayanan, TKI dijadikan komoditas pemerasan, perekrutan dan seleksi calon tenaga kerja, kualitas TKI dan perlindungan hukum dan jaminan asuransi.

Badan Nasional  Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) memaparkan juga bahwa permasalahan TKI di luar negari tidak terlepas dari masalah regulasi yang multitafsir dan tidak sinkron, dualisme pelayanan penempatan, sistem pelayanan penempatan yang belum terstandar, rekrutmen yang masih mengandalkan calo/sponsor, pelaksanaan pelatihan kerja yang belum terstandar, khususnya Sektor Informal, pelaksanaan pemeriksaan kesehatan yang belum terstandar, sosialisasi yang belum menjangkau semua wilayah, penyebaran TKI belum sepenuhnya tercatat di perwakilan RI, perlindungan hak dan perlindungan hukum belum maksimal di luar negeri, dan pindah majikan antar negara oleh sindikat Internasional.

Beberapa catatan permasalahan tersebut atas hanya sebagian kecil dari segudang permasalahan yang sampai saat ini masih menghantui para TKI kita. Masyarakat diharapkan berperan aktif memberikan saran, masukan bahkan kritikan dalam upaya revisi UU No. 39 Tahun 2004 tersebut yang saat ini sedang dibahas di Badan Legislasi DPR RI. (Kamillus Elu, SH).

Selengkapnya mengenai bahan masukan terkait Revisi UU No. 39 Tahun 2004 dimaksud  dapat diklik di sini.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here