Amandemen Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menguatkan konsep negara hukum (rechstaat) di Indonesia. Hal ini sebagaimana tertuang dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menegaskan bahawa “Negara Indonesia adalah negara hukum”. Tentu saja pasal ini membawa implikasi kedudukan hukum yang sama bagi siapapun di Indonesia (equality before the law) yang tercermin dengan bentuk perlakuan yang sama di depan hukum dan jaminan setiap orang memiliki akses keadilan yang layak (justice for all).
Hak setiap orang untuk mendapatkan pengakuan, jaminan, kepastian, perlindungan, serta perlakuan yang adil di depan hukum ini merupakan tanggung jawab negara terutama pemerintah sebagaimana yang diatur dalam Pasal 28I ayat (4) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Oleh karenanya, negara dalam hal ini DPR RI mengajukan sebuah Rancangan Undang-Undang yang mengatur mekanisme, ruang lingkup, badan penyelenggara bantuan hukum agar akses keadilan bagi seluruh rakyat dapat tercapai. Pengaturan dalam tingkat Undang-Undang diyakini penting dan mendesak karena Peraturan Pemerintah No. 83 Tahun 2008 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pemberian Bantuan Hukum Secara Cuma-Cuma dirasakan belum mengenai sasaran yaitu akses keadilan yang merata bagi seluruh rakyat Indonesia.
Rancangan Undang-Undang Bantuan Hukum (selanjutnya disebut RUU Bankum) yang menjadi usul inisiatif DPR RI dan dimotori oleh Badan Legislasi DPR RI, kini memasuki tahapan pembahasan dengan pemerintah. Dalam rapat kerja Badan Legislasi DPR RI dengan Menteri Hukum dan HAM serta Menteri Pemberdayaan Aparatur Negara tertanggal 1 September 2010 disampaikan beberapa catatan pemerintah mengenai RUU Bankum agar dapar dibahas secara mendalam. Adapun catatan-catatan itu antara lain:
- Pengaturan kriteria ‘orang miskin’ yang dapat diberikan bantuan hukum (vide Pasal 4 RUU Bankum)
- Pihak-pihak yang dapat memberikan bantuan hukum dan ketentuan mengenai syarat dan tata cara pemberian bantuan hukum (vide Pasal 5 RUU Bankum)
- Kedudukan, kelembagaan, dan pembiayaan Komisi Nasional Bantuan Hukum (selanjutnya disebut komnas bankum) dalam struktur ketatanegaraan Indonesia serta beban yang ditimbulkan dalam APBN. (vide BAB VII dan BAB VIII RUU Bankum)
Secara menyeluruh pemerintah (MenkumHAM) telah menyoroti jantung permasalahan dalam RUU Bankum ini. Ketiga poin di atas merupakan pokok permasalahan yang harus dikupas tuntas demi terwujudnya keadilan yang merata dan akes keadilan yang mudah didapatkan. Sayangnya sistem perwujudan dari bantuan hukum ini ‘naga-naganya’ menciptakan beberapa masalah baru. Bagi penulis dapat dimulai dari syarat dan framing pihak yang dapat menerima bantuan hukum. Dalam pasal 4 RUU Bankum ini disebutkan selain orang miskin bantuan hukum diberikan kepada orang/ kelompok marjinal karena suatu kebijakan publik, orang/ kelompok yang hak sipilnya terabaikan, komunitas masyarakat adat, dan orang yang dianggap patut dan memenuhi persyaratan yang ditentukan oleh komnas bankum. Sehingga setidaknya ada 5 kategori yang dapat menerima bantuan hukum. Eksplorasi mendalam akan 5 poin ini mutlak diperlukan supaya bantuan hukum tidaklah salah arah. Siapakah dan bagaimana ukuran orang miskin? Apakah memakai ukuran yang sama dengan RUU Penanganan fakir miskin? Orang yang termarjinalkan oleh putusan publik dan orang yang hak politik terabaikan itu seperti apa? Siapa saja contohnya? Dan mengapa membuka batasan itu dengan memberika delegasi kewenangan dalam peraturan komnas bankum? Apakah ada pihak lain selain keempat kategori yang telah disebutkan?
Permasalahan kedua mengenai pihak pemberi bantuan hukum, disebutkan setidaknya ada empat pihak yang dapat memberikan bantuan hukum yaitu Advokat, paralegal, dosen, dan mahasiswa yang diatur dan diurus oleh komnas bankum. Keempat pihak ini hanya diatur singkat dalam Pasal 5 RUU Bankum dengan penjelasan yang belum memadai. Mekanisme pemberian bantuan hukum oleh dosen dan mahasiswa pun tidak diatur dalam RUU ini (yang diatur hanya pemberian bantuan hukum oleh advokat dan paralegal sebagaimana dalam Pasal 27 hingga Pasal 29 RUU bankum).
Penambahan sebuah komisi yang hingga kini pertumbuhannya tidak terkendali layaknya pemekaran daerah merupakan ciri ketidakmampuan pemerintah menangani negara dan buruknya desain besar reformasi birokrasi. Komnas bankum yang diusulkan pendiriannya oleh RUU ini diharapkan dapat memberikan akses keadilan bagi kelima kategori penerima bantuan hukum yang telah disebutkan diatas. Permasalahannya keberadaan lembaga ini justru menciptakan beban ekonomi yang besar. Penambahan jumlah Pegawai Negeri Sipil dalam wadah sekretariat Jenderal (vide pasal 24 RUU bankum) tentu masalah pelik lainnya dalam organisasi komnas bankum yang tidak hanya berada di ibukota tetapi hingga tingkat daerah di setiap provinsi dan kabupaten/kota (vide pasal 25 RUU Bankum). Hal ini tentu saja berkaitan dengan beban pembelanjaan dalam APBN kedepannya, sebagai pembanding saja, setidaknya dibutuhkan 79 triliun untuk menggaji PNS selama satu tahun. Maka tentu saja beban belanja pegawai ini akan terus meningkat jika solusi akses keadilan dan persamaan kedudukan di depan hukum dengan cara bentuk membentuk badan baru beserta sekretatriat jenderalnya. Struktur sistem politik dan hukum yang besar/gendut/kaya tetapi kinerja yang kecil/kurus/miskin tentu bukanlah pola reformasi birokrasi yang ideal.
Secara konsep awal tentu saja kita harus mendukung sebesar-besarnya pemenuhan bantuan hukum bagi seluruh rakyat di Indonesia sehingga tidak ada satu orang pun yang tidak merasakan keadilan. Akan tetapi tentu saja pengaturan dan sistem yang terbentuk janganlah menambah permasalahan yang baru tetapi menjadi solusi cerdas, hemat, dan tepat sasaran.
Catatan:
1. Untuk dapat melihat draft RUU Bantuan Hukum versi Baleg dapat diklik disini.
2. Untuk dapat melihat Naskah Akademis RUU Bantuan Hukum dapat diklik disini.
Dwi Putra Nugraha
Peneliti CDT