Pandangan Fraksi DPD RI Terhadap RUUK Yogyakarta

0
52

Ahok.Org (02/02) – Rapat Kerja Komisi II DPR RI dengan Menteri Dalam Negeri, Menteri Hukum dan HAM dan Dewan Perwakilan Daerah RI tanggal 2 Februari 2011  dengan agenda “Pandangan Fraksi-Fraksi dan DPD RI Terhadap Penjelasan Pemerintah Atas Rancangan Undang-Undang Keistimewaan (RUUK)Yogayakarta. Rapat dipimpin langsung oleh Ketua Komisi II DPR RI H. Chairuman, SH, MH dari Fraksi Partai Golkar didampingi tiga Wakil Ketua Komisi II DPR RI, yaitu Ganjar Pranowo (F-PDIP), Taufiq Effendi (F-PD) dan Abdul Hakam Naja (F-PAN).

Kesempatan pertama diberikan kepada Fraksi Partai Demokrat (F-PD), selanjutnya Fraksi Partai Golkar (F-PG), Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (F-PDIP), Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (F-PKS), Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (F-PPP), Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (F-PKB), Fraksi Partai Gerakan Indonesia Raya (F-P Gerindra), dan Fraksi Partai Hati Nurani Rakyat (F-P Hanura) dan DPD RI.

Semua Fraksi di Komisi II DPR RI dan DPD RI pada prinsipnya menyetujui dilanjutkannya pembahasan terhadap RUUK Yogyakarta tersebut, kecuali masalah penetapan atau pemilihan gubernur DIY, hanya F-PDIP dan DPD RI saja yang secara tegas menyetujui penetapan terhadap jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur DIY (Sultan Hamengku Buwono dan Paku Alam sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur).

Fraksi Partai Demokrat menyetujui jabatan Gubernur Utama dan Wakil Gubernur Utama bagi Sri Sultan dan Paku Alam. Sedangkan Gubernur dan Wakil Gubernur DIY dipilih melalui Pilkada. F-PD sepakat dengan pemerintah dalam Draft RUUK Yogyakarta tersebut.

Berikut beberapa cuplikan pendapat dan pandangan fraksi-fraksi di Komisi II DPR RI dan DPD RI.

F-PD (sampaikan Drs. H. Djufri)

F-PD setuju ditetapkannya Sri Sultan Hamengku Buwono dari Kesultanan dan Adipati Paku Alam dari Puro Pakualaman  yang bertakhta secara sah sebagai gubernur utama dan wakil gubernur utama. Fraksi Partai Demokrat juga smenyetujui usulan pemerintah yang telah menambahkan istilah ”dengan sebutan lain” untuk Gubernur Utama dan Wakil Gubernur Utama yang cukup diatur dalam perda istimewa. Selain itu untuk prinsip-prinsip tidak adanya matahari kembar disuatu wilyah juga sangat kami hargai. Kita mencoba bersama-sama untuk memadukan konsep kesultanan atau monarki  dan konsep demokrasi. Sejarah secara empiris mengajarkan kepada kita bahwa, banyak kerajaan di dunia yang pada mulanya menganut sistem monarki absolut dipadukan dengan perkembangan zaman demokrasi. Konsep seperti inilah kiranya yang penting kita wujudkan dalam menata pemerintahan yang konstitusional di wilayah Keraton Yogyakarta. Dengan pemisahan ini diharapkan harkat dan martabat Sri Sultan Hemengku Buwono dan Sri Paku Alam sebagai simbol pemersatu yang sekaligus mengayomi dan melindungi serta menjaga budaya tetap terjunjung tinggi karena tidak lagi terlibat dalam masalah yang dapat berimplikasi hukum bilamana Sultan sebagai kepala pemerintahan atau gubernur yang tentu akan berhadapan dengan tugas-tugas harian pemerintahan.

Usulan pemerintah yang kami pandang sangat bijak yaitu tetap mengakomodasi bila Sultan yang bertahta ingin tetap menjadi Gubernur pemilihannya cukup melalui DPRD. Bilamana tidak ada calon lain yang maju, DPRD dapat menetapkan Sultan menjadi Gubernur.

F-PG ( disampaikan Nurokhmah Hidayat  Mus)

F-PG DPR RI berpendapat bahwa pembahasan RUU Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dilakukan dalam rangka menjalankan amanat konstitusi kita yaitu Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Oleh karena itu, pembahasan difokuskan pada bagaimana RUU ini mampu menjawab persoalan yang berkembang di Yogyakarta dan keinginan Pemerintah Pusat dalam bingkai penataan sistem pemerintahan NKRI. Terhadap dimensi filosofis, Fraksi Partai Golkar memandang bahwa hendaknya dalam merumuskan peran Kesultanan dan Pakualaman dalam tata kehidupan sosial, politik dan kultural masyarakat Yogyakarta tidak mereduksi keberadaan peran Kesultanan dan Pakualaman yang telah berjalan sekian lama dan mampu memberikan harapan terbaik masyarakat Yogyakarta. Sedangkan terhadap dimensi perspektif historis-politis, Fraksi Partai Golkar memandang bahwa langkah Sri Sultan Hamengkubuwono IX dan Sri Pakualam VIII yang menyatakan bergabungnya Yogyakarta dengan Republik Indonesia yang baru saja dideklarasikan membawa perkembangan positif bagi perjuangan Republik Indonesia dalam mempertahankan kemerdekaannya. Bahkan Yogyakarta mempersilakan diri menjadi ibukota sementara bagi pemerintahan pusat Republik Indonesia ketika situasi di Jakarta tidak memungkinkan untuk menjalankan roda pemerintahan. Oleh karena itu dalam pembahasan RUU ini, Fraksi Partai Golkar menegaskan agar jangan sampai terjadi terbukanya ruang bagi kemungkinan terputusnya tali sejarah yang sangat bermakna tersebut. Sebab bangsa yang besar adalah bangsa yang dapat mengambil pelajaran dari perjalanan sejarah bangsanya. Terhadap sudut pandang yuridis, Fraksi Partai Golkar berpendapat bahwa pembahasan RUU ini merupakan penyempurnaan atas Undang-Undang dan peraturan lainnya yang mengatur keistimewaan Yogyakarta sehingga RUU ini akan lebih memperjelas keistimewaan DIY.

Mengenai Gubernur Utama dan Wakil Gubernur Utama, Fraksi Partai Golkar berpendapat bahwa hal itu perlu dikaji lebih lanjut dalam pembahasan RUU ini, apakah konsep itu merupakan formulasi terbaik bagi Yogyakarta dalam menjalankan pemerintahan istimewanya. Mengenai pendayagunaan kearifan lokal, Fraksi Partai Golkar memandang bahwa hal itu perlu dijaga dan dilestarikan sebagai kekayaan budaya Yogyakarta yang mampu memberikan makna tersendiri dan khas atas keberadaan Yogyakarta bagi Republik Indonesia. Mengenai tata cara pengisian jabatan Gubernur DIY, Fraksi Partai Golkar berpendapat bahwa hal itu perlu dikaji secara mendalam dan komprehensif, serta memperhatikan aspirasi masyarakat Yogyakarta dan pihak-pihak terkait guna menemukan solusi yang tepat dalam merumuskan hal tersebut, sehingga tidak menimbulkan dampak negatif yang dapat mengganggu ketentraman masyarakat Yogyakarta.

Berdasarkan pandangan dan argumentasi diatas, mengingat pentingnya Undang-Undang yang mengatur tentang Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, maka Fraksi Partai Golkar menyatakan memahami dan menyetujui agar RUU Tentang Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dibahas lebih lanjut.

F- PDIP (disampaikan Alexander Litaay)

F-PDIP   berpendapat bahwa sejak pemerintah memuat dilema bagi DIY telah menyentuh aspek paling dasar yang menandai berintegrasinya DIY dengan RI yakni maklumat dua raja Sri Sultan Hemengku Buwono IX dan Paku Alam VIII tertanggal 5 September 1945 dan piagam kedudukan dari Presiden Soekarno tertanggal 19 Agustus 1945 yang secara tegas menyebutkan Nagari Ngayogyakarta Hadiningrat berintegrasi dengan RI dan berstatus stingkat daerah Provinsi dengan kedudukan kepala daerahnya melekat pada Sultan dan Pakualam yang berhubungan langsung dengan Presiden RI. Karenanya dalam pandangan F-PDIP DPR RI mempersoalkan keistimewaan DIY sama artinya dengan mencederai maklumat dua raja dan piagam kedudukan dari Presiden Soekarno tersebut.

F-PDIP DPR RI perlu mengingatkan pemerintah bahwa bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai sejarahnya. F-PDIP secara tegas menghendaki penetapan terhadap Sri Sultan HB X dan Pakualam IX sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta.

F. PKS (disampaikan Hermanto)

F-PKS berpendapat bahwa RUUK DIY yang diajukan oleh pemerintah agaknya masih kurang mengapresiasi aspirasi masyarakat DIY. RUUK DIY tersebut agaknya mengalami kontradiksi intermiris antara naskah akademik yang disusunnya dengan pasal-pasal yang dirumuskannya. Sehingga aspek filosofis, historis antropologis maupun sosiologis yang telah dipotret dalam naskah akademik banyak yang luput ketika diturunkan dalam susunan pasal-pasal. Untuk itu F-PKS memandang perlu untuk membahas kembali RUUK DIY yang diajukan pemerintah secara mendasar dengan mempertimbangkan aspek-aspek filosofis, historis, antropoligis, sosiologis maupun historis dalam merumuskan RUUK DIY.

F-PKS juga berpendapat bahwa DPR RI perlu menghadirkan berbagai nara sumber kajian dan aspirasi masyarakat DIY secara obyektif sehingga RUUK DIY ini yang terbentuk nanti benar-benar tidak melukai hati masyarakat DIY dalam bingkai Pancasila, UUD 1945 dan NKRI.

F-PKS menyetujui pembahasan RUUK DIY secara mendasar dengan mempertimbangkan landasan filosofis, historis, antropoligis, sosiologis maupun historis dalam bingkai, Pancasila, UUD 1945 dan NKRI. Namun F-PKS tidak secara tegas menghendaki penetapan atau pemilihan.

F-PPP (disampaikan Nu’man Abdul Hakim)

F-PPP berpendapat bahwa RUUK DIY yang diajukan oleh pemerintah belum mencerminkan kesungguhan keistimewaan Provinsi DIY, baik dilihat dari aspek filosofis, historis, sosiologis dan yuridis dimana status keistimewaan DIY merupakan bagian integral dalam sejarah perjalanan negara Indonesia dan besarnya peran masyarakat Yogyakarta baik diawal kemerdekaan hinggi kini. Bahkan yang sempat mengemuka berkenaan dengan RUUK DIY ini adalah  apakah gubernur dan wakil gubernur DIY ditetapkan atau dipilih. Ditetapkan maka yang berlaku adalah sistem pemerintahan yang monarki dan jika dipilih berlaku sistem pemerintahan yang demokratis. Pernyataan seperti ini terlalu mereduksi persoalan. Pemeberian otonomi yang berbeda kepada suatu wilayah merupakan praktek umum yang dilakukan dibanyak negara. Dalam khasanah ilmu politik dikenal pula pengaturan yang tidak sebanding yang disebut denga asimetrikal desentratisation.

Menurut F-PPP, substansi dalam keistimewaan Provinsi DIY meliputi tiga hal yang paling penting, yaitu:

Pertama, adalah istimewa sejarah dalam hal pembentukan negara sebagaimana diatur dalam UUD 1945 pada pasal 18 UUD 1945 yang kemudian diatur kembali dalam UUD 1945 pasal 18B.

Kedua, Keistimewaan dalam bentuk pemerintahan DIY ialah dalam bentuk penggabungan dua wilayah Kesultanan dan Pakualaman menjadi satu daerah setingkat provinsi yang setingkat kerajaan dalam bingkai NKRI.

Ketiga, istimewa dalam pandangan F-PPP adalah dalam hal kepala daerah DIY yang dijabat oleh Sultan dan Adi Pati yang bertahtah sebagaimana disebutkan dalam amanat Piagam 19 Agustus 1945 yaang menyatakan Sultan dan Adi Pati adalah yang bertahta tetap dalam kedudukannya. Karena itu dalam pengaturan RUU ini sejatinya meneguhkan kembali kedudukan Sri Sultan dan Paku Alam sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi DIY. Maka dari itu, F-PPP menyetujui RUUK Yogyakarta ini untuk dibahas lebih lanjut.

F-PKB (disampaikan Ida Fauziyah).

F-PKB memberikan beberapa catatan, yaitu  F-PKB berpendapat bahwa pembahasan RUU ini sangat penting guna mengatur secara lebih komprehensif dan operasional dalam status keistimewaan Yogyakarta yang selama ini belumlah cukup diatur dalam berbagai perundang-undangan yang ada. Pendefinisian ruang lingkup keistimewaan Provinsi Yogyakarta perlu dilakukan secara cermat.

Upaya pemerintah untuk mengintegrasikan posisi Kesultanan dan Pakualaman dalam struktur pemerintahan di DIY dengan mempertegas batas kewenangan serta memperjelas posisi Sultan dan Paku Alam dengan memberikan tempat kepada mereka sebagai Gubernur Utama dan Wakil Gubernur Utama saya kira patut diapresiasi sebagai usulan konsep yang teratur. Namun tentunya masih memerlukan kajian yang lebih mendalam terutama dikaitkan dengan konstruksi ketatanegaraan kita.

F-PKB memandang bahwa perlu dipastikan posisi baru ini tidak sekadar menjadikannya sebagai sebuah aksesoris atau pada titik ekstrim lainnya justru keberadaan dan wewenang Gubernur Utama tumpang tindih atau bahkan mengalahkan unsur-unsur lain yang dipilih secara demokratis yakni DPRD dan Gubernur.

F-PKB juga berpendapat dalam salah satu misi penting dalam penyusunan RUUK DIY ini adalah untuk mendorong dan memperkuat kemandirian masyarakat Yogyakarta, termasuk di dalamnya kemandirian ekonomi. Terkait dengan pengisian Kepala pemerintahan di Provinsi DIY, F-PKB berpendapat Sri Sultan dan Paku Alam dapat saja ditetapkan sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur DIY tanpa proses pemilihan. Dimana hal itu merupakan salah satu bentuk dari keistimewaan DIY, namun F-PKB berpendapat pola ini mengandung implikasi keharusan  bagi Gubernur dan Wakil Gunernur yanag ditetapkan tanpa melalui pemilihan ini untuk bersikap netral dan tidak terlibat dalam keanggotaan, kepengurusan partai politik. F-PKB setuju untuk dilakukan pembahasan lebih dalam mengenai RUUK DIY ini.

F-Partai Gerindra (disampaikan Harun Al Rasyid)

F-Partai Gerindra berpendapat bahwa dapat memahami apa yang disampaikan oleh pemerintah terkait bentuk pemerintahan daerah Provinsi DIY dan pengisian Gubernur dan Wakil Gubernur DIY dengan menempatkan Sri Sultan dan Sri Paku Alam secara sah bertahta sebagai Gubernur Utama dan Wakil Gubernur Utama yang dibawa dalam Undang-undang nanti. Terkait dengan hal tersebut, Fraksi Partai Gerindra  menyampaikan usul sementara yang sederhana selebihnya nanti dalam pembahasan, yaitu Sri Sultan dan Paku Alam yang secara sah bertahta tidak menjadi anggota atau pengurus partai politik sebagaimana dalam naskah akademik RUUK DIY. Hal ini dimaksudkan untuk menjaga keibawaan istitusi Kesultanan dan Kepakualaman.

F-Partai Hanura (disampaikan Akbar Faizal)

Menurut F-Partai Hanura, upaya menjadikan Sultan sebagai Gubernur Utama bisa diterima secara kultural tetapi sulit diterima secara politik karena akan menempatkan Sultan semata-mata sebagai simbolik yang tidak sepenuhnya memiliki kewenangan secara politik. Secara politik keistimewaan penetapan Sultan dan Paku Alam sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur juga harus dipertahankan.  Fraksi Partai Hanura setuju untuk dilakukannya pembahasan lebih lanjut mengenai RUUK DIY tersebut.

F-PAN (disampaikan Rusli Ridwan)

F-PAN berpandangan bahwa tidak tepat apabila demokrasi dikontradiksikan dengan monarki. Menurut F-PAN, agar Keistimewaan Yogyakarta tetap terjaga perlu dilakukan pengaturan untuk memperkuat demokrasi. Mempertahakan Keraton di dalam pemerintahan DIY dan juga bisa menjadi sebuah model demokrasi.  F-PAN juga menyetujui pembahasan RUUK DIY ini lebih dalam.

DPD (disampaikan Dhani Anwar)

DPD berpendapat bahwa kehendak/aspirasi rakyat Yogyakarta seharusnya menjadi ruh
demokrasi yang harus diakomodir. Dalam perspektif ini tidak berarti demokrasi itu harus menganut dipilih atau tidak dipilih tetapi harus mengakomodir aspirasi rakyat yang sebanarnya.  Menurut DPD, jika rakyat masih menginginkan kepemimpinan Sri Sultan Hemengku Buwono dan Sri Paku Alam pada pemerintahan DIY maka hal inilah yang harus dipahami secara jernih dan diakomodir oleh pemerintah bukan malah memaksakan perubahan pada konsepsi Keistimewaan Yogyakarta. DPD secara tegas menyetujui mekanisme penetapan dalam pengisian posisi Gubernur dan Wakil Gubernur DIY. (Kamillus Elu, SH).

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here