Pilih Kelas Ekonomi Supaya Bisa Masuk Kantong

2
71

Ahok.Org – SEJAK Sabtu (9/4), DPR kembali memasuki masa reses. Selama reses, anggota dewan idealnya menyerap aspirasi masyarakat di daerah pemilihan mereka. Namun, yang terjadi justru mereka berangkat ke luar negeri dengan dalih melangsungkan studi banding.

Untuk mengetahui lebih banyak mengenai efektivitas dan kegunaan studi banding ke luar negeri, wartawan Media Indonesia Akhmad Mustain mewawancarai anggota Komisi II DPR dari F-PG Basuki Tjahaya Purnama di Jakarta, Sabtu (16/4). Berikut petikannya.

Apa urgensi studi banding ke luar negeri? Tidak ada urgensinya. Yang saya rasakan hanya hasrat untuk jalan-jalan ke luar negeri. Agenda saat di luar negeri banyak yang kosong sehingga yang ada hanya jalan-jalan dan bahkan menyeberang ke negara lain. Selain itu, hasilnya juga tidak ada laporan yang disampaikan baik komisi maupun fraksi di DPR. Kalau saya

lihat, sangat mengecewakan. Yang bisa dilakukan adalah secara personal saya membuat pertanggungjawaban di laman www.ahok.org.

Apa yang harus diubah?

Semuanya, mulai perencanaan hingga sistem penganggaran. Akan lebih efektif misalkan, perlu adanya kerja sama dengan KBRI yang ada di negara lain. Pasalnya, seti ap kedutaan itu ada atase di setiap bidang, pendidikan hukum, sosial dan perekonomian, yang tugasnya di negara tersebut untuk studi banding. Kita bisa optimalkan atase untuk memberi masukan.

Kalau dari sisi anggaran?

Anggaran juga titik krusial dari setiap studi banding ke luar negeri. Dari pengalaman saya, yang terjadi hanya penghamburan uang negara. Mekanisme penggunaan anggaran dalam studi banding yakni lumsum (paket), bukan at cost (berdasarkan pengeluaran). Itu yang menyebabkan banyak anggota DPR dalam penerbangan yang sebenarnya mendapat jatah kelas bisnis malah memilih kelas ekonomi agar sisanya bisa masuk kantong. Selain itu, ada beberapa anggota yang memilih pulang lebih dulu, tetapi klaimnya penuh. Itu kan sama saja tidak ada penghematan. Bahkan, bagi ketua rombongan, selain mendapatkan uang harian, diberikan dana taktis US$2.000 per hari, dan juga kabarnya untuk dalam negeri sebesar Rp15 juta yang merupakan milik bersama, tetapi sering masuk kantong ketua rombongan.

Pengalaman Anda saat studi banding?

Saat menjadi delegasi grup kerja sama bilateral (GKSB) ke Maroko, saya mau selama dilakukan dengan benar sesuai dengan

prosedur dan kepentingan. Namun, yang membuat saya gundah adalah dalam perjalanan ini juga ada acara ke Spanyol. Menurut saya, perjalanan ke Spanyol tersebut bukan lagi merupakan bagian dari kerja sama bilateral, toh terdapat tim

lain yang bertugas ke sana. Saya jelas menolak bepergian ke Spanyol karena tugas saya ke Maroko. Yang membuat saya bingung adalah kenapa pimpinan DPR menyetujui perjalanan 4 hari ke Maroko dan 3 hari ke Spanyol dengan biaya US$200 per hari untuk perjalanan ke Maroko dan US$400 per hari untuk ke Spanyol?

Hal serupa terjadi ketika ikut studi banding Badan Legislasi (Baleg) DPR ke Vietnam. Banyak anggota rombongan yang pulang lebih dulu. Namun, klaim anggaran tetap penuh. Pengelolaan anggaran seperti itu yang menjadikan hasil audit BPK maupun terkait anggaran studi banding DPR ke luar negeri selalu disclaimer.

Apakah wajar studi banding ke luar negeri selama reses?

Memang ironis, ketika harusnya turun ke daerah pemilihan untuk menyerap aspirasi masyarakat, ternyata (anggota

DPR) memilih untuk studi banding ke luar negeri. Saya (berprinsip) tetap akan turun ke daerah pemilihan terlebih

dahulu sebelum kunjungan ke luar negeri karena untuk setiap reses, anggota DPR dibekali dana bisa di atas Rp100 juta karena ada penambahan masa reses dari cuma sembilan hari menjadi 14 hari.

Selama reses, anggota DPR mendapat uang harian Rp300 ribu, uang representasi Rp200 ribu, dan uang transpor lokal

Rp535 ribu. Artinya, per hari selama reses anggota DPR mendapat Rp1,035 juta. Ditambah lagi dengan uang pertemuan Rp4,5 juta per pertemuan, dengan jatah 12 kali pertemuan, sehingga (total) bisa Rp54 juta. Belum, untuk keperluan akomodasi, tiket, dan hotel yang tergantung daerah pemilihan, namun tidak kurang dari Rp20 juta. Selain itu, ada anggaran sosialisasi Pancasila dan UUD 1945 sebesar Rp21 juta. Jadi kalau ditotal, (bekal) bisa mencapai Rp108,5 juta untuk sekali reses. [MI – 18/4]

2 COMMENTS

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here