Pergolakan demi Timah Terulang Lagi (Konsolidasi Demokrasi Bangka Belitung 3)

0
127

Ahok.Org – April 1812, Perang Napoleon antara Perancis-Belanda dan Inggris merambat ke wilayah Kesultanan Palembang Darussalam. Inggris di bawah Sir Thomas Stamford Raffles memerintahkan Kolonel Robert Gillespie menyerbu Kesultanan Palembang pimpinan Mahmud Badaruddin II itu demi menguasai timah di Bangka.

Raffles dalam berbagai surat kepada Gubernur Jenderal Inggris di India, Lord Minto, menegaskan pentingnya menguasai Bangka karena kekayaan timahnya. Oleh karena itu, setelah menggilas pasukan Napoleon di Jawa yang dipimpin Jean Guillaume (dalam bahasa Belanda disebut Jan Willem) Janssens, Raffles mengarahkan pasukan ke Palembang yang kala itu menguasai penambangan timah di Bangka dan lama berkongsi dengan Belanda lewat perdagangan lada (Piper nigrum) dan timah.

Serangan Raffles itu membuktikan timah sudah mempunyai nilai ekonomi dan politik sejak dulu. Kini, 199 tahun sejak aksi militer Raffles, nilai itu tetap bertahan di Bangka dan Belitung. Bahkan, nilai itu semakin kuat selepas Bangka dan Belitung membentuk provinsi sendiri yang terpisah dari Sumatera Selatan pada 2000.

Reinout Vos dalam buku Gentle Janus, Merchant Prince: The VOC and the Tightrope of Diplomacy in the Malay World 1740-1800 terbitan KITLV Belanda tahun 1994 dengan gamblang memaparkan betapa penguasaan timah menjadi salah satu faktor penentu dalam persaingan ekspansi serikat dagang Eropa dan sejumlah Kesultanan di sekitar Sumatera dan Semenanjung Malaya.

Dewasa ini, relasi timah dan politik, antara lain diakui mantan anggota DPRD Kabupaten Bangka, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, Hazil Ma’ruf. Semasa menjadi anggota DPRD Bangka, ia pernah didatangi pengusaha kapal isap pasir timah. Pengusaha itu membawa uang tunai ratusan juta rupiah. Uang tersebut akan diberikan kepada Hazil kalau dia mau mendukung pengoperasian kapal isap di perairan Pesaren, Bangka, yang merupakan wilayah konstituennya.

”Saya menolak tawaran itu karena kompensasi untuk konstituen tidak jelas. Pengoperasian kapal isap akan menghancurkan daerah tangkapan warga Pesaren yang hampir seluruhnya nelayan. Para nelayan bertekat melawan, bahkan kalau perlu, membakar kapal isap timah,” paparnya, Rabu (23/11), di Belinyu, Bangka.

Bentrokan antara petambang timah dan kelompok nelayan memang tidak mengada-ada. A Kioen, nelayan warga Pesaren, mengaku, meski tidak ada kapal isap yang beroperasi di dekat mereka, keberadaan kapal isap timah pada musim tertentu mengakibatkan tangkapan merosot tajam akibat keruhnya air laut di pesisir Pesaren.

Sumbangan politik

Presiden Asosiasi Timah Indonesia Hidayat Arsani mengatakan tidak dapat ditampik, pengusaha timah banyak menyumbang kepada politisi di Bangka Belitung. Namun, ia tidak menjawab tegas apakah sumbangan itu diiringi permintaan untuk menyukseskan bisnis timah atau tidak. ”Politik perlu biaya. Di Bangka Belitung, sebagian biaya itu disumbang oleh pengusaha timah. Mereka menyumbang ke semua tokoh dan partai politik yang dihitung sebagai biaya ’pengamanan’ investasi,” tuturnya.

Bahkan, sejumlah pengurus parpol adalah pengusaha timah. Fakta itu, ujar Hidayat, adalah salah satu jalur lain dana timah masuk politik. ”Tidak salah kalau kader menyumbang ke partai sendiri. Ada juga pengusaha yang bukan pengurus partai,” ujarnya.

Tawaran kepada Hazil dan pengakuan Hidayat itu salah satu dari sekian banyak transaksi politik untuk menyukseskan penambangan timah di Bangka Belitung. Namun, sebagian besar politisi dan pengusaha menolak mengakui secara tegas apa yang disampaikan Hazil dan Hidayat.

Gubernur Kepulauan Bangka Belitung Eko Maulana Ali termasuk yang menyanggah hal itu. Menurut dia, tak ada transaksi apa pun untuk kepentingan pribadi ataupun kelompok antara politisi dan pengusaha timah. Transaksi masih tahap normatif sesuai kewenangan. ”Saya minta pengusaha timah membangun rumah sakit, membantu rumah ibadah, biaya pendidikan. Transaksi untuk kepentingan pribadi tidak ada,” ujarnya.

Sandaran ekonomi

Eko tidak membantah jika timah termasuk faktor prioritas dalam pengambilan keputusan di Bangka Belitung. Hal itu lebih didasari pada kenyataan bahwa timah sebagai penggerak utama perekonomian Bangka Belitung. Badan Pusat Statistik Bangka Belitung mencatat, timah berperan hingga 70 persen dalam perekonomian Bangka Belitung.

Eko juga menyatakan sudah sering mendengar tuduhan dirinya sebagai pemicu penambangan timah ilegal atau lazim disebut TI. Tudingan itu tidak lepas dari penerbitan Surat Keputusan Bupati Bangka Nomor 6 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Pertambangan Umum. SK itu disahkan Eko semasa menjadi Bupati Bangka. ”Keputusan saya didasarkan pada situasi saat itu. Rakyat butuh penghasilan dan ada sumber daya alam yang belum dimanfaatkan,” tuturnya.

Sebelum SK No 6/2001 terbit, sejak masa Kesultanan Palembang hingga masa PT Timah, penambangan timah adalah monopoli pemerintah dan perusahaan yang ditunjuknya. Di masa Orde Baru, warga petambang liar timah harus siap masuk penjara.

Setelah Eko menerbitkan SK No 6/2001, penambangan skala kecil bermunculan di penjuru Bangka Belitung. Aktivitas itu diikuti kehadiran ratusan penjual alat tambang dan puluhan pabrik peleburan timah swasta yang menampung pasir timah dari penambangan skala kecil. Bahkan, induk koperasi polisi (inkopol) pernah menjadi penjual resmi peralatan tambang dan penampung pasir timah.

Pasir timah disalurkan ke total 28 pabrik peleburan di Bangka Belitung. Inkopol adalah salah satu pedagang pengumpul pasir timah yang menyetor ke pabrik. Salah seorang pedagang pengumpul di Belinyu, A Hiong Lohan, menuturkan, penambangan kecil berkontribusi pada perekonomian lokal. Sebaliknya, petambang bermodal besar dari luar Bangka mengirimkan hasil kerjanya ke daerah asal.

”Penambangan besar, seperti lewat kapal isap, hanya mengeruk saja. Hasilnya dibawa ke luar. Penambangan kecil ini adalah cara warga Bangka menikmati kekayaan alamnya setelah bertahun-tahun menjadi penonton,” tuturnya.

Hidayat tidak membantah sinyalemen tersebut. Setiap bulan pada 2011, rata-rata nilai ekspor timah Bangka Belitung Rp 2 triliun. Namun, tidak seluruh uang itu berputar di Bangka Belitung. ”Sebagian diinvestasikan pemilik modal ke daerah asalnya di luar Bangka Belitung, baik di dalam maupun di luar negeri. Hasil dari kapal isap paling banyak dibawa ke luar Bangka Belitung, bahkan ke luar Indonesia karena sejumlah pemilik sahamnya orang asing,” tuturnya.

Sebaliknya, hasil penambangan kecil berputar di sekitar wilayah penambangan. Hasil penambangan kecil memicu percepatan pertumbuhan perekonomian. ”Sampai 2000, jumlah mobil di Belinyu bisa dihitung dengan jari. Orang tahu mobil A punya siapa. Sejak warga bebas menambang, sudah tidak terhitung berapa jumlah mobil di sini,” ujar A Hiong.

Tak sedikit pula pelajar yang bisa membeli kendaraan sendiri. Mereka mendapatkan uang dengan cara mencari timah di tumpukan limbah tambang sepulang sekolah atau lazim disebut melimbang oleh warga Bangka. ”Dalam sehari bisa dapat rata-rata satu kilogram. Dari melimbang, mereka sudah dapat uang hingga Rp 100.000 per hari saat harga bagus,” tuturnya.

A Hiong menegaskan, petambang kecil siap diatur. Namun, pemerintah harus adil dengan mengatur pula izin kapal isap. ”Saya sering baca berita, jumlah kapal isap jauh lebih banyak dibandingkan dengan izin operasi yang ada. Apa itu namanya kalau bukan hasil kongkalikong pejabat, politisi, dengan pengusaha besar?” ujarnya.[Kompas]

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here