Roh Persaudaraan Melayu-Tionghoa (Konsolidasi Demokrasi Bangka Belitung 2)

2
108

Ahok.Org – “Saya ini Fang Tong Fan atau Melayu yang punya leluhr Tiongkok. Nenek saya perempuan Hakka dari Belinyu. Kami disini hidup rukun, tidak pernah membedakan,” kata Hazil Ma`aruf, seorang Melayu Belinyu yang berkulit gelap dan bermata sipit, beberapa waktu lalu.

Saat itu, mantan anggota DPRD Kab Bangka tersebut tengah duduk bersama karibnya, A Hiong, seorang peranakan Tiongoa Hakka, di warung otak-otak kha Belinyu.

Masyarakat Bangka Belitung (Babel) secara umum tidak mempertentangkan mayoritas-minoritas. Kebersamaan menjadi semangat hidup mereka.”Serumpun Sebalai,” itulah semboyang hidup masyarakat Babel dalam bahasa Melayu. Persaudaraan dan kesetaraan adalah harga mati disana.

kalau dirunut, ungkap Hazil, pasti masih ada hubungan kerabat jauh atau dun-sanak antara masyarakat Melayu dan Tionghoa. Pendapat itu dibenarkan A Hiong. Pemahaman kesetaraan lintas komunitas itu merata di Babel.

“Tong Ngin Phang Ngin jit Jong, semboyan kami dalam bahasa Hakka yang berarti Tionghoa dan Melayu adala sama, merupakan semangat hidup masyarakat Babel sejak berabad silam,” kata ZUlkarnain Karim, Walikota Pangkal Pinang yang berasal dari suku Melayu kelahiran Koba, Kab Bangka Tengah.

Zulkarnain lahir dan dibesarkan di perkampungan nelayan Melayu yang bertetangga dengan lingkungan Tionghoa. Sampai dia akhirnya menjadi walikota, para tetangga dan teman masa kecilnya tetap akrab dengannya. Bahkan, tumpukan sadjadah untuk shalat berjemaah di Kantor Walikota merupakan pemberian karib Tionghoa masa kecilnya.

Setia hari raya pun, warga Melayu biasanya tidak usah terlalu repot menyiapkan masakan. Para tetangga Tionghoa, ujar Zulkarnai, mengirimkan makanan bagi warga Melayu pada hari lebaran.

Demikian pula pada peringatan imlek, kata Hongky Listhiady, seorang warga Tionghoa Pangkal Pinang, Zulkarnain dan para tetangga Melayu mengirimkan makanan bagi warga Tionghoa.”Malahan pernah diadakan peringatan Imlek di rumah dinas Walikota Pangkal Pinang. Rasanya itu yang pertama di Indonesia pasca reformasi 1998,” ujarnya.

Zulkarnain lebih lanjut mengatakan, warga Tionghoa suda sejak abad 17 berdatangan ke Babel dalam jumla besar untuk bekerja di pertambangan timah sebelum penjajah Belanda datang. Orang Tionghoa yang umumnya suku Hakka tidak membawa pasangan perempuan sehingga mereka menikah dengan para perempuan Melayu di Babel. Selanjutnya terbentuklah masyarakat Tionghoa peranakan yang ‘separuh Melayu’ dari hubungan yang erat tersebut.

“Kalau mereka selanjutnya memeluk Islam, dia melebur dalam masyarakat Melayu. Kalau mempertahankan identitas budaya Tionghoa, dia menjadi seorang peranakan. Namun, semuanya secara umum saling berhubungan dalam kehidupan sehari-hari ataupun berhubungan darah. Nenek sayapun ada yang bermarga Theng atau dalam Mandarin disebut Deng. Bisa dibilang saya berkerabat jau dengan Deng Xiao Ping,” kata Zulkarnain tertawa.

Selain jalur perkawinan, sudah lazim di Babel terjadi saling mengangkat anak. kalau di Indonesia Timur dikenal sebagai ‘anak piara’ atau di kalangan pernakan Tionghoa di Jawa disebut anak ‘Kwe Pang”, di Babel sudah biasa terjadi keluarga Melayu mengangkat anak dari keluarga Tionghoa. Demikian pula sebaliknya.

Sebagai contoh adalah sesepuh pembentukan provinsi Babel, Amung Tjan-dra (81) alias Then Hon Liong, seorang penganut Katolik yang memiliki anak angkat Melayu seorang guru mengaji yang tinggal bertahun-tahun bersama keluarganya.

Kedekatan tersebut, menurut Amung adalah modal sosial dan menjadi kekuatan untuk pembangunan Babel. Keluarga inti AMung juga beragam, anak-anaknya ada yang menikah dengan suku Batak dan Jawa. Salah seorang menantunya juga ada yang muslim.

“Masyarakat asli Bangka yang Melayu dan Tionghoa hubungannya sangat erat dan tidak bisa dipisahkan. Selanjutnya banyak suku lain yang datag menjadi orang Babel pada masa silam. yang menjadi pertanyaan adalah membanjirnya pendatang sesudah pemekaran Prov Babel dan demam industri timah rakyat. Sekarang banyak warga tidak berpendidikan yang masuk ke Babel. Dulu jarang terjadi perampolan dan beragam jenis kejahatan. Sekarang hampir setiap hari terjadi pencurian, perampokan bahkan ada pembunuhan, ujar Amung prihatin.

Rasionalotas dan kedekatan hubungan itula yang membuat Babel bersatu tanpa prasangka antar kelompok masyarakat. Misalnya, terpilihnya Basuki T. Purnawa alias Ahok sebagai Bupati Belitung Timur beberapa tahun silam.

Di Belitung dinamika politik lebih tinggi dibandingkan dengan Pulau Bangka. Kedai-kedai kopi yang menjadi saran silaturahim warga buka hingga larut malam. Bahkan, Manggar ibukota Belitung Timur (Beltim) dijuluki Kota 1001 Kedai Kopi, Kedai kopi dipadati warga yang sibuk berbicang beragam hal dari soal ekonomi hingga politik.

Ahok terpilih sebagai Bupati Beltim yag 90 persen masyarakatnya adalah suku Melayu. Pertimbangan yang digunakan pemilih adalah rasionalitas dan pengakuan terhadap kedekatan hubungan lintas komunal.

Ahok dan keluarganya dikenal dekat dengan masyarakay jauh sebelum euforia otonomi daerah ataupun pemekaran kabupaten. Anhar seorang warga Babel yang berasal dari kubu politik Masyumi mengaku Ahok dipilih karena amal perbutannya sangat menyentuh hati warga.

“Keluarganya sangat dengan masyarakat, ada warga yang memasang bendera kuning pertanda kematian, meski tidak dikenalnya akan dikunjungi. Itu terjadi sebelum pemekaran daerah. Kedekatan dan prilaku baik itu menjadikan masyarakat menghormati Ahok,” kata Anhar.

Kebangkitan Identitas
Namun, Rektor Universitas Bangka Belitung Bustami Rachman mengatakan ada gejala kebangkitan identitas kesukuan.

Kebangkitan itu dipicu oleh politisasi isu suku, agama, ras dan antargolongan (SARA) oleh sebagian elite Babel.

“Pilkada 2007 diwarnai pemanfaatan isu rasial untuk kepentingan politik, sebagian orang Tionghoa Babel khahwatir keterlibatan salah satu dari mereka di politik akan membahayakan yang lain,” ujarnya.

Kekhawatiran itu tidak lepas dari indoktrinasi selama Order Baru yang menciptakan kesan Tionghoa tidak masuk politik. Orang-orang peranakan itu hanya boleh begerak di sektor swasta.

“Sebagian orang Melayu dan Tionghoa seolah mempertahankan pandangan itu sampai sekarang. Walau tidak pernah muncul letupan besar, gejala kebangkitan identitas itu ada,” ujarnya.

Anggota DPD dari Babel, Bahar Buasan, tidak menampik hal tersebut. Namun, baginya itu bukan isu yang harus dibesar-besarkan walau bukan berarti dikesampingkan.”Jangankan berbeda suku, orang yang lahir dari ibu yang sama saja punya perbedaan. Pertanyaannya, mau memperbesar pebedaan itu atau justru mencari persamaan lalu memanfaatkannya untuk modal bersama,” ujarnya.

Persaingan politik di Babel sejauh ini secara umum masi dibangun di atas semangat,”Tong Ngin Phang Ngin jit Jong,” ibarat guru demokrasi dan keberagaman di Republik Indonesia tanpa dikotori perilaku elite politik yang membenturkan rakyat dengan menjadikan perbedaaan sebagai sarana pemecah belah.[Litbang Kompas]

2 COMMENTS

  1. Benar. Roh persaudaraan Melayu-Tionghoa harus tetap dijaga. Kedua suku ini sejak lama hidup dalam harmoni dan penuh kekeluargaan. Mereka “penguasa” Babel sejati. Kunjung-mengunjung sewaktu Idul Fitri, Imlek dan Natal, merupakan tradisi di sana. Prampokan dan pembunuhan tidak pernah terdengar selama saya tinggal di sana(dari tahun enampuluhan sampai delapan puluhan). Bravo Babel. Bravo BTP.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here