Penanganan Banjir Perlu Tahapan

5
196

Ahok.Org – Banjir dan kemacetan sudah menjadi bagian masalah Jakarta yang belum tertangani. Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo mengatakan butuh proses untuk menyelesaikan kedua permasalahan itu.

Pada musim hujan seperti ini, kemacetan di Jakarta semakin menjadi-jadi. Belum lagi masalah banjir, seperti yang terjadi di Kampung Pulo, Jakarta Timur, akibat air kiriman dari Bogor.

“Penanganan banjir itu memerlukan proses. Yang namanya banjir dan macet itu penanganannya perlu proses,” kata Jokowi di Balaikota DKI, Jakarta, Senin (19/11/2012).

“Jangan harap kayak dewa yang bisa selesai hanya dengan membalikkan tangan. Dewa saja belum tentu bisa menyelesaikannya,” cetus dia.

Menurut Jokowi, antisipasi banjir yang bisa dilakukan olehnya dan seluruh warga DKI dalam waktu singkat adalah melaksanakan dan menggalakkan kerja bakti di seluruh titik di DKI, termasuk mengeruk selokan dan kali-kali kecil yang ada di kampung-kampung.

Sementara itu, untuk antisipasi jangka menengah-panjang, menurut dia, masih banyak proyek penanganan banjir yang harus diselesaikan, antara lain keberlanjutan Kanal Banjir Timur, Cengkareng Drain, Kali Pesanggarahan, dan sebagainya.

“Nanti juga akan ada pembelokan air yang berasal dari atas ke Tanggul Ciawi. Itu proses jangka panjangnya butuh waktu berpuluh-puluh tahun. Saya ini baru empat minggu menjabat saja sudah ditanya-tanya,” kata Jokowi.

Akibat hujan yang mengguyur Bogor, beberapa wilayah di DKI kebanjiran, antara lain di Kampung Melayu dan Bukit Duri.

Berdasarkan catatan Kelurahan Kampung Melayu, terdapat 11 kepala keluarga atau 37 jiwa yang mengungsi ke Masjid Attawabin yang terletak di RT 12 RW 03. Warga yang mengungsi merupakan warga yang tinggal persis di tepi kali. Meski demikian, kebanyakan warga menganggap banjir kali ini masih dalam tahap kewajaran.

Sementara itu, luapan Kali Ciliwung masih merendami wilayah Bukit Duri, Tebet, Jakarta Selatan. Hingga siang ini, ketinggian air di beberapa RT masih setinggi perut orang dewasa.

Tercatat ada sekitar lima RT di tiga RW di wilayah Bukit Duri yang mengalami banjir. Ketiga RW tersebut adalah RW 10, 11, dan 12.[Kompas]

5 COMMENTS

  1. kerjain satu-satu pak..
    yang penting semua tereliasisasi…
    biar lambat yang penting clear..
    cuma pihak yg gak senang sama kinerja JB yang mendesak supaya cepat, agar mereka bisa melihat celah buat jatuhin bapak..
    maaf kalo salah).

  2. betul pa Jokowi..Dewa aja ga bisa satu hari..dewa gigi kan kerjanya bikin lagu hahaha…
    Lanjut aja Pa Jokowi.. nanti juga ketauan beres..yang ngga setuju mending ga usah koment,bikin pusing kepala bacanya..

  3. Ha…ha…ha… ha…ha…ha… Pak Jokowi sudah mulai bawa-bawa dewa dalam konteks banjir. Siklus banjir 5 tahunan memang harus diwaspadai karena menyimpan potensi bencana bagi kalangan warga Kota Jakarta, dan itu sudah terbukti pada tahun 2002 dan tahun 2007. Kalau sekarang Pak Jokowi dalam kapasitasnya sebagai Gybernur DKI Jakarta mulai bawa-bawa dewa ketika menghadapi ancaman banjir, lain lagi cerita Gubernur DKI Jakarta Periode 2002-2007. Syahdan… menurut juru catat peristiwa, tahun 2002 banjir datang tanpa diundang memporak-porandakan sebagian wilayah Kota Jakarta. Sebagian kecil warga Kota Jakarta yang menjadi korban banjir dan telah mengalami kerugian berupa moril maupun materil menjadi kelimpungan : surplus air merendam hingga setinggi dada dan memaksa mereka untuk belajar nangkring berhari-hari di atap genteng rumah masing-masing karena kalau memilih nangkring di atap gedung DPRD DKI Jakarta, atap gedung Balai Kota, apalagi atap Istana Negara, bukan saja takut dianggap tidak sopan tapi memang urusannya bisa jadi panjang. Bahkan di daerah Jakarta Timur, warganya malah terpaksa mengungsi ke tempat-tempat yang lebih aman dan tidak ikut lomba nangkring di atas genteng seperti banyak warga Kota Jakarta lainnya karena di daerah ini air sudah menggenang hingga mencapai atap genteng rumah mereka — pintu dan jendela sudah tak bisa terlihat lagi. Warga yang kelimpungan jadi mulai usil untuk meminta pertanggung jawaban Sang Gubernur sebab sudah gak ada pilihan lain selain bersikap usil layaknya orang-orang kurang kerjaan. Habis gimana lagi, air bisa secara tiba-tiba merendam dimana-mana sejak pukul 2 dinihari (lagi enak-enaknya ngorok) tanpa pemberitahuan terlebih dulu, tak sempat menyelamatkan sedikit harta yang kira-kira masih bisa diselamatkan. Pagi harinya tak bisa berangkat kerja karena debit air sudah semakin bertambah setinggi dada di Utara Jakarta, aktifitas kantor pun nyaris lumpuh semua. Meminta pertanggung jawaban Gubernur DKI Jakarta yang dipilih oleh DPRD DKI Jakarta itu bukan perkara mudah, karena dia menganggap warga Kota Jakarta bukan sebagai apa-apa, bukan juga sebagai “mitra selingkuhannya”, barangkali cocoknya jika dianggap sebagai sekumpulan orang yang sewaktu-waktu bisa bikin sakit kepala Gubernur saja. Jadi, untuk meminta pertanggung jawaban Gubernur pada saat itu (tingkat kesulitannya) dapat diibaratkan seperti meminta ciuman dari seorang cewek yang bukan pacar kita dan ditambah pula dia sama sekali tidak mengenal kita, begitulah kira-kira analogi keadaan kelimpungan warga pada saat itu. Disaat warga masih kelimpungan karena memang gak enak direndam banjir, Sang Gubernur justru jengkel bin geram mendengar kabar ada segerombolan warga Kota Jakarta yang dianggap coba-coba mau usil bikin gugatan kurang kerjaan di Pengadilan. “Alasannya apa…?” katanya geram. “Tidak ada early warning system, Pak…” seorang wartawan nyeletuk enteng. “Jepang itu negara yang punya early warning system yang canggih tapi tetap saja diterjang banjir. Banjir ini tanggung jawab Tuhan bukan tanggung jawab saya,” katanya lagi tambah geram. “Ada benarnya juga siiih… tapi kalau daerah-daerah resapan air tidak berubah fungsi jadi bussinnes area dan itu laut tidak diurug terus mungkin tidak separah ini banjirnya…” celetuk seorang warga sambil ngeloyor pergi kembali ke atap genteng rumahnya yang masih bisa dijadikan safety area. Begitulah cerita tentang Dewa dan Tuhan yang keluar dari mulut Petinggi Balai Kota di tengah ancaman bencana banjir Kota Jakarta. He…he…he…

  4. Quiz Berhadiah menghadapi siklus banjir 5 tahunan di Kota Jakarta. Pertanyaannya : SIAPAKAH ORANG YANG PALING BAHAGIA JIKA BANJIR MERENDAM KOTA JAKARTA HINGGA KE ATAP RUMAH DAN SEMUA WARGA TIDAK DAPAT MELAKUKAN AKTIFITAS RUTINNYA…?!!! Ayooooo, siapa…?!!! He…he…he…

  5. Di situs Tempo Online http://www.tempo.co/read/news/2012/11/21/083443126/Ahok-Jawab-Kritikan-Pencitraan-Nenek-Lo — ada sumpah serapah dan caci maki yang ditujukan ke WAGUB DKI JAKARTA (AHOK) dari orang dengan user MAKSUMBAR, saya langsung merespon sebagai berikut ……………………………………………………………

    Buat @MAKSUMBAR yang ngelantur : Gue juga pribumi asli, BETAWI TULEN, Engkong gue asli RAWA BELONG, Babe gue lahir di TELUK NAGA (Tangerang), Nyak gue merocot di JEMBATAN BESI. Gue sekeluarge kemudian hijrah ke RAWA BEBEK, GEDONG PANJANG (PENJARINGAN) deket PASAR IKAN itu. Saat Ali Sadikin sampe periode sebelum Sutiyoso, Keluarge Besar gue masih bisa bertahan kumpul semua di KEBON JERUK, KELAPA DUA — tapi setelah itu (karena bebagai faktor, misalnya urbanisasi, desakan ekonomi dan lemahnya daya saing, dll.) akhirnya Keluarge Besar gue mengalah untuk menyingkir ke pinggir-pinggir Kota Jakarta. TAPI SEBENERNYA GAK BEGITU PENTING ASAL-USUL KETURUNAN GUE ITU DARI MANA, YANG JAUH LEBIH PENTING ADALAH PEMAHAMAN BERPIKIR YANG CERDAS DAN KOMPREHENSIF (TIDAK PARSIAL) DARI SEMUA RAKYAT DI INDONESIA (SIAPA PUN DIA DAN DARIMANA PUN ASAL-USUL KETURUNANNYA) TENTANG : APA DAN SIAPA MUSUH BERSAMA KITA YANG SEBENARNYA..?!!! DARI SEJAK SOEHARTO BERKUASA DENGAN STRATEGI POLITIK FLOATING MASS-NYA (POLITIK MASSA MENGAMBANG, kalau dalam bahasa gue : MAAF.. POLITIK MASSA TAIK NGAMBANG), gue jadi sangat paham betul kemana itu maunya Soeharto. Dengan kekuasaanya, dia gak mau semua bangsa Indonesia IKUT-IKUTAN BERPOLITIK (TERUTAMA WARGA KETURUNAN) — HARUS DIDIDIK MENJADI A-POLITIS (tidak boleh mengenal apa itu politik) mendingan disuruh cari duit aja yang banyak, gak usah sok mikiran bangsa dan negara ini, begitulah kira-kira dalam bahasa gue. Tapi, akhirnya, APA YANG TERJADI…? SOEHARTO DAN KRONI-KRONINYA TERNYATA TELAH MENJERUMUSKAN NASIB BANGSA INDONESIA (TERMASUK KITA DAN AHOK, YG SEKARANG WAGUB ITU, DI DALAMNYA) KE DALAM KRISIS MULTI-DIMENSI YANG AKHIRNYA BERKEPANJANGAN HINGGA SAAT INI — krisis hutang luar negeri (hingga mencapai kira-kira $ 148 juta, US Dollar tuuuuuh.. bukan Dollar Teluk Gong, krisis kebijakan nasional, krisis kepemimpinan nasional, krisis akhlak, krisis moral; partai politik, penyelenggaraan pemilu, pemilihan wakil rakyat dan pemilihan presiden serta seabreg-abreg undang-undang dan kebijakan yang ada saat ini SUDAH CUKUP TERBUKTI TIDAK PERNAH BECUS MENYELESAIKAN PERSOALAN BANGSA INI MALAH MAKIN MENAMBAH JUMLAH PERSOALAN, waaaah.. pokoknya semua jenis krisis deeeeh. JADI, DARI FAKTA-FAKTA YANG TETAP TERUS ADA HINGGA SAAT INI DAN YANG SUDAH TERLANJUR MENJADI SEJARAH NYATA (BUKAN NGARANG SEPERTI SUPER SEMAR VERSI SOEHARTO) maka KESIMPULAN GUE ADALAH BEGINI : musuh bersama kita sebagai sesama bangsa Indonesia ADALAH KETIDAKADILAN — bukan asal-usul keturunan, bukan soal pribumi atau non-pribumi, bukan perbedaan latar-belakang agama, bukan perbedaan warna kulit , dan BUKAN KARENA WAGUB DKI JAKARTA ITU AHOK ATAU BUKAN AHOK . Sekali lagi : INI ADALAH PERKARA KETIDAKADILAN YANG TERUS DIJEJALKAN KE DALAM CARA BERPIKIR DAN SIKAP HIDUP MASYARAKAT DI INDONESIA. SUMBER-SUMBER KETIDAKADILAN ADA DI SEGELINTIR ORANG YANG MEMBUAT KEBIJAKAN YANG SERINGKALI TIDAK BIJAK ITU — SEGELINTIR ORANG YANG MEMBUAT DAN MENGENDALIKAN SISTEM. Gue, Jokowi-Ahok, dan semua bangsa Indonesia (KALAU MAU DITUDUH JELEK SEPERTI BINATANG) maka semua yang jelek seperti binatang itu ADALAH PRODUK SISTEM/KEBIJAKAN YANG JUGA JELEK SEPERTI BINATANG ITU. Terima kasih.

    DIDINGIRENG, 22/11/2012 10:22:05 WIB,
    via gmail.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here