RSBI Dihapus, Jokowi Siap Pertahankan Kualitas Pendidikan

20
565

Ahok.Org – Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo yakin bahwa anggaran pendidikan Provinsi DKI Jakarta dapat digunakan untuk mempertahankan kualitas pendidikan.

Dengan demikian, keputusan Mahkamah Konstitusi yang menghapus Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI) tidak akan memengaruhi terciptanya pendidikan berkualitas di Ibu Kota.

“Disuntik saja sumber daya manusia (SDM) gurunya, kemudian fasilitas yang ada di sekolah disiapkan, seperti perpustakaan dan laboratoriumnya,” kata Jokowi seusai meninjau pedagang kaki lima (PKL) Blok M, Jakarta, Selasa (8/1/2013).

Ia menjelaskan, peningkatan SDM itu dilakukan dengan meningkatkan kompetensi dan upaya pemberian pelatihan kepada guru-guru. Rancangan anggaran yang akan dialokasikan untuk pendidikan pada tahun 2013 diperkirakan sekitar Rp 11,5 triliun. Anggaran pendidikan ini mendapat alokasi terbesar dalam RAPBD 2013.

Oleh karena alokasi anggaran untuk pendidikan paling besar dibanding sektor lain, Jokowi berharap hal tersebut dapat menghasilkan kualitas pendidikan yang baik pula. “Kira-kira anggaran Rp 10-12 triliun kan gede banget. Oleh karena itu, harus menghasilkan fisik yang baik dan infrastruktur yang baik, seperti fasilitas laboratorium, alat peraga, dan SDM gurunya harus disuntik terus,” kata Jokowi.

Jokowi mendukung penuh langkah Mahkamah Konstitusi (MK) yang menggugurkan undang-undang yang mengatur soal keberadaan RSBI. Menurutnya, biaya mahal tidak menjamin sebuah kualitas pendidikan. Ia berpendapat bahwa kualitas dan kesiapan SDM yang baik dapat menjamin kualitas pendidikan.

Jokowi menyatakan bahwa, sebelum ada sistem RSBI, pelajar-pelajar di Jakarta tetap dapat mengukir prestasi dan mampu bersaing dengan pelajar dari kota maupun negara- negara lain. “Banyak juga di RSBI gurunya pakai Bahasa Indonesia, itu berarti internasionalnya ada di mana? Artinya kesiapan sebuah program memang harus benar,” kata Jokowi.

Hari ini MK membuat keputusan atas kasus RSBI yang telah diajukan pada Desember 2011. Setelah menimbang dan melihat bukti serta keterangan, MK mengabulkan permohonan para penggugat., yakni menghapus RSBI dan Sekolah Berstandar Internasional (SBI).

Putusan ini dikeluarkan oleh MK setelah menimbang bahwa keberadaan RSBI dan SBI tidak sesuai dengan konstitusi yang ada. Beberapa hal yang menjadi pertimbangan adalah biaya mahal yang mengakibatkan adanya diskriminasi pendidikan. Selain itu, pembedaan antara RSBI/SBI dan non-RSBI/SBI menimbulkan adanya kastanisasi pendidikan. Penggunaan Bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar dalam tiap mata pelajaran di sekolah RSBI/SBI juga dianggap dapat mengikis jati diri bangsa dan melunturkan kebanggaan generasi muda terhadap penggunaan dan pelestarian bahasa Indonesia sebagai alat pemersatu bangsa.[Kompas]

20 COMMENTS

  1. betul, ane setuju banget.
    seharusnya bukan bahasa inggris jadi bahasa internasional, tapi bahasa matematik dan sains.
    shg semua penduduk dunia bisa mengerti apa yg disampaikan penduduk dunia lain dari negara manapun tanpa perlu penerjemah khusus yg disumpah serapah lagi sbg penengah/mediator bahasa dan menghabiskan banyak waktu utk mempelajari dan menghapal serta memboroskan ruang otak utk menampung bahasa2 penduduk dunia yg tak berguna itu, atas nama efisiensi pemakaian kapasitas otak utk hal2 yg lebih berguna.
    Contoh:
    1. cukup pakai “H2O” utk mewakili air, water, zuur, mizu, shui, dst.
    2. pastinya 1 + 1 = 2, bukan “1-1” ato “satu-satu” ato “sebelas” ato “tergantung jenis kelaminnya, klo beda maka “1 + 1 = 3”.
    3. cukup pakai “ratus rattus” utk mewakili tikus rumah/got yg besar, tak perlu lagi menghapal: tikus got, rat, dst,
    .
    .
    .
    .
    OK, sudah cukup becandanya saat ini… 🙂
    bahasa internasional tetap diperlukan sbg interface bahasa antar bangsa, dan bahasa indonesia tetap dibutuhkan sbg bahasa pemersatu suku2 bangsa di Indonesia.
    Dan pendidikan berkualitas memang lebih penting daripada pendidikan berkuantitas yg cuma mencetak orang2 pandir sok kuasa tak berpendirian, tukang brantem, dan tawuran tiyap hari ke masyarakat saja!

  2. Meskipun gak nyambung dengan isi berita di atas…..

    Mantan wali kota Solo, Joko Widodo (Jokowi) terpilih menjadi wali kota terbaik ketiga dunia. Jokowi dipilih karena reputasinya yang membawa perubahan di Kota Solo saat menjabat sebagai wali kota.

    Ini adalah sebuah kebanggan bagi warga Kota Solo dan Indonesia pada umumnya. Dengan harapan semoga mampu menginspirasi kita semua termasuk para pejabat di atas sana. Selamat Pak Jokowi, kami bangga pada Anda.

    Baca berita selengkapnya di sini: http://www.worldmayor.com/contest_2012/world-mayor-12-results.html

    • lucunya ada komentar di TV dari Amien Rais, hehehe…gak layak katanya, SOlo masih kumuh, beda jauh dgn negara2 Amerika, Belanda, Inggris, Aussie, Eropa, dst yg pernah saya kunjungi…..
      Pingin tau, lingkungan tempat tinggal tokoh nasional ini, rapi, bersih tdk ya…bisa gak membawa hal positif buat lingkungan nya…

  3. pak Jokowi dan pak Ahok, tolong perhatikan juga, anak yg tdk berbakat pd science, math, fisika, biologi, ekonomi….tapi yg berbakat/talenta pd seni, bahasa, olahraga, dan bakat2 lain nya, ini harus dibina, diarahkan dan diberi kesempatan.
    Dari penguasaan alat, asah skill, latih mental tampil, dll.
    Juga bina moral mereka sejak dini, sopan santun, toleransi, tertib lalu lintas.

    Selamat bertugas!

  4. “Penggunaan Bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar dalam tiap mata pelajaran di sekolah RSBI/SBI juga dianggap dapat mengikis jati diri bangsa dan melunturkan kebanggaan generasi muda terhadap penggunaan dan pelestarian bahasa Indonesia sebagai alat pemersatu bangsa”.
    Saya pribadi tdk setuju dgn kutipan diatas, menurut saya sudah selayaknya bhs pengantar dlm bhs inggris krn tdk bisa dipungkiri lg kita skrg hidup dijaman modern yg persaingannya sangat ketat. Jika sedari dini dibekali bhs inggris nantinya pst dlm dunia krj amat sangat membantu apalg dunia krj swasta. DiIndonesia sering kali para expat & lulusan overseas lebih dipilih dlm dunia (ini adalah kenyataan)oleh sebab itu pembekalan bhs inggris sejak dini sangat recommended. Jgn takut hal ini akan melunturkan kebanggan generasi muda terhdp penggunaan bhs indo krn salah satu hal inilah yg dpt membuat generasi kita bisa bersaing n maju. Contohlah Singapore yg tdk menggunakan bhs mandarin sbg bhs pengantar melainkan bhs inggris, Malaysia & Philippine/Philipina jg melakukan hal yg sama,tetapi bhs Ibu mereka tetap tdk luntur walaupun didunia pendidikannya mayoritas menggunakan bhs inggris.

    • stuju. bhs inggris di indo seperti hal yang sulit & menakutkan. padahal belajar bhs inggris itu amat sangat gampang. apalagi musik2 barat & filem2 barat semua pake bhs inggris. jadi bhs inggris hrus jadi bahasa nasional kedua karena itu adalah bhs pendidikan & internasional. suka tdk suka, sulit atw tdk, stuju tdk stuju, bhs inggris itu wajib dikuasai oleh warga indonesia bila ingin menjadi bangsa yg maju. HARGA MATI ! sptnya begitu pak Jokowi.

      • kalo sekrg, bahasa Mandarin jauh lebih penting…. 🙂
        Bule aja pada belajar. Kiblat bisnis nya kesana sekarang.
        Ya semakin banyak bahasa yg dikuasai, makin baik.
        Hanya di telaah saja, materi pelajaran secara keseluruhan bagaimana, harus ada kandungan lokal tentang nasionalisme berbangsa Indonesia!
        Di China, susah banget kalo gak bisa mandarin, hampir pd gak bisa English.
        Tapi negara nya maju banget ya.
        Indonesia harus belajar lebih PeDe juga sebagai bangsa yg besar. Expatriat disini, harus belajar bahasa juga.

        Selamat beraktifitas!

        • utk berbisnis dgn chinese memang sebaiknya menguasai bahasa mereka, krn mereka pada umumnya mereka kesulitan sekali dgn bahasa Inggris (reformasi dari piktogram ke alphabet saja bikin stress sendiri, shg ejaan pinyin kurang berhasil dipasarkan ke dunia krn apa yg ditulis gak sama dgn pelafalannya yg benar, ga heran banyak yg stress berat yg baru belajar) dan spt yg anda temukan ya rata2 lebih fasih berbahasa ibu mereka daripada English.
          Contoh paling gampang orang Singapura (SG).
          bagi mereka yg sudah OK punya belajar Englishnya maka aksen dan grammarnya yg digunakan sudah tepat sesuai standar internasional, anda takkan tertawa mendengar mereka berbicara.
          Tapiii… ada beberapa orang SG yg rada ‘sok’ berbicara English tapi dgn logat dan aksen bikinan sendiri dan mengikuti grammar Chinese, bukannya murni English, ini yg umumnya dikenal orang dgn sebutan “Singlish”
          (Singaporean-style English), contohnya yg bikin ngakak yg denger:
          “You can walk short circle la..” (you can walk around not so far away)
          “sir, we have chicken empty three” (we have only 3 gutted chickens, sir)
          dst.. (silahkan tambahin yg tau contoh2 bhs Singlish berikutnya yg bikin ngakak)

          Dan agar spy diketahui, ketika orang butuh duwitnya (dunia bisnis brow!), apapun akan dipelajari (termasuk si bule) betapapun sulitya mempelajari bahasa tsb, termsuk belajar bahasa gambar spt tulisan dan ejaan mandarin yg tentunya lebih kuno dan lebih sulit (ada pola aksentuasi, shg penekanan bunyi penting sekali, bukan cuma beda bunyi/lafal saja) drpd belajar alphabet romawi yg nyaris tanpa aksentuasi (shg jauh lebih mudah). Tidak ada yg aneh disini, “demand/need beats difficulties” rulez.
          Coba kalo orang Chinese gak kesulitan belajar English, ane jamin tuh bule gak perlu belajar Mandarin.
          Banyak koq orang2 Chinese dari Amerika yg menetap di China (dan dibayar mahal sama yg hire mereka, big companies sumumnya) dan fasih bicara English shg mereka jadi ujung tombak interface dgn bule2 dan mengubah kesulitan menulis English dgn benar jadi lebih mudah dgn mengajarkan yg benar spt apa kpd pegawai2 lokal lainnya (dulu banyak sekali tulisan English yg aneh2 yg bikin ane ngakak, tapi skrg dah jauh lebh baikan, setidak big companies sudah mulai memperhatikan dokumentasi English yg baik dan benar, bukan sekedar ada (dan asal nulis) aja.

          China skrng maju krn perubahan sistem politik dari “murni komunis” jadi “semi-komunis ato komunis dgn kapitalisasi ekonomi terkontrol”. Tanpa perubahan politik ini (dari dalam tentunya), China akan tetap spt dulu, persis spt jaman Mao berkuasa, tetep kere dan gak gaul dgn dunia luar shg akan tetep buta teknologi dan tak ada yg namanya investasi ke tanah cina daratan, bahkan Taiwan companies aja mau pindahin pabriknya ke China gara2 perubahan yg ‘sedikit’ ini dlm sistem politiknya.

          Sedikit informasi, jika dulu sekitar sblm taon 2000 anda berkunjung misalnya ke rumah sakit (umumnya milik pemerentah, krn anda bisa kenali dari baju dinasnya khas PLA yg berwarna hijau tentara dan ‘cap’ bintang merah di bahu yg tertutup stelan dokter) di Shanghai misalnya, jika anda cuap2 pakai English, mereka akan terpana semua dgn kagum disangka lulusan PhD Amrik, krn umumnya yg bisa English cuma dokter2 kelas atas yg sudah pernah belajar di luar negri trus balik ke Cina daratan, entah krn kepengen ajeh ato disuruh ‘big boss’.
          Tapi skrng kita tes lagi,, hehehe… biasa aje tuuh… dah maju soalnya, dah banyak yg belajar English dan tau itu penting buwat interfacing dgn belahan dunia lain. tapi klo diluar Shanghai ane gak tau ye…
          Inget masih banyak rakyat Cina daratan yg kurang pendidikannya krn faktor ekonomi yg rendah (bisa dilhat GDP-nya di internet, ada faktor kemiskinan di tempat lain non pusat bisnis yg membuat posisinya gak spt yg dibayangkan), jadi ane gak heran banyak yg gak bisa English, sama aja lah kek disini problemnya, jangankan di kampung2 jauh di pedalaman, nah ini biyar tinggal di kota aja English tetep aja masih kacau balaw blepotan padahal artis ibukota lho…

          Bagi ane, bahasa yg digunakan itu tergantung kebutuhan (need/necessity is first). Shg semakin banyak bahasa dikuasai belum tentu semakin baik. Terkadang spesialisasi bahasa lebih diperlukan dlm dunia science-techno/ICT drpd nguasain banyak bahasa tapi cuma permukaannya saja ato cuma tau bahasa percakapan yg umum dipakai saja spt dlm dunia bisnis, Contoh: “depolymerization = ?” ane gak yakin orang bisnis bisa tau tepat artinya kecuali hobi kimia banget ato emang sales dari Merck/DuPont :D.
          Jadi beda brow cara/sudut pandangnya gak bisa disamain semua. ente dari biz view (simpler vocab), ane dari science-techno/ICT view (complex vocab), ya akan beda hasilnya, gak akan sama.
          (tapi brow, klo ente emang dari dunia bisnis, harusnya dah tau dong mobil listrik temen ente di USA bakal murah ngurusinnya nanti sesuai hukum pasar/ekonomi? ane kira ente bukan dari biz-world liat ‘komplennya’ ente kek orang awam gitu, gak tau soal hukum pasar gitu loh kamsudnya :))

          Kalo utk science-techno/ICT dan umum/etc, saat ini bhs internasional (English) yg berbasis alphabet romawi/latin yg lebih pas (krn lebih efisien, baik dari jumlah huruf per kata dan pengabungan simbol2/huruf2 simple yg ada utk membuat kata2 baru, meski gak semuanya efisien, sptnya kudu dicari lagi bhs yg lebih mudah dipelajari, dibaca sama sesuai dgn apa yg tertulis [“C” = ce, bukan “se”], tanpa aksentuasi (no special accent marker on letters) utk mengurangi jumlah huruf/simbol yg harus dihapal dan harus paling singkat/pendek kosa katanya [jumlah huruf per kata], jadi bhs Indo jelas tak termasuk krn terkenal panjaaangnya utk satu kata bentukan saja – contoh: “no use” = “tak berguna”, panjangan mana ato pendekan mana?) shg memudahkan pertukaran data dan ilmu antar bangsa dgn cepat dan tak bertele2.
          Bhs Mandarin/Chinese jelas sulit utk dipakai dlm science/ICT, krn selain butuh ruang penyimpanan data lebih besar dari sekedar ASCII 8-bit, shg butuh Unicode 16-bit utk mencover semua ribuan karakter2nya (ini saja sudah dinilai tak efisien sbg interface language) lalu mempelajarinya jauh lebih sulit lagi, baru ngomong aja udah kepentok, kudu sesuai aksen yg dipakai krn artinya bisa beda salah aksen dikit aja, nah bakal lebih sulit lagi klo mo belajar baca/nulis karakter2nya, krn ada aturan2 cara nulisnya shg pemerentah China pun merasa perlu menyederhanakan karakter2 ini agar lebih mudah ditulis dan diingat/dibaca (shg muncullah versi “Simplified” yg dipakai di Cina daratan skrg ini, dgn ejaan Pinyin [latinisasi aksen/ejaan Mandarin agar lebih mudah dipelajari/dilafalkan non-native speakers] yg tetep bikin keder para noob krn gak sama cara bacanya spt yg dikira).

          Kalo utk bisnis, tergantung dgn siapa anda bicara, sesuaikan dgn lawan bicara. Klo dgn Chinese ya pake Chinese, dgn English ya pake English, cari yg enakan ajeh biyar bisnis lancar, krn ini yg nomer satu kan?
          “Demi duwit apapun kulakukan… :D”

          Kalo utk sastra, ya disesuaikan dgn asal sastra tsb. jika asalnya dari kawasan Indonesia, maka penyampaian dlm bhs Indonesia lebih tepat meski terkesan bertele2 (krn bhs Indonesia dasarnya dari bhs Melayu yg memang bhs sastra shg penyampaiannya memang terkesan bertele2 dan panjaang sekali nulisnya spt ini :D), bahkan lebih baik lagi dlm bhs daerah setempat tempat karya sastra itu berasal. misal folklore Malin Kundang mungkin lebih tepat disampaikan dlm bhs Minang sesuai asal crita rakyat tsb, baru lengkapi dgn teks terjemahan (jangan didubbing yg merusak karya seni asal spt yg terjadi di stasion2 tipi kita saat ini, contoh sinetron India: bukannya lebih baik dibiarkan dlm bhs India plus teks Indo drpd kena dubbing tanpa ampun? gak brasa Indianya tuh buwat ane, lebih mirip orang di toko2 pasar tenabang direkrut pak punjabi disuruh maen disinetronnye drpd asli bikinan India krn pade ngomong pake logat tenabang gituh semua).

  5. Pak Jokowi, mohon kurikulum SD dibikin sesederhana mungkin & bicara hal2 keseharian. jadi pedoman ” BELAJAR SAMBIL BERMAIN ” itu benar2 diayomi oleh anak2 SD. bagaimana proses warung meningkat jadi kios kecil lalu ke mini market kemudian supermarket, hypermarket dan jadilah mall. spt halnya diterangkan dari membajak tanah, tanam benih, hasil padi utk makanan ayam, sapi, manusia, lalu bikin peternakan yg melibatkan dokter2 hewan, hukum perijinan, lalu menjadi pabrik produksi hasil peternakan / pertanian.

    maksud saya, anak2 sejak usia dini sudah diperkenalkan dan dibiasakan dg aturan hukum yang berlaku sehari2 dlm lingkungan sosialnya. spt kenapa orang pake jilbab, pakaian renang, pakaian olah raga, tari menari dsb. hal2 sederhana spt itu tdk lagi diketahui oleh mereka padahal ini sgt penting utk meningkatkan kemampuan daya saing mereka & survive utk hidup.

    Banyak bermain sambil belajar akan jauh lebih efektif untuk meningkatkan kemampuan kreativitas mereka sejak dini.

    Mohon dipertimbangkan pak. trima kasih.

    • benar grace..berhitung, jumlah perkalian dulu selalu menghafal. Harusnya bisa dengan permainan, dgn batu/kelereng. Kenapa 2+3 = 5, 2×3 = 6, Mudah mereka ingat dan logika nya jalan.
      SMA atau Kuliah, mestinya ada program Bela Negara, semacam Wamil.
      Kerjasama dgn TNI, bahu membahu jalani kegiatan bersama, dari berbagai sekolah, suku, lama2 bisa hilangkan tawuran dan lain nya. Dan rasa Nasionalisme tertanam.

      • Wirss… kalau wamil diberlakukan lagi, jangan2 nga ada lagi org yang melamar jadi TNI & polisi karna warganya kan terlatih utk bela diri, berpikir kritis, tahu hukum & tahu menggunakan senjata. jadi modal pakaian seragam tok & senjata, tidak menjamin TNI & Polisi kita akan sggup berkelahi satu lawan satu secara ksatria dg rakyat bila kekuatan seimbang 🙂 Dg adanya wamil, maka premanisme & tawuran akan terhapuskan. pulau2 akan terjaga keamanannya oleh penduduk sipil. hal ini dpt membuat frustasi anggota TNI & Polisi seolah2 mrka tdk dibutuhkan lagi & hanya kerja admin saja. Jadi buah simalakama. kecuali negara kita berpartisipasi utk gempur arab saudi yg bikin tkw / tki kita pd sengsara, cacat & sakit jiwa. gempur malaysia yg seenaknya saja ngejek Indonesia & curi hak paten dari kebudayaan Indonesia dsb. itu baru oke banget ! Nga cuman TNI yg turun. rakyat pun pasti ikut turun. aji mumpung utk salurkan hobi tawurannya hehehe…

        • Ya nggak juga Grace, 🙂 kan ini jangka pendek, paling 6-12 bulan, di gembleng disiplin, kesehatan jiwa raga, moralitas, attitude, dan kesatuan bangsa! Juga sedikit tentang kemampuan menembak, bela diri. 🙂 daripada sekarang, liat generasi muda, gaya alay…
          Kalo Polri dan TNI, mereka berlatih dan berbakti seumur hidup, dan wamil bisa memper’erat hub dgn rakyat. Malah lebih solid.

    • Grace, itu kurikulum ga bisa dibikin lebih sederhana lagi, udah wajib spt itu formatnya (lengkap dan terstruktur/hirarkis), krn ia adalah garis besar pedoman pengajaran bagi guru dan murid.
      tapi silabusnya yg dibuwat guru2 dgn berpedoman pada kurikulum masih bisa
      Klo mo pake perbandingan dgn agama, kurikulum itu spt kitab suci pedoman guru2 sekolah, dan silabus guru adalah spt haditz ato terjemahan dari ‘ajaran’ kurikulum utk dibuwat pedoman pendidikan guru-ke-murid scr nyata dan praktis yg dibuwat oleh guru itu sendiri shg bisa lebih sederhana dan praktis sesuai kemampuan dan keinginan guru itu sendiri.
      Bukan kurikulum yg perlu dirubah, tapi pelatihan semua guru2 di Indonesia agar bisa mengikuti pola pengajaran kurikulum yg sedang berlaku scr lebih profesional dan berkwalitas, krn percuma kurikulum mo secanggih/sesederhana apapun, tapi kalo ujung tombaknya, yaitu guru, tak menguasai masalah di lapangan, tak mengerti apa yg mo diajarin berdasarkan kurikulum yg ada/berlaku, tak ada pelatihan utk itu, ya percuma saja.
      “Gurunya o’on, ya muridnya ikutan o’on juga lah…”
      “Gurunya jadi robot pelaksana kurikulum dgn harga mati tanpa liyat2 dulu situasinya, ya murid2nya juga spt robot juga, tebak2an multipel-chois, ga ada essay = ga kreatip (selain teba2kan, ga tau cara laen lagi yg lebih berguna bagi pola pikir kreatip/analitis krn ga terbiasa menulis jawaban dlm bentuk essay dan metode ilmiah [PengumpulanDataAwal, Pertanyaan/Var Dicari, Hipotesa, CaraSolusi, Sintesa/Jawaban]), selain jago nyuri pulsa.”

      Cara ngajar nyang bener ya ngikutin gaya Socrates, sang filsuf/guru besar (the great philosopher/teacher), klo ngajarin murid2/pengikut2nya (the apprentices/pe-magang, krn cara bayar lez privat-nya ya jadi babunya si guru, kudu ngikutin dia teyus kemane2 ngelayani monya die, makanya pasti nginep di rumah ‘asrama’ si guru klo lagi ga “tur de otbon” ato karyawisata keluwar asrama) – langsung ke masalah dan sesuai situasi stempat saat itu juga, en ga perlu bawa buku2 baru dan banyak dari hasil tender proyek “buku baru lagi tiyap tahun ajaran baru”, cukup dengerin logika2 yg dipaparkan dan catat (ga ada jasa potokopi ato tape-recorder saat itu boz! palu ame batu tepoz (tablet). kudu punya modal otot kuli bangunan klo mo nyatet dgn tulisan jelas kbaca).
      Contoh pelajaran langsung diperlihatkan di muka ente langsung, klo bisa, klo ga ya kudu pake model abstrak en bayangin di kepala, agak sulit buwat yg rada o’on sih.
      sekoloh2 alam yg otbon itu cuman mengulang-tiru cara2 Socrates mengajar murid2nya jauh seblum kalender Masehi ditetapkan. Dan cara mengajar “belajar filsafat/logika dekat dgn alam” tsb diikuti murid2nya spt Plato utk diteruskan ke murid2nya lagi, dst (termasuk yg menyimpang dari ajaran2 filosofis awalnya yg berbasis logika dan menekankan para pengikutnya pada “total percaya aja deh ame ape kata ane” semata, cuman cara appretice/magang aja yg terus dilakukan agar dekat dan loyal dgn guru).
      Ente mungkin mo nanya, bahasa global/internasionalnya apa sih yg dipake klo lagi ngajar zaman itu?
      Ya bahasanya si Socrates lah, “Greek”, lagian juga bahasa Yunani saat itu sudah populer dipakai pelancong2 dan pelaut2 dunia sekitar laut Mediteran, selain bahasa Latin yg dipake orang2 Romawi dan budak2 jajahannya. Jadi yg mana bahasa globalnya, ya tergantung lebih sering dimana ente tinggal/kunjungi daerahnya.
      Gosipnya sih, si Socrates juga bisa bacod Latin, inisiatip blajar otodidak demi menghindari korban emosi galaw, jadi ga perlu pake bantuan penerjemah terzumpah-zrapah lagi buwat ngajarin murid2 romawi (krn biasanya bakal dibacok langsung klo ampe ngocol bacod ga bener si penerjemah, mantan preman labil pasar induk Agora sih, sblon jadi orang bijak yg mampu mengontrol kestabilan emosi scr penuh).
      ———-

      Tambahan komen utk topik berita diatas:

      Ane mah ga mo pusing ama RSBI/SBI yg lagi diributin ituh…
      “Competition is Good! Competition, in the end, makes things SEEE (smarter/efficient/effective/economical).”
      adanya kompetisi sangat berguna utk melecut semua agar bisa bersaing dan mencontoh hal2 yg baik dan berguna, bukan krn ga bisa bersaing trus mo tutup paksa sekolahnya, kayak FPI ajeh… seenak2nya sendiri bertindak…
      itupun yg dihapusin statusnya cuma yg negri punya, yg swasta ga kena, bukannya diskriminasi tuh?
      lagian kalo alesannye, bikin kesenjangan sosial ato “kastanisasi sekolah” (ga perlu cari di kamus manapun, ga bakal ade! barusan dibikin istilahnya masih fresh from the Indo-KataMaxXxa oven – pokoke dah tau kan maksudnya?), kenape juga ga boleh berbeda? emangnya ga boleh berbeda lebih baik kualitas/mutu pendidikannya? klo emang lebih mahal biaya pendidikannya shg cuma orang2 kokay aja yg mampu, ya biarin ajeh! selain krn mendidik orang jadi pinter itu ga mudah apalagi yg bebal-panatik, alat sarana penunjang edukasi juga ga murah bagi jurusan/spesialisasi tertentu – emangnye kayak anak jurusan sospol yg bisa pinjem dulu labnya di depan gedung DPR, ato bunderan HI, ato jalanan rame, dst buwat experimen politik praktis di lapangan dgn harga diskon/miring?
      Ane mah pikir gini aja, kalo emang sekolah2 SBI ini diminati orang2 mampu/kokay aja (ya sama kayak zaman ane dululah, yg mampu bisa masuk sekoloah swasta bermutu en beken mutu pendidikannya, yg ga mampu ya masuk negri en beken… mutu tawurannya! tinggal dipilih aje sesuai ukuran kantong…), ya tinggal dipajakin aja kayak Ali Sadikin majakin kasino2 mewah, kan enak dapet pendapatan daerah tambahan sekaligus punya sekolah bermutu kelas internasional statusnya (jangan lupa, pertukaran siswa internasional antar negara/bangsa lebih sering terjadi di sekolah2 kelas SBI ini, ane aje kaget, koq bisa ade cewe bule cakep nangkring di SMAN 70 Bulz? ooo ga taunya kelas SBI toh skrg statusnya… naek gengsi critanye, meski hobi tawuran tetep aje jalan teyus kayak dulu… yg di yogya juga sama bgitu.. statusnya biasanya SBI tuh sekole klo liyat ade bule wara-wiri disitu).
      Setidaknya masih bisa masuk sekolah non-SBI lainnya kan? ga harus masuk sekolah SBI kan? dan jauh lebih banyak sekolah2 non-SBI dibandingkan SBI! Aneh, koq pake repot2 amet ngurusin urusan orang laen, lah orang2 kokay yg masuk situ (SBI) aja ga komplen koq kena pungli macem2 – seneng2 ajeh, malah situ (yg dema-demo minta SBI dihapus) yg komplen spt orang panik kena gempa? aneh…
      ini mungkin mirip kasusnya ama zaman Ali Sadikin dulu, sbnarnya banyak yg ngiri pengen masuk kasino utk ikutan judi tapi duwitnya ga kuwat (cari maenan yg laen ngapa, brour! yg mura-merieh kan banyak ntuh! test-drive odong2 ajeh, rame mulu tuh!) en takut dihujat sesama penentang, jadi ya (pengen) demo suruh tutup itu kasino biyar ga ngiler lagi liyatin orang2 kokay kluwar-masuk kasino gandengin cewek2 zuper bahenol-nol-nol, tapi klo dulu ada yg jagain dari koramil dan pemda langsung, so mana brani demo dia, apalagi masih ada yg lebih ditakutin yg masih bercokol disitu, di posisi RI-1. he-heh-heh… munduuur ajeeh gaaan, lebih baek cari aman!

      • ane juga baru denger brita di tipi, si ibu walikota surabaya bertahan dgn SBI, krn dianggapnya bagus dan meningkatkan kwalitas pendidikan, dst… apalgi siswa2 di kota surabaya gak bisa disamakan dgn daerah2 lainnya…
        ya bagus itu bu, punya sikap pendirian yg brani dan dewasa serta tegas demi kemajuan pendidikan, berarti si ibu tau banget kompetisi membuat siswa/orang jadi kompeten krn terbiasa bersaing scr sehat di dunia internasional (makanya bisa English itu penting, bukan sok pamer), dlm ilmu dan bukan otot, shg bisa memunculkan orang2 hebat dan bijak dlm berpikir dan bertindak, dan bukan memunculkan orang2 dungu picik yg tanpa malu pengen jadi raja (harem) di negri ini. ya kita lihat saja siapa yg menang, yg sering berkompetisi antar bangsa shg mengenal berbagai ilmu dari bangsa2 tsb ato yg cuma bergumul, gontok2an dgn kaumnya ato piaraan2nya sendiri shg tak kenal dunia luwar (dia pikir dunia cuma selebar Indonesia ato bahkan sepanjang pulaunya dia sendiri) – sudah bisa ditebak yg bakal menang sapa.
        —–
        Seharusnya yg diperlombakan kualitas pendidikan (biyar sedikit yg lulus tapi semuanya memang berkualitas/pandai) bukan malah kuantitas pendidikan dimana seluruh siswanya harus lulus biyarpun ada yg bodonya gak ketulungan, ya dicheat/nyontek aja nilai2nya (krn kuantitas kelulusan yg penting kan?).
        —–
        baguslah punya sikap tetap tak berubah spt itu biyar dilucuti paksa embel2 SBI-nya, tapi gak pentinglah tembelan spt itu ya… cuman skin tag ajeh, yg penting mah kualitas/isi nye, tetep bagus ape kagak, ya gak?
        sekali punya kualitas SBI tetap harus berkualitas SBI ya bapak2/ibu2…. bagus itu, pertahanakan!
        Gak usah khawatir, lagian yg jadi barometer pendidikan emang cuman sekitaran kota Bandung, Yogya, dan Surabaya, gak heran mereka disitu bertahan dgn pola ajaran SBI meski sudah inpalid, krn udah terbiasa berkompetisi dlm ilmu dan pelajaran, tanpa embel2 SBI pun dah SBI mutunya.. contoh paling anyar si Harta… sape tuh…? nyang dari Surabaya.. pokoknya yg dari kecil dah tinggal di Amrik sono en saking pinternya dapet percepatan sekolah di SMA dan jadi murid termuda di university, masuk tipione klo ga sale krn jadi motipator pendidikan termuda di dunia (CMIIW). Gak heran klo dari Surabaya mah, banyak anak2 pinter dari sono, penuh ide2 yg luar biasa dan aneh2 yg gak kepikiran orang normal.
        Tapi klo dari Jakarta emang rada aneh, soalnya gak punya trak rekor jelas di sektor pendidikan spt ketiga daerah laennya diatas, jadi ya sptnya kurang tegas dlm menyatakan akan mempertahankan kualitas SBI-nya kedepannya nanti, apalagi pak JoW sendiri juga kontra SBI (entah soal mutu pendidikan tinggi ato duwitnya yg mahal yg diperhatikan duluan) – makin lengkap status Jakarta adalah bukan kota pendidikan. Ya itu terserah mereka juga sih, kan masing2 daerah beda2 monya apeh katanye… mo duwit/quantity ato mutu/quality dulu yg mo diperjuangkan di dunia pendidikan…

        Tapi buwat ane, tetep inih pedomannye:
        “QUALITY FIRST, QUANTITY NEXT” – TaZ
        “Gak pede ente bisa bersaing? BE-LA-JAR! (sebaiknya hindari cara2 hina yah, klo gak mau dipermalukan dikemudian hari)” – TaZ

  6. Setuju. Sekarang ini banyak bermunculan istilah “sekolah bertaraf internasional”, khususnya di kota kota besar. Kemunculan sekolah seperti ini seperti memperlebar jarak antara si kaya dan yg kurang mampu. Kesenjangan sosial semakin diperuncing. Setuju sekali dg Pak Jokowi. Dulu aja ga ada sekolah gini ginian, nyatanya juga banyak pelajar Ind yg mampu bersaing dg pelajar dari negara lain.

  7. agan2 diatas, saya kurang stuju jika penggunaan bhs inggris dianggap melunturkan nasionalis kita, justru dg luasnya penggunaan bhs inggris memberi peluang anak2 nanti dlm berkarir bkn kah TKW TKI kita digencet diluar negri gara2 gak nguasahi kontrak2 dlm bhs inggris. Bhs Indonesia adalah bhs nasional tapi inggris adalah bhs fungsional. Dg mahor berbahasa inggris gak akan membuat kita jd org amrik atau org inggris. Salam

    • “Bhs Indonesia adalah bhs nasional tapi inggris adalah bhs fungsional”

      fungsional?
      maksudnya bahasa internasional, kali ya?
      semua bahasa yg dipelajari kudu fungsional/kepake lah, buwat apa dah ngabisin berhektar2 kapling sel neuron di otak tapi ga pernah kepake barang zehieteelpoon, ya ga brow2 sekalian?
      buwat ane mah, bahasa internasional adalah nomor satu yang harus dikuasai dan bahasa negara adalah nomor duwa.
      eiitz! sabar dulu boz spt orang bijak yg selalu berpikir duluan dan emosi belakangan! mo tau kenaapa?
      karena bahasa negara (Indonesia) bgmanapun PASTI diajarin minimal ama ortu ente2 semua, biyarpun rada ga beres – klo ga gimana mo interfacing scr benar dgn sesama anggota kluarga/RT/RW/Klurahan/…/Bangsa. Tapi bahasa internasional (Inggris, ato tunggu kesepakatan bahasa global baru nanti yg lebih mudah dipelajari oleh 90% penduduk dunia agar interfacing antar bangsa dunia bisa pakai bahasa yg lebih efisien en efektif lagi drpd English) BELON TENTU mo diajarin sama ortu/guru/RT/RW ente, apalagi sama orang yg ga menguasai ato ga tau sama sekali bhs global itu emang eksis, bukan cuma statusnya dia aja di fesbuk, apalagi yg panatik anti-globalisasi, dikuliahin balik sok nasionalis malah iyah (padahal bilang ajah MALU ga bisa bacod dan ogah belajar bhs global tsb), jadi kudu bisa belajar sendiri minimal.
      Itu sebabnya SG ambil inisiatip agar menjadikan bhs internasional (English) sbg bahasa utama (Main/1st language) atau bhs nasionalnya utk memastikan bhs ini dikuasai dgn baik oleh seluruh penduduk tanpa protes yg aneh2 aje alesannya ato clueless-overphobia kayak disini, baru selanjutnya bhs2 mayoritas lainnya boleh dipelajari, tidak wajib, agar supaya otak kepalanya diisi dgn hal2 yg lebih berguna utk berpikir dan berkreasi mencari/membuwat solusi daripada sekedar jadi tranzlator berjalan terzumpah zrapah.

      pokoknya dah ga salah dah komen ane diatas yg pertamax ituh… 🙂 perhatikan paragraf yg terakhir stlh slese becanda.. itu panduan dasar umum bagi sebuah negara/bangsa agar tidak tertinggal pendidikannya dgn negara2/bangsa2 dunia lainnya… sukur2 bisa masuk top ten bilbor list utk highly-educated/smart-people countries.

      coba cek pake logika utk pernyataan ini:
      “bagaimana caranya seorang programmer membuwat sebuah program agar bisa berjalan sesuai keinginannya jika ia sendiri tidak menguasai bahasa program yg populer tsb?”
      ooo. suruh orang laen bikin ye? kayak tukang ketik skripsi di kios2 pinggir pasar ituh… 😀 Begitulah jadinya kalo ga nguasain masalah, bukan mendekatinya dgn mempelajarinya, malah ogah mempelajari dan bermusuhan dgnnya… jadi selalu tergantung sama orang laen teyus dehhhh… payaah kan?
      masak mo bicara sama orang asing kudu buru2 ngeluwarin pocket tranzlator dulu ato kudu manggilin penerjemah (terzumpah-zrapah) dulu, padahal cuma mo say “helo haw-ar-yu tudey” ajeh.
      dijawab sama si bulek: “Fine, Thank You.”
      dibales lagi sama si gaplok (dah gagap, goblok lagi): “Okey. mi mi mister Fain Tengkyu, aa..aah.. (ngoceh ke si penerjemah) tu tulung… eh.. b b bilangin die suruh i i ikutin aaa ne…”

  8. satu hal lagi..
    banyak saluran2 tipi utk program2 anak yg kurang mendidik dari segi membaca tulisan. hampir semua acara2 asing didubbing ke B,Indonesia shg teks/subtitle tidak diperlukan lagi.
    Ada yg salah?
    ooo tidak, dari pandangan si anak jelas tidak, krn dia tak perlu bersusah payah lagi belajar membaca, tinggal dengerin ajeh malah lebih enak kan? kan bicara dah diajarin sama ortunya sejak bayi, jadi guru gak perlu bersusah payah lagi ngajarin bicara/denger, kec. kalo dyslexic.
    Dan dari pandangan si stasion tipi juga sama, ga mrasa salah, yg penting ratingnya tinggi, soal anak jadi tambah bodo ga bisa baca bukan urusan dia, yg penting omzet dan cashflow jalan.
    Cuma dari pandangan pendidik yg perhatian, baru terlihat ada yg salah.
    Anak2 jaman sekarang jadi telat umur bisa membaca, klo dulu ane dah bisa baca lancar-en-fasih di kelas 1 SD (krn terbiasa membaca teks Indonesia di acara2 berbahasa Inggris, spt “Sesame Street”, klo skrg kan kena dubbing setan kan acara ini, gimana mo blajar English dgn baik klo bacodnya Indonesian terus padahal itu acara pelajaran B,Inggris), anak skrg mungkin butuh di kelas 3 dulu baru bisa lancar fasih baca (krn keasyikan nonton acara dubbingan, lupa blajar baca dgn baik dan benar).
    Untungnya ane sadar dan melatih keponakan ane spt ane dulu (paksa baca subtitle/text Indo utk film asing ato gak ga boleh nonton tipi/pelem, mending nonton pidio ajeh ade subtitlenya teyus), skrg dikelasnya (klas 1 SD/PAUD) sudah bisa baca dgn lancar, padahal teman2nya masih bergulat dgn ketidakmampuan membaca dgn fasih krn tidak dibiasakan membaca teks ato subtitle di acara2 asing di tipi.
    Kedua, selain anda juga mrasa terganggu akibat hilangnya detail suara dari film yg kena dubbing (misal suara tembakan tidak pas, dan aneh terdengar, ato bahkan tak terdengar, padahal peluru dah ditembakkan), anak didik pun scr tak sengaja diajari utk tak menghargai karya seni orang lain/asing (krn suaranye dah dubbingan).
    Coba aje pikirin, mau ga karya2 sastra terkenal kita kena dubbingan dari negara laen pake bahasanya sendiri tanpa menghormati seni/karya seni orisinal kita2.
    pelem Si Malin Kundang yg diimpor pemerentah Jepang bacodnye dlm Japanese pul, dan bukan bacodnya dlm B.Indonesia, bukannya ada yg salah/tertinggal disini… kemana aksen Padangnya si Malin? soale orang Jepang nyang dubbing, dah pasti ilang detail seninya…

    Ane mah jadi gak heran, anak2 SD kelas 3 skrg udah cape2 en mahal2 lez Inggris tetep ajeh jelex nilai testnya.
    Abisan dah blajar dgn tekun, eh bgitu pulang ke rumah nonton acara tipi berbahasa asing malah pake b.Indonesia dubbing nya.
    Dah dobel salah: gak bisa baca dgn cepat, dan gak bisa blajar B,Inggris dgn baik tentunya. Anak2 tak ada motivasi utk blajar Bhs.Inggris dgn baik dan tekun agar juga bisa membaca teks Indonesiia yg tertera di layar (krn sapa lagi yg mo ngjarin mbaca anak2 era dubbingan tsb klo bukan ortu, tapi ortunya juga sibuk semua, guru2nya juga malez ngurusin anak2 hasil efek samping acara dubbingan yg gagap English selain gagap baca).
    Ini jadi tergantung kebijakan orangtua sendiri, krn dah ga bisa ngarepin guru lagi.
    Apa mau anaknya biasa2 aja (gak bisa baca/gak bisa English dgn baik dan benar) ato lebih hebat (bisa baca dgn dan English lancar sedari kelas 1 SD/PAUD).
    Silakan dipilih para pendidik anak, mana yg lebih baik: dengan ato tanpa teks/subtitle (pul dubbing) bagi acara2 English dan Non-Rnglish – jawaban dari ortu yg malez ngajarin biasanya milih dgn dubbing, biyar gak perlu repot2 ngajarin baca sekaligus ngajarin English, krn menurut mereka itu tugas guru (“buwat apa kita musti repot kalo dah bayarin guru sekolah pak?”).

    Takada kontribusi berguna dari ortu itu sendiri, tak ada juga dari guru pendidik siswa, krn bukan urusan mereka, tinggal siswanya mo blajar otodidak ato kagak, biyar ngerti nih orang Inggris/Jepang/Korea/Cina/India/dst lagi bacod apaan cukup dgn membaca teks/subtitle saja (jadi pinter baca dgn cepat juga efeknya).

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here