Cara Jokowi Membangun Kepercayaan

9
256

Ahok.Org – Tak dapat dimungkiri, perubahan lebih mudah diucapkan daripada dilakukan. Dari ketika dijalankan, Anda bukan hanya berhadapan dengan kaum resisten, melainkan juga mereka yang bakal kalah pamor.

Ya, kalau Anda gigih dan berhasil menaklukkan resistensi, maka akan ada kelompok-kelompok lain yang menjadi terlihat “tidak bekerja”, “asal bunyi”, atau “provokator”. Seperti kata George Carlin, mereka menggenggam ayat yang bunyinya begini, “Jika engkau tak bisa menaklukkannya, buatlah orang lain membencinya.” Mereka berkampanye agar tidak percaya pada apa yang mereka lihat.

Jadi inti dari perubahan sebenarnya: Mendapatkan kepercayaan. Obat resistensi itu, pertama-tama, adalah kepercayaan. Jujur dan berani adalah satu hal. Tetapi, ini tidak cukup bila pemimpin gagal memberikan hope melalui kemenangan-kemenangan kecil pada tahun pertamanya. Diperlukan pendekatan khusus untuk mendapatkan kepercayaan. Sebab, provokator juga hanya “mati” di tangan mereka yang sangat dipercaya publik.

Mengubah resistensi itu sendiri ibarat membuka hati manusia yang terluka. Kita tak bisa “menjebol batin” mereka yang terluka untuk membersihkan nanah-nanahnya, kecuali mereka mengizinkannya. Nah, “minta izin membuka hati” ini ada caranya: terlalu lembut tidak tembus, kekerasan hanya membuat mereka jatuh ke tangan para penyamun.

Demikian juga dalam merespons para penyamun yang menghalangi perubahan, selalu ada psikologinya. Nan S Russel, dalam Psychology Today (2012), memberikan tipsnya: tetap respek, hindari komunikasi membalas dengan menyalahkan, sadar diri, jauhkan arogansi, jaga kehormatan dan go beyond yourself (utamakan kontribusi pada publik).

Diplomasi makan malam

Jauh sebelum Jokowi memimpin Jakarta, saya pernah diberitahu pendekatan yang digunakan masyarakat Tionghoa dalam mengatasi berbagai masalah. Semua urusan bisa diselesaikan di meja makan. Dan kalau perut sudah disentuh, hati manusia akan adem. Tetapi, di Tokyo, ternyata juga sama. Bahkan, pekerja-pekerja Jepang hingga larut malam masih menjinjing tas kerja dan jas hitamnya bersama atasan mereka di bar-bar di sepanjang daerah Ginza atau Shinjuku. Dalam ocehan yang terucap, mereka mengatakan, “Kita menanggung sama-sama.”

Saat diserang calo tanah dan warga yang tak mau pindah ke rumah susun yang telah disediakan (dari area waduk Ria-Rio), kita membaca, Jokowi ternyata juga melakukan cara yang sama. Prosesnya begitu cepat. Bahkan jauh lebih cepat dari yang ia lakukan di Solo saat memindahkan PKL dari tengah kota.

“Saat itu saya ajak PKL makan siang dan makan malam 54 kali,” ujarnya. “Setelah itu baru saya sampaikan bahwa mereka akan dipindah. Dan mereka diam semua. Saya katakan, kalau begitu setuju ya… dan mereka menjawab, ‘Iya, Pak…’.”

Ia memberikan refleksinya sebagai berikut:

Pertama, PKL adalah businessman, sama seperti yang lainnya. Mereka itu pasti berhitung untung ruginya.

Kedua, pada awalnya, setiap diundang makan malam ke Balaikota mereka tahu bahwa mereka akan digusur, karena itulah mereka datang dengan LSM dan advokat-advokat. “Karena itu, saya tak bicara apa-apa, saya hanya mengajak mereka makan malam meski mereka kecewa tak ada omong-omong,” ujarnya.

Ketiga, mereka khawatir, di lokasi baru bisnis mereka akan rugi atau diperlakukan tidak adil.

Di Jakarta, saat menghadapi warga-warga yang tinggal di bawah waduk Ria Rio, Jokowi mengatakan, “Saya tak ingin berhadap-hadapan dengan rakyat, rakyat tak boleh ditindas.” Itu sebabnya, ia memilih melayani mereka di meja makan, dan mereka pulang dengan enteng. Jokowi benar, jika perubahan membutuhkan koalisi perubahan, maka berkoalisilah dengan rakyat.

Diplomasi Sentuhan

Blusukan adalah satu hal, tetapi di balik branding Jokowi itu ada diplomasi sentuhan yang luput dari perhatian para elite. Jangan lupa setelah Gen C (connected generation), kita tengah menghadapi Gen T (touch generation).

Bila mesin saja baru terlihat smart kalau disentuh, apalagi hati manusia. Rakyat yang selalu menjadi korban dalam perubahan, merindukan pemimpin-pemimpin yang tak berjarak, yang bisa mereka sentuh. Saya ingin menceritakan kejadian ini.

Suatu ketika Fadel Muhammad bercerita saat ia menemani kandidat cagub DKI dari Partai Golkar yang datang ke sebuah masjid di daerah Kwitang dengan kawalan voorijder. Pedagang di jalan harus minggir, dan cagub tersebut bertemu Habib sebentar, lalu pergi. Setelah itu datanglah cagub incumbent. Kali ini bukan hanya voorijder, melainkan juga camat, lurah, dan hansip sehingga semua PKL tak bisa berjualan. Jalan raya tiba-tiba berubah menjadi lengang dan benar-benar bersih.

Lantas bagaimana saat Jokowi datang? Ia datang tanpa pengawal, menyalami pedagang dan peziarah di sepanjang jalan sehingga agak lama baru sampai di pelataran masjid. Peziarah terkesima karena Jokowi sama seperti mereka, berpakaian seperti rakyat biasa, tak berjarak. Pemimpin yang tak berjarak menyentuh tangan dan pundak rakyatnya, sedangkan pemimpin yang berjarak justru menghindarinya. Bagi mereka, blusukan hanyalah pencitraan, bukan sentuhan hati. Padahal, di situ ada pertautan kepercayaan.

Jadi, kepercayaanlah dasar dari setiap karya perubahan. Dan, pemimpin yang pandai akan memisahkan ilalang dari padi-padi yang harus dipelihara agar menghasilkan buah. Inilah tugas penting para pembuat perubahan di tengah-tengah low trust atau bahkan a distrust society.

Maka, daripada menjegal Jokowi, mengapa tidak bergabung saja dan salami dia sebagai role model. Kalau Anda cinta perubahan, orang-orang seperti ini justru harus diberi apresiasi. Seperti kata Jim Henson, “If you can not beat them, joint them.” [Rhenald Kasali – Kompas.com]

 

9 COMMENTS

  1. eh…artikel dengan “rasa” yang berbeda dari biasanya, keren
    tapi ilmunya western banget sih, yang cukup elmu…kapan yah diulas seperti serat wedatama, klo diplomasi makan malam, kok justru domesticated local wisdom, sebab nguwongke tidak hanya sekedar ngundang makan malam…
    cultural redefinition sepertinya perlu dikaji ulang kaya pesan mbah Umar Kayam
    hayo budayawan betawi…..ugi nguri-uri, alias kontribusi disini

  2. saat belum mengenal pak Jokowi/Ahok dan diundang makan, semua tau saat itu bahwa mereka akan digusur, atau ingin dibuat menurut, berbuat sesuatu.

    Dalam hati, pasti ada persiapan, ada resistensi.

    Namun pak Jokowi/Ahok, hanya mendengarkan unek2 mereka, permasalahan mereka, apa mau nya, dicerna…didengarkan…

    Dan dicarikan solusinya dengan sungguh sungguh.

    Berkali2 bertemu,
    mereka lebih mengenal pribadi Pak Jokowi/Ahok, walaupun ke 2 orang ini memiliki cara yg berbeda dalam menyelesaikan masalah…tetapi Pak Jokowi/Ahok memiliki kesamaan,
    dan itu yang rakyat rasakan, ketulusan, sungguh2 dan bukan pencitraan semu….mereka/warga menjadi satu suara…
    Lantas mau apa lagi, selain menurut?

    Sudah waktunya Jakarta lebih tertib, warga nya bisa diatur, dan mulai tumbuhkan kesadaran diri, malu kan melihat pemimpinnya begitu sungguh2 bekerja….

    Maju terus Duo JB Jakarta Baru – Indonesia Baru.

    Amiin.

  3. ternyata otak yg panas, didinginkan dan dilembutkan dengan mengisi perut dimeja makan….! Tentunya setelah goyang lidah dan ditemani penjabat terhormat yang tulus…! 🙂

  4. Seperti kata Jim Henson, “If you can not beat them, joint them.” Sama seperti pepatah : “cara paling ampuh memusnahkan musuh ialah dengan menjadikannya teman.” Dan harus diakui bahwa Pak Jokowi, adalah seorang pemimpin yang hebat, karena dapat menjadikan perseteruan menjadi persetujuan.

  5. sudah saat nya yg mau mimpi jadi pemimpin turun ke rakyat banyak untuk berbuat dan meambantu sesama jgn cmn waktu deket pemilihan baru koar2 rakyat tidak bodoh, rakyat cmn tidak diberi pilihan yang baik, akhirnya terbukti angka golput semakin banyak karena rakyat jadi apatis terhadap pemimpin terpilih, jokowi-ahok sudah memulai seharusnya yang baru terpilih akhir-akhir ini bisa meniru, tapi apa mau dikata, ternyata diantara sekian yg baru terpilih ditahun 2013 ini hanya sekian persen saja yang mau dan berani mendekati rakyat

  6. Saya suka dengan gaya kepemimpinan pak Jokowi karna :
    1. Pakaian kerja beliau ketemu rakyat tidak beda dengan rakyat umumnya. apalagi wajah beliau juga ” pasaran ” shingga bikin rakyat tidak sungkan untuk bicara sebagai teman.
    2. Tidak ada protokoler dan persiapan untuk tinjau tempat. impulsif. jadi benar2 sifatnya kunjungan mendadak. tidak sempat dipoles oleh pejabat setempat.
    3. Beliau mudah dihubungi via website, email, atau ditemui langsung di balaikota.
    4. Beliau tidak sungkan untuk angkat telpon langsung ke pejabat yang berwenang di depan warga yang mengadukan masalahnya sehingga warga merasa dihargai. Kesungguhan beliau sebagai pemimpin untuk memberikan solusi tidak ditunda2.

    Empat hal ini yang tidak pernah dilihat oleh warga Jakarta dari pimpinan2 sebelumnya yang pernah ada (kecuali Pak Ali Sadikin ya).

    Seperti pak Wagub bilang, Pak Jokowi sebagai kopassus yang turun tinjau lapangan dulu, baru kemudian disiapkan strategi untuk atasi masalah di tempat yang telah ditinjau tsb. prinsip sederhana sekali tapi gagal dilakukan oleh para pejabat yang terpilih atau yang akan mencalonkan diri jadi pejabat.

    Bravo Pak Jokowi ! 🙂

    • auntie…no 1.ludira pethak, makanya saya demen klo pakai baju putih dibanding yang lain….
      cultural approach lebih mengena dibanding politik yang demen gelitik, en nderek nunut guru laku lik Jokowi by ahorg.org (ha3x)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here